Lockdown Akibat Corona, `Surga` si Kaya dan Neraka si Miskin

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 20 Mar 2020

Lockdown Akibat Corona, `Surga` si Kaya dan Neraka si Miskin

Masker habis, handsanitizer habis - Image from cnnindonesia.com

Mungkin benar, di dunia ini hanya ada 2 golongan yaitu, yang kaya dan yang tidak. 

Apa yang akan terjadi pada Indonesia jika memberlakukan lockdown akibat corona? Tentu sektor ekonomi akan berjalan lambat, bahkan bisa terputus.

Jika lockdown benar-benar terjadi, diharapkan pemerintah bisa memberi tunjangan untuk warga yang tidak mampu, terutama pekerja harian lepas yang upahnya sangat tergantung pada mobilitas masyarakat.

Penyebaran virus corona mulai menyebabkan kekhawatiran di tengah masyarakat seiring jumlah pasien yang terus meningkat tiap harinya. Di Jakarta, pembatasan transportasi publik Transjakarta, serta MRT mulai diberlakukan sebagai langkah menghentikan penyebaran virus corona.

Hal ini sudah dianggap mengganggu aktivitas ekonomi, karena tidak semua pekerja melakukan work from home alias bekerja dari rumah. Wacana pembatasan mobilitas masyarakat pun bergerak liar.

Faktanya hanya ada beberapa negara saja yang memberlakukan lockdown, seperti Italia dan China, sementara Jepang dan Singapura telah menyusun strategi yang berbeda untuk menangkal penyebaran Covid-19.

Dilansir dari laman CNN, Lindsay Wiley dari Washington College Law mengatakan bahwa definisi lockdown sebenarnya tidak dikenal dalam kebijakan kesehatan masyarakat. 

Dalam pengertian umum, definisi lockdown sendiri terlalu luas sebab mencakup karantina, pembatasan akses ke ruang publik, meliburkan sekolah dan kampus, hingga menutup akses satu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Pandangan publik terkait lockdown di Jakarta tentu berbeda-beda, ada yang menyarankan untuk menutup suatu daerah tertentu seperti Wuhan, termasuk menutup akses keluar masuk ke daerahnya. 

Ada pula pandangan lainnya yang menganjurkan untuk melakukan kerja dari rumah dan mengurangi jam operasional transportasi publik.

Baca Juga: Warga +62 Malah Liburan Ditengah Wabah Corona, `Oh santai aja, kan cuma flu ini!`

Apa yang akan terjadi jika Jakarta lockdown?

Lockdown memang belum diberlakukan oleh pemerintah pusat, namun jika memang diberlakukan tentu akan berdampak sangat besar terhadap sektor ekonomi Jakarta, bahkan nasional.

Apabila kebijakan isolasi total Jakarta diberlakukan, maka ekonomi nasional akan masuk dalam jurang krisis yang lebih cepat dari perkiraan awal.

Seperti yang kita ketahui, sebanyak 70 persen peredaran uang ada di Jakarta, bursa efek dan bank sentral pun bertempat di Ibukota.

Kepanikan pasti tak terelakkan di banyak tempat, membuat orang melakukan penarikan uang di bank untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok. Likuiditas bank pun terancam kering. Sementara panic buying terus memperparah stok persediaan bahan pangan.

Kita perlu belajar dari fenomena panic buying yang terjadi beberapa waktu, lalu saat pemerintah mengumumkan pasien corona pertama, terlihat jelas bagaimana pemerintah pusat maupun daerah tidak bisa melakukan apapun atau tidak mengeluarkan kebijakan satupun untuk mencegah pembelian secara gila-gilaan itu.

Apalagi satu setengah bulan lagi, yaitu bulan April umat Islam akan memasuki Ramadhan, pasti permintaan bahan kebutuhan pangan musiman akan naik. 

Kepanikan masyarakat dalam memborong bahan kebutuhan pokok, dan juga farmasi seperti obat-obatan, masker, dan hand sanitizer menambah panjang risiko terjadinya inflasi yang cukup tinggi.

Perkiraan sederhana inflasi sepanjang tahun 2020 bisa menembus angka 4 hingga 6 persen sebagai konsekuensi dari pemberlakuan lockdown di Jakarta. 

Angka tersebut belum mempertimbangkan adanya spekulan jahat, penimbun gelap yang memanfaatkan situasi untuk melakukan panic stocking atau dengan sengaja menimbun barang yang dicari oleh orang banyak. 

Baca Juga: Apa yang Akan Terjadi Pada Dunia Setelah Virus Corona Usai?

Orang Kaya Jakarta: 'Kami tidak apa-apa, kami santai saja'

Siapakah yang paling kena dampak dari lockdown? Jelas jawabannya bukan orang-orang kaya di DKI Jakarta.

Orang kaya menguasai hingga 46 persen lebih total konsumsi di Jakarta, mereka mampu menimbun barang dalam jumlah yang besar. Tak akan jadi masalah jika harga obat-obatan, masker, hand sanitizer melambung tinggi seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.

Siapa yang sanggup membeli masker di situs belanja online ketika harganya menembus Rp 1 juta per boks? Jelas hanya golongan menengah atas saja yang sanggup. Sementara mereka yang masuk dalam golongan menengah ke bawah hanya bisa melongo.

Saat kelas atas melakukan panic buying, masyarakat miskin sebaliknya tidak tahu besoknya mau makan apa, siap-siap kencangkan ikat pinggang.

Saat karyawan kantoran di perusahaan-perusahaan multinasional memberlakukan cuti dengan tanggungan gaji, atau bekerja dari rumah, driver ojol dan sopir angkot kebingungan karena penumpang mendadak sepi.

Orang-orang kaya yang tinggal di rumah megah-nya, tinggal klik kemudian pesanan makanan via e-commerce sampai di depan pintu. Sementara orang-orang miskin, harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit saat banyak toko dan pasar tutup.

Bagaimana dari sisi kesehatan? asuransi kesehatan dengan fasilitas rumah sakit terbaik tentu menjadi keistimewaan orang kaya Jakarta. Apabila tes kesehatan virus corona tak semuanya dibayar negara, orang kaya tak perlu khawatir. Apalagi soal defisit BPJS Kesehatan, mereka sama sekali tak mau peduli, toh punya saja tidak.

Sedangkan orang miskin sejatinya merupakan kaum yang paling rentan terhadap turunnya fasilitas kesehatan, terutama ketika kondisi krisis seperti sekarang ini. 

Jika pun mereka terkena corona, diharuskan untuk pergi ke rumah sakit rujukan, lagi-lagi mereka mengeluarkan uang lebih untuk biaya transportasi ke rumah sakit.

Datang ke rumah sakit untuk periksa, namun dengan segala skenarionya, disuruh istirahat di rumah selama dua pekan lamanya. Lantas siapa yang akan menghidupi seluruh keluarga, jika mereka libur? 

Sudah jelas bahwa lockdown merupakan situasi neraka bagi 'si miskin'. Kerentanan kaum miskin hanya akan memperlebar jurang ketimpangan yang selama ini masih terjadi. Dalam kondisi terjepit bukan tidak mungkin konflik akan pecah.

Apakah pemerintah siap?

Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sepertinya memang belum menyiapkan diri jika harus melakukan lockdown untuk saat ini. Terlihat dari bagaimana kacaunya koordinasi kebijakan pusat dan daerah.

Baca Juga: Viral, Kisah Azab Penimbun Sanitizer dan Masker Benar-benar Nyata

Pemerintah berebut panggung publik

Pola komunikasi yang saling berebut panggung antar kepala daerah, dan rancunya stimulus ekonomi 1 dan 2 yang diluncurkan oleh pemerintah, mengisyaratkan bahwa wacana lockdown akan mengarah pada kekisruhan total

Ketersediaan rumah sakit, karantina, hingga alat cek virus corona masih belum memadai. Jika Singapura memberi masker gratis dari rumah ke rumah, di Indonesia masker justru dibuat mainan oleh penimbun gelap sehingga langka di pasaran.

Kesiapan dari sisi ekonomi bahkan lebih memprihatinkan, bahan kebutuhan pokok sebagian bergantung pada kegiatan impor.

Merebaknya wabah virus corona telah merusak rantai pasok impor khususnya dari China, sebut saja bawang putih. Bukan hal mudah untuk mencari substitusi impor, karena memang jalan keluarnya mendadak. Kemandirian pangan Indonesia pun dipertanyakan.

Berbeda dengan China, di mana stok kebutuhan pangan untuk warga yang di karantina dalam apartemen, rumah, asrama, dan gedung-gedung dipasok merata oleh Pemerintah China. Di Wuhan, negara dengan sigap menyiapkan kebutuhan warganya.

Oleh karena itu bukan hal aneh saat ada beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang diisolasi dalam kamar asramanya di Wuhan, dipenuhi kebutuhan makan dan kesehatannya selama berminggu-minggu oleh pihak kampus.

Selain mengeluarkan kebijakan lockdown, adakah cara lain yang lebih berimbang antara mereduksi penularan virus corona dan tetap mendorong keberlanjutan roda ekonomi?

Mari kita intip bagaimana Singapura memberi contoh kebijakan tanpa melakukan lockdown.

Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong mengungkapkan bahwa fokus penanganan kesehatan adalah warga lansia, karena mereka adalah kelompok yang paling rentan terkena Covid-19. Pembatasan perjalanan dari WNA di banyak negara, serta menunda sementara acara keagamaan pun juga dilakukan.

Selain itu, Singapura juga melakukan bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan sangat baik, dengan tegas Pemerintah Singapura mengalokasikan US$4 miliar atau setara dengan Rp59,2 triliun untuk membantu keuangan perusahaan yang terimbas wabah corona.

Sedangkan Jepang alih-alih melakukan lockdown, mereka lebih melakukan upaya klaster dan penelusuran riwayat kontak korban.

Dikutip dari data John Hopkins University, rasio kasus Covid-19 di Jepang adalah 0,5 per 100.000 orang, angka ini lebih rendah dari negara OECD lainnya. Sebagai perbandingan, rasio China adalah 5,81 dan Italia 20,6 kasus per 100.000 orang.

Oleh karena itu, melihat kondisi dan kesiapan Indonesia, sebaiknya skenario lockdown dipikirkan lagi secara matang. Jangan sampai ikut-ikutan dengan negara lain yang struktur ekonominya lebih kuat dari Indonesia.

Dan yang paling penting, harga paling mahal bisa jadi akan ditebus oleh pengusaha UMKM, driver online, karyawan rendahan, pekerja harian lepas dan kaum miskin yang tak pernah memiliki bekal cukup ketika keadaan krisis.

SHARE ARTIKEL