Aduh, Pakai Jilbab Tapi kok Baju dan Celananya Ketat?

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 18 May 2020

Aduh, Pakai Jilbab Tapi kok Baju dan Celananya Ketat?

Sering ditemui di zaman sekarang.

Menggunakan jilbab hanya sebagai aksesoris saja, bahkan dipadupadankan dengan celana jeans dan pakaian yang ketat.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, adalah agama yang syumul (menyeluruh) dan sempurna, aturannya meliputi semua aspek kehidupan.

Mulai dari urusan pribadi hingga urusan jamaah, mulai dari urusan ibadah hingga muamalah. Dan persoalan aurat adalah salah satu diantaranya.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59).

Ayat diatas menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.

Kemudian Allah Ta’ala juga berfirman,

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَآئِهِنَّ أَوْ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَآئِهِنَّ أَوْ أَبْنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ إِخْوَٰنِهِنَّ أَوْ بَنِىٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوْ نِسَآئِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيْرِ أُو۟لِى ٱلْإِرْبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفْلِ ٱلَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا۟ عَلَىٰ عَوْرَٰتِ ٱلنِّسَآءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. 

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).

Baca Juga: Wahai Muslimah, Sampai Kapan Enggan Berjilbab?

Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).

Para ulama sepakat (berijma’) bahwa berjilbab itu adalah perkara wajib. Yang mereka perselisihkan adalah wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.

Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan era 60-80an, saat itu jilbab merupakan sesuatu yang sangat tabu, tidak banyak muslimah yang menggunakannya, karena memang dilarang oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, resikonya pun cukup berat, dikucilkan dari masyarakat hingga dianggap ‘sesat.’

Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan dengan berbagai upaya yang dilakukan oleh para aktivis dakwah, maka lama kelamaan jilbab mulai marak dikenakan oleh para muslimah di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Terlebih dengan munculnya brand-brand terkenal yang menawarkan jilbab dengan beragam corak, warna, bahan, dan desain yang menarik.

Meskipun secara kuantitas dapat dibilang baik, namun belum secara kualitas. Sebagian muslimah belum benar-benar memahami esensi berjilbab, sehingga pada prakteknya, jilbab hanya dianggap sebagai aksesoris belaka dan penambah daya tarik saja. 

Buktinya dapat ditemukan di sekitar kita. Sebagian muslimah, terutama remaja, mengenakan jilbab yang sulit dibilang syar’i.

Ukurannya yang kecil, bahan yang tipis hingga terlihat transparan, dan terlebih dipadukan dengan baju dan celana jeans yang ketat sehingga menampilkan lekuk tubuh. Mungkin inilah yang disebut jibsi (jilbab seksi) atau jilboob.

Baca Juga: Ternyata Boleh lho, Wanita Muslimah Tidak Pakai Hijab, Asalkan...

Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab merupakan pakaian lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung), berbeda dengan selendang (rida’) yang dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya. Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab sama halnya seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’) yang menutupi khimar. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani.

Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain penutup).

Terkait penjelasan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa hendaknya jilbab tidak hanya sekedar digunakan, akan tetapi juga dipahami dari sudut pandang syariat, sehingga para muslimah dapat mengenakan jilbab yang syar’i, sesuai standar yang Allah tetapkan.

Wallahu’alam bishawab.

SHARE ARTIKEL