Alasan Mengapa Jumlah Pasien Corona di Indonesia Terus Bertambah

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 24 Mar 2020

Alasan Mengapa Jumlah Pasien Corona di Indonesia Terus Bertambah

Suasana karantina pasien positif corona - Image from www.harianhaluan.com

Pencegahan corona harus dilakukan oleh semua pihak.

Ini yang membuat semakin meningkatnya kasus corona di Indonesia

Masyarakat dan pemerintah harus bahu-membahu memutus rantai penyebaran virus corona. Karena jika salah satu saja yang berusaha, maka hanya akan berakhir sia-sia.

Beberapa hari pasca Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa ada dua pasien positif virus corona pada tanggal 2 Maret 2020 silam, dalam beberapa hari jumlah pasien seakan merangkak naik.

Namun sejak minggu kedua bulan Maret 2020, pertambahan pasien terlihat lebih signifikan. Laporan terakhir pasien positif corona per 23 Maret 2020 pukul 12.00 adalah 579 kasus positif, 49 diantaranya meninggal dunia, dan 30 sembuh.

Baca juga: Kisah Pilu, Polisi Tegakkan Social Distance Malah Ditertawakan Warga

Alasan Mengapa Jumlah Pasien Corona di Indonesia Terus Bertambah

Laporan jumlah pasien positif Covid-19 sejak tanggal 2 Maret 2020. - Image from www.tagar.id

Dilansir dari laman Tagar.id, Redaktur Syaiful W Harahap menjelaskan apabila dikaitkan dengan pandemi, bisa jadi penularan corona sama halnya seperti fenomena gunung es. 

Warga yang terinfeksi corona tidak menggambarkan penyebaran virus itu di masyarakat karena banyak faktor. 

Misalnya, seperti keterbatasan melakukan contact tracing karena virus corona tidak mengenal batas teritorial atau administrasi, sebab sudah lintas negara di dunia.

1. Isolasi mandiri atau karantina di rumah

Salah seorang warga, sebut saja A, terinfeksi virus corona saat mengikuti sebuah acara yang diikuti oleh banyak orang. 

Satu dua hari setelahnya, A belum merasakan gejala positif corona, namun di droplet ludahnya sudah ada virus, sehingga saat dia batuk dan bersin, maka ia membawa risiko penularan bagi orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga, teman dekat, tetangga atau bahkan rekan kerja.

Saat A berobat dan hasil tesnya ternyata positif corona, maka jajaran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan melalui dinas kesehatan di tempat A tinggal, melakukan contact tracing*. Bisa saja orang-orang terdekat, seperti keluarga tidak tertular. 

Baca juga: Prediksi Penyebaran Corona di Indonesia, Berakhir Bulan Juni

Namun, tak menutup kemungkinan A sudah pergi ke kota atau kabupaten lain bahkan di luar provinsi, sehingga yang tertular bukan keluarganya, namun orang lain yang tak terhingga jumlahnya.

* Contact tracing merupakan usaha yang dilakukan terhadap penderita sumber penyakit menular, dengan menanyakan siapa saja yang telah ia tularkan agar bisa diusut.

Alasan Mengapa Jumlah Pasien Corona di Indonesia Terus Bertambah

Contact tracing - Image from wajibbaca.com

Memang, informasi yang diberikan oleh A kepada dinas kesehatan di tempatnya tinggal akan disampaikan ke daerah lain tempat A melakukan kontak. 

Misalnya, A sudah kontak dengan anggota keluarga, rekan kantor, dan anggota komunitasnya. Maka, dinas kesehatan bergerak cepat melakukan contact tracing pada orang-orang tersebut.

Namun, pada saat yang sama, adik A sudah melakukan kontak dengan teman-temannya di kampus, dan Ayah A sudah kontak dengan teman bisnis di Kota “X”.

Sedangkan teman A di komunitas sudah kontak dengan keluarganya di kampung. Dan rekan sekantor A sudah kontak dengan anggota keluarga.

Saat contact tracing di level keluarga, rekan sekantor dan komunitas, penularannya sudah ada di level kampung, kampus, Kota “X” dan keluarga, maka kontak pun terjadi lagi setelah level ini dan seterusnya.

Dinas kesehatan kemudian mencari informasi dari orang-orang yang kontak dalam kurun waktu 14 hari, hal ini tentu saja bukan hal yang mudah, karena bahkan bisa sampai ke luar kota.

Baca juga: Miris, DKI Terapkan Work From Home, Tapi Masyarakatnya Masih Keluyuran

Itulah sebabnya, pemerintah membuat klasifikasi Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien dalam Pengawasan (PDP). 

Yang termasuk ODP adalah orang-orang yang baru pulang atau datang (WNI dan WNA) dari negara-negara dengan wabah corona, dan juga orang-orang yang berkontak dengan pasien positif corona dengan gejala ringan.

Sedangkan PDP adalah orang-orang dari ODP yang menunjukkan gejala-gejala influenza sedang sampai berat. 

Begitu juga dengan ODP yang menunjukkan gejala batuk, pilek, demam dan gangguan pernafasan, seperti sesak akan masuk dalam kategori PDP. 

Itu artinya, PDP harus dirawat secara intensif dengan isolasi di rumah sakit. Namun perlu digaris bawahi, mereka tidak serta-merta menjadi suspect atau diduga tertular virus corona.

Status PDP bisa naik jadi suspect apabila ada riwayat kontak langsung (close contact) dengan pasien positif corona. 

Mereka nantinya akan dilakukan tes virus corona. Hasil tes tersebut akan menentukan kondisi pasien, apakah negatif atau positif corona.

Selain dirawat dengan isolasi di rumah sakit, orang-orang yang termasuk ODP juga bisa melakukan isolasi sendiri di rumah dengan selalu menjalankan prinsip-prinsip isolasi secara medis (swakarantina).

Tindakan karantina sendiri pernah dilakukan oleh beberapa pejabat tinggi di beberapa negara yang pernah melakukan kontak dengan pasien corona.

Kanselir Jerman Angela Merkel, misalnya, menjalani karantina mulai Minggu, 22 Maret 2020, sebab ia kontak dengan dokter yang positif Covid-19.

Baca Juga: Kabar Baik, Badai Corona Pasti Berlalu, Jangan Panik!!!

2. Contact tracing vs lockdown

Saat pemerintah berjuang melawan pandemi virus corona dengan contact tracing, sayangnya di luar sana masih saja terjadi polemik yang berkepanjangan dengan berbagai teori. 

Yang paling banyak dibicarakan adalah lockdown, yakni menutup akses sebuah kota, wilayah ataupun negara dari luar dan melarang warga keluar. 

Melihat fakta penyebaran virus corona di Indonesia yang justru paling banyak merupakan local transmission, maka cara yang paling efektif adalah contact tracing. 

Itu sebabnya pasien positif corona terus terdeteksi karena mereka berasal dari ODP yang meningkat jadi PDP.

Penyebaran virus corona jadi masif karena penularan horizontal antar penduduk. Hal ini terjadi karena tahap awal infeksi virus corona tidak ada gejala yang khas Covid-19, sehingga banyak orang yang tidak menyadari kondisi itu sebagai simptom virus corona.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan physical distancing (jarak fisik) bukan social distancing (jarak sosial) karena hal tersebut dinilai lebih tegas. Menjaga jarak fisik minimal 1 meter merupakan salah satu langkah nyata untuk mencegah atau memutus rantai penyebaran virus corona.

Dari gambar di atas, kita bisa mengetahui bahwa rantai penularan virus corona di masyarakat (local transmission) jauh lebih banyak daripada melalui pendatang dari luar negeri (imported case). 

Yang jadi persoalan adalah kecepatan tracing di Indonesia sangat terbatas, hal ini terjadi karena kecepatan relasi sosial yang sekaligus menjadi rantai penularan.

Dengan melakukan lockdown, justru akan menghambat contact tracing yang mendorong percepatan kontak sehingga lebih berisiko terjadinya penularan virus corona secara horizontal di masyarakat.

Baca Juga: Kisah Pilu Pasien 01 Virus Corona: `Hampir Setiap Hari Saya Menangis`

Saat tim tracing melakukan penilaian pada rantai pertama, ternyata sudah ada penularan ke rantai kedua, dan seterusnya. Inilah yang membuat rantai penularan menggurita melewati tracing. Kondisi inilah yang kemudian membuat banyak yang terdeteksi positif Covid-19 yaitu dari status ODP atau PDP.

Dalam kaitan inilah, peran aktif masyarakat menjadi kunci keberhasilan upaya penanggulangan penularan virus corona dengan dukungan pemerintah. 

Oleh karena itu, bukan saatnya ada dialog, diskusi, talkshow di televisi terkait teori-teori penanggulangan Covid-19. Gunakan seluruh energi untuk mendukung penanggulangan memutus rantai penularan virus corona. 

SHARE ARTIKEL