Kisah Pak Min, Pejuang Kemerdekaan yang Berjualan Mainan untuk Bertahan Hidup
Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 12 Aug 2020Pak Min saat berjualan mainan - Image from tribunnews.com
Meski usia senja, ia pantang minta-minta
Menurutnya, jika badan masih kuat ia masih akan terus bekerja dan tidak mau minta-minta. Bahkan ia juga tak mau menyusahkan dan merepotkan anaknya. Ia sudah berjualan selama 20 tahun, dari pagi hingga sore.
Setelah kisah nenek 70 tahun yang masih berjualan dan mendorong gerobak, kini muncul kisah Pak Min, kakek berusia 87 tahun yang berjualan mainan di pinggir jalkhan.
Mirisnya, ia diketahui merupakan seorang pejuang kemerdekaan yang kini nasibnya tak beruntung.
Kisah itu dibagikan pertama kali ioleh akun TikTok @ceritadisolo, yang kemudian diunggah di akun instagram @thoric.idn. Meski sudah memasuki usia senja dengan badan tak sekuat saat muda, tapi semangat Pak Min masih membara.
Kini 75 tahun setelah Indonesia merdeka, Pak Min masih tetap berjuang, meski berbeda perjuangan. Ia tak lagi mengangkat senjata melawan penjajah, namun berjuang di pinggiran jalan berjualan mainan di tengah teriknya matahari dan dinginnya malam Kota Solo.
Saat dikonfirmasi, Ahmad Thoric menceritakan, bahwa Pak Min sudah berjualan mainan selama 20 tahun. Dari pagi sekitar pukul 10.00-16.00 WIB, Pak Min berjulan mainan di deoan Boulevard Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Namun, menurut Thoric, karena ada perbaikan jalan di sekitar daerah tersebut, maka Pak Min untuk sementara libur berjualan saat siang hari. Kemudian, sore sekira pukul 16.30-22.00 WIB, Pak Min berpindah lokasi jualan, yakni di Utara Perempatan Panggung Solo.
Pak Min Jualan Mainan
Pak Min menjual mainan hasil buatan tangannya sendiri, seperti pistol-pistolan dan juga pesawat yang terbuat dari gabus. "Aku sempat beli mainannya itu memang handmade beneran jadi jangan tanya kualitasnya, ya kualitas Pak Min aja."
"Pak Min itu jualan pistol-pistolan sama pesawat dari gabus (handmade), yang lain kulakan seperti celengan, topeng dan lain lain," kata Thoric.
Thoric yang merupakan konten kreator menjelaskan kisaran harga mainan yang dijual Pak Min. Mulai dari Rp 5 ribu hingga Rp 20 ribu.
Menurut Thoric, saat ini Pak Min hidup dan tinggal bersama anaknya yang kedua di Kampung Kaplingan, Jebres, Solo. Istrinya telah meninggal sejak 20 tahun yang lalu.
Alasan Pak Min Tetap Berjualan
Kepada Thoric, Pak Min menjelaskan alasannya tetap berjualan meski sudah masuk di usia senja. Pak Min berprinsip, ia tak mau meminta selama masih sanggup untuk bekerja. Ia juga tak ingin menyusahkan orang lain termasuk anaknya sendiri.
"Ya ini salah satunya hiburanku, aku bertemu banyak orang baru adalah hiburanku'."
Selain itu, Pak Min juga mengaku badannya masih sehat dan kuat sehingga ia tak akan meminta-minta kepada orang lain.
"Badanku masih sehat dan masih kuat aku nggak bakal minta-minta aku tetep pengen gimana caranya usaha sendiri, selama aku masih mampu ya aku pilih bekerja'," kata Thoric menirukan ucapan Pak Min melalui sambungan telepon dikutip dari Tribunnews.com, Senin (10/8/2020).
"Prinsip hidupnya Pak Min itu, 'jangan meminta-minta tapi gimana caranya kamu malah harus bisa memberi dan mengumpulkan bekal untuk hidupmu di hari tua nanti'," tambahnya.
Meski Pak Min pernah ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, namun ia tak mendapatkan penghargaan ataupun santunan dari pemerintah.
Perjuangan Pak Min di Masa Penjajahan
Thoric menceritakan, Pak Min lahir pada tahun 1933, ayahnya meninggal karena tertembak pasukan Belanda saat berperang.Akhirnya, saat Pak Min masih muda, ia ikut berperang melawan penjajah dalam Agresi Militar Belanda II di Donohudan, Boyolali.
"Karena waktu itu beliau masih berusia sekitar 16-17 tahun sama komandan-komandannya itu dibilangin gini 'kamu itu masih kecil, kamu itu pantasnya malah jadi mata-mata, kamu nggak bakal ketangkap sama orang Belanda'," kata Thoric.
Dari situ, kemudian Pak Min ditugaskan sebagai mata-mata Indonesia untuk mengawasi gerak-gerik Belanda.
Menurut penuturan Pak Min kepada Thoric, dahulu saat menjajah Indonesia, Belanda juga punya antek-antek yang juga orang pribumi, Antek-antek tersebut mudah dikenali karena selalu membawa kaca di genggaman tangannya.
"Tugasnya waktu itu, jadi Belanda itu kata beliau juga punya antek-antek orang Indonesia, antek antek itu bawaannya gampang banget."
"Kalau tangannya ada cermin, genggam cermin. Itu fungsinya ngasih kode ke Belanda daerah tersebut kalau sudah dipantulkan sinar dari cermin nanti nggak begitu lama ada pesawat Belanda nge-bom wilayah tersebut."
"Nah ceritanya beliau itu, beliau men-survey kayak gitu," papar Thoric.
Kepada Thoric, Pak Min menjelaskan, dulu hampir setiap hari ia melihat mayat bergeletakan di pinggir jalan.
"Beliau itu menceritakan, 'dulu itu setiap hari di daerah Donohudan tempatku itu 15-20 orang itu pasti ada mayat-mayat di pinggir jalan'," jelas Thoric menirukan ucapan Pak Min.
Kemudian saat terjadi peristiwa G30S PKI, Pak Min tak ikut berperang karena ia sudah bekerja di Jakarta.
Namun, adanya peristiwa tersebut membawa dampak untuk pekerjaan Pak Min, semua proyeknya terpaksa berhenti. Dan akhirnya ia memutuskan pulang ke Solo.
"Waktu peristiwa G30S PKI beliau ada di Jakarta, karena resesi kemelut seperti itu akhirnya beliau pulang ke Solo."
Di Solo, Pak Min bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (DPU), namun karena gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) saat itu kecil, akhirnya ia banting setir menjadi wirausaha.
Kemudian, pada tahun 1970an, Pak Min menekuni usaha berjualan lampu semprong. Karena usahanya itu, ia juga dijuluki Pak Min Semprong.
Namun, usaha itu hanya berjalan 10 tahun, lampu semprong mulai meredup hingga tergantikan dengan lampu PLN.
Hingga berjalannya waktu, ia memutuskan untuk berjualan mainan hasil buatan tangannya sendiri.
Kisah Pak Min ingatkan kita, utamanya yang berusia muda untuk tak berpangku tangan pada kondisi yang ada. Melainkan terus berupaya dan bekerja keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Semoga Pak Min selalu diberikan kesehatan dan kekuatan dalam menjalani hidupnya.