"Jangan menikah di bulan Ramadhan, rumah tanggamu nanti tak bahagia"

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 20 Apr 2020

Ilustrasi menikah di bulan Ramadhan - Image from www.hipwee.com

Mitos masyarakat "menikah di bulan Ramadhan rezekimu seret"

Apakah benar menikah di bulan Ramadhan itu akan dapat laknat bukannya dapat berkah, atau itu hanya mitos saja? Padahal seperti yang kita tahu bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah

Bukan hal yang baru lagi bagi warga Indonesia, bahwa mereka percaya jika menikah pada bulan suci Ramadhan, maka akan mengakibatkan rezeki tidak lancar, rumah tangga tidak bahagia, dan lain sebagainya.

Bahkan ada pula yang menilik dari kacamata Islam, bahwa Rasulullah menganjurkan agar mengadakan walimatul 'urs, yaitu jamuan makan saat melaksanakan pernikahan.

Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda: "Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing" (HR. Bukhari).

Pastinya sunnah diatas tidak akan bisa dijalankan jika di siang hari Ramadhan, sementara malam harinya pasti semua orang akan sibuk beribadah.

Benarkah seperti itu penjelasannya?

Ahmad Sarwat, Lc menjelaskan bahwa pada dasarnya hukum menikah itu tidak pernah ada kaitannya dengan waktu. Jadi, tidak pernah ada waktu-waktu yang terlarang untuk menikah.

Bahkan jika mau mengadakan akad nikah jam 02.00 malam di malam Jumat kliwon pun tidak ada hukum Islam yang melarang, alias boleh-boleh saja.

Memang ada sebagian dari masyarakat kita yang masih membawa-bawa mitos dan kepercayaan nenek moyang, seperti halnya tidak boleh menikahkan anak pada bulan Rajab, Sya’ban dan bulan Muharram.

Keyakinan seperti itu sebenarnya tidak memiliki dasar dari agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Sallallahu alaihi wasallam.

Tidak ada dasar ketentuannya dari Al-Quran maupun dari hadits. Bahkah tak ada satu pun ulama yang melarang akad nikah pada waktu atau jam-jam tertentu.

Demikian juga, tidak ada ketentuan untuk melarang akad nikah di bulan Ramadhan, baik dilakukan pada siang maupun di malam hari. Baik dalam keadaan puasa ataupun dalam keadaan udzur syar’i.

Meskipun demikian, barangkali yang perlu dikasihani justru pasangan pengantinnya sendiri. Sebab yang namanya pengantin baru, pastilah mereka seringkali melakukan hubungan suami istri. Baik di siang maupun di malam hari.

Jika keduanya mau bersabar untuk tidak merusak kehormatan Ramadhan, tentu tidak mengapa dan tidak ada masalah.

Baca Juga:
1. Istri Nggak Mau Tinggal Sama Mertua, Bagaimana Solusinya?
2. Antara Suami dan Orang Tua, Mana yang Harus Lebih Ditaati?

Penjelasan dari ulama Arab

Jika Anda masih kurang yakin, coba simak penjelasan berikut ini.

Pertanyaan:

Ada seorang pria yang mencintai seorang wanita, lalu ia ingin menikahi wanita tersebut di bulan Ramadhan yang penuh berkah.

Ia ingin membicarakannya dengan wanita itu, lalu apakah terdapat ketentuan dalam Islam yang melarangnya menikahi dan membicarakan tentang pernikahan dengan wanita tersebut di bulan Ramadhan?

Pria itu sangat mencintai wanita tersebut, dan menginginkan untuk menikahinya. Saya harapkan nasihat anda mengenai masalah ini.

Berikut jawaban ulama Arab, Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid:

Alhamdulillah.

Tidak terdapat larangan dalam syariat untuk menikah di bulan Ramadhan, disebabkan posisi bulan ini sebagai bulan Ramadhan.

Tidak pula terlarang di bulan-bulan lainnya. Bahkan menikah itu dibolehkan di hari apa saja sepanjang tahun.

Namun, orang yang berpuasa di bulan Ramadhan wajib menahan diri dari makan, minum, dan jima’ dari sejak menyingsingnya fajar hingga tenggelamnya matahari.

Karena itu, apabila ia mampu menahan diri dan ia yakin tidak akan melakukan hal-hal yang dapat merusak puasanya, maka dia boleh menikah di bulan Ramadhan.

Yang umum terjadi, seringnya orang yang ingin memulai kehidupan rumah tangga di bulan Ramadhan, namun tidak mampu bersabar untuk tidak mendatangi istri yang baru dinikahinya di sepanjang siang.

Sehingga dikhawatirkan ia akan terjatuh pada hal-hal yang diharamkan dan melanggar kehormatan bulan yang mulia ini.

Kemudian jadilah ia melakukan dosa besar, disamping ia juga wajib mengganti puasa yang ditinggalkan, ia juga wajib membayar kaffarah yang berat, yakni memerdekakan budak.

Jika ia tidak bisa melakukannya, maka ia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika ia tidak mampu maka ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin.

Dan jika ia mengulangi jima’ selama beberapa hari, maka bertambah pula kaffarah yang harus dibayar sesuai dengan jumlah hari tersebut.

Untuk itu, jika ia khawatir tidak akan mampu menguasai dirinya, kami nasehatkan agar ia menunda pernikahannya hingga setelah Ramadhan.

Dan hendaknya ia menyibukkan dirinya di bulan Ramadhan dengan ibadah dan tilawah Al Qur’an serta shalat malam, demikian pula dengan ibadah-ibadah lainnya.

Wallahu a’lam.

SHARE ARTIKEL