Marah Dituding Mengatur Kumandang Adzan, Ini yang Diungkapkan Mentri Agama

Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 07 Sep 2018

Marah Dituding Mengatur Kumandang Adzan, Ini yang Diungkapkan Mentri Agama
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (foto: bontangtimes)

Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengeluarkan bantahan soal ramainya isu pengaturan azan yang berhembus di masyarakat.

Menurut Pak Mentri, sebenarnya ini yang dilakukan pemerintah!

Pemerintah tidak melarang atau mengatur-atur azan, atau bahkan melarang kumandang azan sama sekali.

Demikian pernyataan tegas Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin soal ramainya isu pengaturan azan.

Tidak ada larangan pengaturan terhadap azan. Yang diatur itu adalah penggunaan pengeras suara dan aturan itu pun adalah aturan yang dibuat pada tahun 1978, 40 tahun yang lalu. Jadi bukan kebijakan Kementerian Agama saat ini,” kata Lukman di gedung DPR, Jakarta, Selasa malam, (4/9/2018).

Mengenai tuntutan masyarakat yang menghendaki Kementerian Agama membuat aturan soal penggunaan pengeras suara, menurut Lukman, telah dilakukan kajian.

Menag mendapati, bahwa pada tahun 1978 pernah ada edaran yang dibuat Dirjen Bimas Islam saat itu yang sifatnya internal ke dalam.

Dalam rangka memberikan panduan bagaimana sebaiknya pengeras suara di masjid, di mushala, di langgar itu digunakan dengan penuh kearifan,” kata Lukman, seperti dilansir dari viva.co.id.

Di akhir dari surat edaran tersebut, dinyatakan bahwa aturan tersebut berlaku untuk kota-kota besar ibu kota provinsi maupun kabupaten kota yang memang masyarakatnya sangat heterogen. Namun regulasi itu tak berlaku untuk di kampung dan desa.

Yang tentu konteksnya sangat berbeda, jadi mohon cermati betul isi dari edaran itu, harus membacanya secara utuh jangan sepotong-potong karena itu kan ada pertanyaan bagaimana kalau di kampung? Ya, kalau di kampung selama ini enggak ada masalah seperti itu,” kata Lukman.

Lukman meminta agar masyarakat saling mengedepankan tenggang rasa.

Maksudnya, kemauan dan kemampuan untuk ikut merasakan pihak lain yang berbeda.

Bagaimana tenggang rasa itu tak hanya dituntut kepada pada pengelola rumah ibadah tapi masyarakat secara luas juga harus dikedepankan tenggang rasa itu,” kata Lukman.

Baca Juga:

Menag mencontohkan bahwa hal itu sebagai konsekuensi sosiologis.

Misalnya kalau warga tinggal di dekat dapur umum akan mencium bau masakan. Kalau tinggal di dekat gereja akan sering mendengar bunyi lonceng.

Seperti yang kalau kita tinggal di dekat masjid ya tentu kita akan sering mendengar azan. Mari kita saling bertenggang rasa,” kata Lukman.

Selain itu Menag juga meminta, apabila ada silang dan perbedaan pandangan di masyarakat, agar dapat diselesaikan secara musyawarah.

Karena hukum itu selalu cara pandangnya hitam putih benar atau salah. Padahal kita adalah masyarakat yang penuh kekeluargaan yang terbiasa bermusyawarah,” kata Lukman.

Nah bagaiman menurut Anda?
SHARE ARTIKEL