Sengaja Tak Puasa Ramadhan Tanpa Alasan Syar`i itu Kafir?

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 21 Apr 2020

Sengaja Tak Puasa Ramadhan Tanpa Alasan Syar`i itu Kafir?

Sengaja meninggalkan puasa ramadhan - Image from nasional.tempo.co

Awas menyesal jika tidak pernah bertemu ramadhan lagi

Banyak yang sengaja tidak puasa di bulan ramadhan, menganggap tahun depan masih ada, masih bisa mengganti. Tapi bagaimana jika ramadhan tahun ini menjadi ramadhan terakhir anda? 

Apalagi jika benar yang meninggalkan puasa ramadhan dengan sengaja itu kafir,  apakah mau meninggal dalam keadaan kafir?

Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang agung dan salah satu rukun Islam.

Maka dari itu, meninggalkan puasa tanpa udzur atau tanpa alasan merupakan dosa besar dan berat konsekuensinya.

Bahkan para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa udzur syar’i, apakah ia masih Muslim ataukah sudah keluar dari Islam atau kafir?

Pendapat sebagian ulama

Sebagian ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa udzur maka ia kafir dan telah keluar dari Islam.

Disebutkan dalam kitab Shifatu Shalatin Nabi (hal. 18) karya Ath Tharifiy :

ذهب بعض العلماء – وهو مروي عن الحسن, و قال به نافع و الحاكم و ابن حبيب من المالكية, و قال به إسحاق بن راهويه, وهو رواية عن الإمام أحمد – إلى أن من ترك شيئا من أركان الإسلام, و إن كان زكاة أو صياما أو حجا, متعمدا كسلا أو تهاونا أو جحودا, فإنه كافر. والجمهور على عدم الكفر

Artinya: “Sebagian ulama berpendapat, pendapat ini diriwayatkan dari Al Hasan (Al Bashri), juga merupakan pendapat Nafi’, Al Hakim, Ibnu Habib dari Malikiyyah, Ishaq bin Rahuwaih, dan salah satu pendapat Imam Ahmad, bahwa orang yang meninggalkan satu saja dari rukun Islam, baik itu zakat, puasa atau haji, dengan sengaja atau karena malas atau meremehkan atau karena mengingkari kewajibannya, maka ia kafir. Sedangkan jumhur ulama berpendapat tidak sampai kafir”.

Dalil ulama yang mengkafirkan, diantaranya adalah hadits-hadits tentang rukun Islam. Bahwa Islam dibangun di atas 5 perkara, yakni syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.

Maka konsekuensinya jika salah satu hal ditinggalkan, maka hancurlah Islam seseorang.

Mereka juga berdalil dengan riwayat dari Umar bin Khatab radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata:

مَن أطاقَ الحجَّ، فلم يحُجَّ فسواءٌ عليه مات يهوديًّا أو نصرانيًّا

Artinya: “Barangsiapa yang mampu berhaji namun tidak berangkat haji, maka sama saja ia mati apakah sebagai orang Yahudi atau sebagai orang Nasrani” (HR. Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya, 1/387, dishahihkan Hafizh Al Hakami dalam Ma’arijul Qabul, 639/2).

Sedangkan haji merupakan salah satu rukun Islam. Perkataan semisal ini juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Abu Hurairah.

Baca Juga: Sedekah Paling Afdhol di Bulan Ramadhan Saat Corona Mewabah

Pendapat yang rajih (bisa dibenarkan)

Adapun pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan puasa

Diantara dalilnya adalah hadits dari Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia bersabda,

خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم ويصلون عليكم وتصلون عليهم وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم ويلعنونكم قيل يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف فقال لا ما الصلاة وإذا رأيتم من ولاتكم شيئا تكرهونه فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة

Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai, dan mereka pun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka, mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci, mereka pun benci kepada kalian. Kalian pun melaknat mereka, mereka pun melaknat kalian”. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah apakah kita perangi saja mereka dengan senjata?”. Nabi menjawab, “Jangan, selama mereka masih shalat. Bila kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari pemimpin kalian, maka cukup bencilah perbuatannya, namun jangan kalian melepaskan tangan kalian dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim no. 2155).

Dalam hadits diatas disebutkan bahwa yang menjadi patokan kufur-tidaknya seorang pemimpin adalah meninggalkan shalat, bukan puasa, zakat ataupun haji. Dan ini adalah ijma‘ para sahabat Nabi.

Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqaili rahimahullah berkata:

لم يكن أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم يرون شيئا من الأعمال تركه كفر غير الصلاة

Artinya: “Dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tidak memandang ada amalan yang bisa menyebabkan kekufuran jika meninggalkannya, kecuali shalat” (HR. At Tirmidzi no. 2622, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Berdasarkan riwayat tersebut, para sahabat Nabi tidak menganggap kufurnya orang yang meninggalkan puasa, zakat atau haji.

Maka orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa udzur, maka dia tidak sampai kafir namun ia telah melakukan dosa yang besar. Terlebih lagi terdapat ancaman mengerikan bagi orang yang meninggalkan puasa.

Sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Abu Umamah al-Bahili radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda,  

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِى رَجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبْعَىَّ فَأَتَيَا بِى جَبَلاً وَعْرًا فَقَالاَ لِىَ : اصْعَدْ فَقُلْتُ : إِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالاَ : إِنَّا سَنُسَهِّلُهُ لَكَ فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِى سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا أَنَا بَأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ فَقُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِى فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٌ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

Artinya: “Ketika aku sedang tidur, tiba-tiba ada dua laki-laki yang mendatangiku. Keduanya memegangi kedua lenganku, kemudian membawaku ke sebuah gunung terjal. Keduanya berkata kepadaku: “naiklah!”. Aku menjawab: “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, “Kami akan memudahkannya untukmu”. Maka aku naik. Ketika aku berada di tengah gunung itu, tiba-tiba aku mendengar suara-suara yang keras, sehingga aku bertanya: “suara apa itu?”. Mereka menjawab, “Itu teriakan penduduk neraka”. Kemudian aku dibawa ke tempat lain, tiba-tiba aku melihat sekelompok orang digantung terbalik dengan urat-urat kaki mereka sebagai ikatan. Ujung-ujung mulut mereka sobek dan mengalirkan darah. Aku bertanya, “Mereka itu siapa?” Keduanya menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang berbuka puasa sebelum waktunya” (HR. Ibnu Hibban no.7491, dishahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Shahih Ibnu Hibban).

Adanya hadits tersebut dan juga adanya sebagian ulama yang menganggap kafirnya orang yang meninggalkan puasa, maka ini membuat kita semakin takut dan waspada jangan sampai meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur.

Dan kita juga harus memperingatkan keluarga dan orang-orang terdekat kita jangan sampai meninggalkan puasa Ramadhan tanpa udzur.

Baca Juga: Doa Menyambut Bulan Ramadhan Agar Ibadah Lebih Berkah

Meninggalkan puasa bisa murtad apabila istihlal

Orang-orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja apabila mereka menganggap halal (istihlal) hal tersebut, atau mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, maka ia murtad keluar dari Islam.

Para ulama menyebut hal ini sebagai kufur juhud, yakni orang yang meyakini kebenaran ajaran Rasulullah namun lisannya mendustakan bahkan memerangi dengan anggota badannya, menentang karena kesombongan.

Hal ini seperti halnya kufurnya iblis terhadap Allah ketika diperintahkan untuk sujud kepada Adam ‘alaihissalam, padahal iblis mengakui Allah sebagai Rabb mereka,

Allah Ta'ala berfirman,

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (QS. Al Baqarah: 34)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:

“Seorang hamba jika ia melakukan dosa dengan keyakinan bahwa sebenarnya Allah mengharamkan perbuatan dosa tersebut, dan ia juga berkeyakinan bahwa wajib taat kepada Allah atas segala larangan dan perintah-Nya, maka ia tidak kafir”. Lalu beliau melanjutkan, “..barangsiapa yang melakukan perbuatan haram dengan keyakinan bahwa itu halal baginya maka ia kafir dengan kesepakatan para ulama” (Ash Sharimul Maslul, 1/521).

Al Lajnah Ad Daimah menjelaskan: 

من ترك الصوم جحداً لوجوبه فهو كافر إجماعاً ، ومن تركه كسلاً وتهاوناً : فلا يكفر ، لكنه على خطر كبير بتركه ركناً من أركان الإسلام ، مجمعاً على وجوبه ، ويستحق العقوبة والتأديب من ولي الأمر ، بما يردعه وأمثاله ، بل ذهب بعض أهل العلم إلى تكفيره .

وعليه قضاء ما تركه ، مع التوبة إلى الله سبحانه

Artinya: “Siapa yang meninggalkan puasa karena juhud (menentang) wajibnya puasa maka ia kafir berdasarkan sepakat ulama. Namun yang meninggalkan puasa karena malas dan meremehkan, maka ia tidak kafir. Namun ia berada pada bahaya yang besar karena meninggalkan salah satu rukun Islam yang disepakati wajibnya. Dia wajib dihukum dan dibina oleh pemerintah, agar ia dan orang yang semisal dia jera. Namun sebagian ulama ada yang berpendapat ia kafir dan wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan setelah ia bertaubat kepada Allah Subhanahu” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, 10/143).

Baca Juga: Jadwal Puasa Ramadhan dan 4 Arahan MUI Ubah Kebiasaan Ibadah

Apabila bertaubat, apakah ia wajib mengqadha puasa yang ditinggalkan?

Seorang Muslim dengan sengaja meninggalkan puasa Ramadhan, kemudian ia bertaubat dijalan Allah, lalu apakah ia wajib mengganti puasa yang ia lewatkan?

Terdapat hadits: 

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

Artinya: “Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus”.

Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunan-nya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits itu didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah (4557). 

Akan tetapi, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits tersebut seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). 

Oleh sebab itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan.

Jumhur ulama atau sebagian besar ulama berpendapat bahwa orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja, maka ia wajib mengqadha puasanya setelah bertaubat.

Bahkan Ibnu ‘Abdil Barr mengklaim ijma (kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah) atas hal ini, beliau mengatakan:

وأجمعت الأمة ، ونقلت الكافة ، فيمن لم يصم رمضان عامداً وهو مؤمن بفرضه، وإنما تركه أشراً وبطراً، تعمَّد ذلك ثم تاب عنه : أن عليه قضاءه

Artinya: “Ulama sepakat dan dinukil dari banyak ulama bahwa orang yang tidak puasa Ramadhan dengan sengaja dengan masih meyakini kewajibannya, namun ia tidak puasa karena bermaksiat dan sombong, dan sengaja melakukannya, maka ia wajib diminta bertaubat dan wajib meng-qadha puasanya” (Al Istidzkar, 1/77).

Dan ini juga merupakan pendapat yang dikuatkan Al Lajnah Ad Daimah dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Akan tetapi klaim ijma ini kurang tepat, karena dinukil adanya pendapat lain dari sebagian ulama Syafi’iyyah dan juga zhahiriyyah, juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang menyatakan bahwa tidak diwajibkan qadha atas mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ولا يقضي متعمد بلا عذر : صوماً ولا صلاة ، ولا تصح منه

Artinya: “Orang yang sengaja meninggalkan ibadah tanpa udzur maka tidak ada qadha baginya, baik itu puasa maupun shalat, dan (andai qadha dilakukan) ia tidak sah” (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah, 460).

Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah. Beliau mengatakan:

فالراجح أنه لا يلزمه القضاء ؛ لأنه لا يستفيد به شيئاً ؛ إذ إنه لن يقبل منه ، فإن القاعدة أن كل عبادة مؤقتة بوقت معين ، فإنها إذا أخرت عن ذلك الوقت المعين بلا عذر ، لم تقبل من صاحبها

Artinya: “Yang rajih, ia tidak wajib meng-qadha. Karena andaikan meng-qadha pun tidak bermanfaat karena tidak diterima. Karena kaidahnya adalah: setiap ibadah yang waktunya tertentu, jika diakhirkan sehingga keluar dari waktu tersebut tanpa udzur maka tidak akan diterima ibadahnya” (Majmu’ Al Fatawa Syaikh Ibnu Al Utsaimin, 19/89).

Wallahu a’lam, sepertinya pendapat yang pertama adalah pendapat yang lebih hati-hati, yakni wajibnya mengqadha bagi yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja. Dan ini adalah pendapat jumhur ulama yang sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:

عبادة ثبتت في ذمة العبد ، فلا تسقط عنه إلا بفعلها

Artinya: “Ibadah yang sudah jatuh menjadi beban seseorang, tidak bisa gugur sampai ia mengerjakannya”.

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa:

1. Orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa udzur, maka dia tidak sampai kafir namun ia telah melakukan dosa yang besar.

2. Orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja jika mereka menganggap halal (istihlal) hal tersebut atau mengingkari wajibnya puasa Ramadhan, maka ia telah murtad keluar dari Islam.

3. Orang yang meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja tanpa udzur, maka dia wajib meng-qadha puasa yang telah ia lewatkan.

Wallahu a'lam bishawab 

SHARE ARTIKEL