Cerita Haru Keluarga Pasien Covid-19 Tak ada Pelayat "Kami Pendam Kesedihan ini"
Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 04 Apr 2020Kedua putri dan menantu jenazah Covid-19 - Image from wajibbaca.com
Stigmatisasi pada jenazah pasien Covid-19, menambah duka bagi mereka yang ditinggalkan.
Pemakaman dalam sunyi dialami oleh hampir seluruh pasien Covid-19 yang meninggal dunia.Mereka dimakamkan tanpa pelayat dan proses pemakaman normal. Seringkali, tanpa dihadiri keluarga. Tak jarang pula pemakaman mereka menghadapi penolakan dari warga sekitar area pemakaman,
Berbeda dengan jenazah pada umumnya, pemakaman jenazah Covid-19 tak bisa didatangi pelayat, bahkan keluarga tak boleh melihat wajah jenazahnya. Kepergian ibunya tersebut menjadi kepedihan yang mendalam bagi keluarganya.
Anaknya bahkan tak bisa melihat wajah sang bunda sejak diisolasi hingga kepergiannya. Virus corona merampas kesempatan mereka yang kehilangan orang terdekatnya untuk mengucapkan kalimat perpisahan. Sekedar melihat wajah saja tak mampu, apalagi membelai dan mencium jenazah.
Baca juga : Kisah Haru, Ninuk Sang Perawat yang Meninggal karena Terinfeksi Corona
Kepedihan tersebut, ditambah lagi dengan adanya stigmatisasi dari masyarakat terhadap jenazah pasien Covid-19. Ada yang pemakamannya ditolak, hingga jenazah tak dikuburkan selama berjam-jam. Bahkan ada yang baru bisa dikuburkan keesokan harinya.
Rasa pilu tak terbendung juga dialami Eva Rahmi Salama, salah satu putri dari pasien Covid-19 yang meninggal. Ia bersama dengan suami dan adiknya mengantar jenazah sang ibu ke liang lahat di TPU Pondok Rangon, Jakarta pada Kamis (19/03) pagi.
Hanya mereka bertiga yang melepas kepergian sang ibu yang dinyatakan positif Covid-19, tanpa pelayat darimanapun. Baik dari kerabat, tetangga ataupun lainnya. Selain itu juga tanpa pemakaman yang layak.
"Rasanya sangat sedih, di saat kita butuh support dari keluarga, teman atau orang terdekat kita untuk bisa menghadiri pemakaman mama, tapi mereka tidak ada dan situasinya tidak memungkinkan," tutur Eva, Rabu (01/04).
"Jadinya kami pendam sendiri kesedihan ini demi bisa mengantarkan mama ke peristirahatan terakhir," lanjutnya kemudian.
Dua hari setelah kepergian ibundanya, sang ayah juga terpapar virus corona menyusul istrinya.
Namun sayangnya, Eva tak lagi bisa mengantar kepergian ayahnya karena jenazah sang ayah sudah terlalu lama disimpan. Pasalnya jenazah disimpan sudah melebihi standar maksimal empat jam penyimpanan jenazah pasien corona.
"Keluarga papa melarang saya untuk hadir ke pemakaman karena takut potensinya terlalu tinggi banget untuk terpapar. Jadi mereka melarang dan tidak ada keluarga satu pun yang datang untuk hadir di pemakaman papa," ungkapnya.
"Tidak bisa hadir di pemakaman papa sendiri, itu sudah cukup menyedihkan. Kemarin pada saat mama, terus pada saat papa nggak bisa sama sekali," tambah Eva.
Eva menjelaskan, kedua orang tuanya merupakan pasien corona dari sub-kluster klub dansa Kemang, yang merupakan awal mula kasus corona di Indonesia.
Awalnya, adiknya yang dinyatakan positif Covid-19 setelah setelah mendatangi klub dansa di Kemang, Jakarta Selatan, titik awal di mana kasus Covid-19 pertama.
Kemudian tidak lama dari itu, sang mama jug sakit namun didiagnosa typhus serta dirawat di RS Royal Taruma, Grogol, Jakarta Barat.
Namun ketika dites, mamanya dinyatakan positif Covid-19 lantas diisolasi di RS Persahabatan sejak 14 Maret silam. Lima hari setelah konfirmasi positif tersebut, sang ibu wafat.
Ayahnya yang sebelumnya dirawat karena sakit jantung juga terpapar virus corona dan menyusul kepergian sang istri dua hari kemudian.
"Pada saat pemakaman papa itu tidak ada yang hadir karena papa meninggal pukul 15.30 tapi baru dimakamkan keesokan harinya, pada pukul 7 pagi," jelas Eva.
Eva mengunggah foto dirinya bersama suami dan adiknya ketika mendoakan ibunda di makamnya. Ia juga menuliskan rasa sedih yang mendalam serta doa kepada ibundanya di caption tersebut.
"Ya Allah, perkenankan makhluk Mu yang terindah dan terbaik ini ditempatkan di Surga-Mu. Ampuni segala dosanya, lapangkanlah kuburnya, terima amal ibadahnya dan semoga mama husnul khotimah, syahidah. Aamin, Aamiin ya robbal alamin" tulisnya.
View this post on InstagramA post shared by Eva Rahmi Salama (@evarahmisalama) on
Semoga sekelumit kisah ini menjadi peringatan bagi kita, untuk senantiasa waspada dengan virus corona. Peluang kematian memang kecil khususnya bagi anak muda, namun peluang penularan serta kematian pada orang lanjut usia sangatlah tinggi.
Kewaspadaan Anda adalah satu bentuk cinta kasih kepada orang tua dan orang-orang tersayang di sekitar Anda. Yuk jaga diri kita, bagi yang punya pilihan ayo tetap di rumah.
Stop Stigmatisasi
Menanggapi maraknya penolakan warga terhadap jenasah pasien Covid-19, Gubernur Jawa Tengah,
Ganjar Pranowo mengimbau warganya untuk stop stigmatisasi pada pasien Covid-19 dan keluarganya, termasuk mereka yang meninggal karena virus corona.
"Masyarakat yang sudah terstigmatisasi di mana-mana pasti akan ditolak di mana-mana. Kasihan dia, dia butuh dukungan. Bukan musuh kita kok," papar Ganjar.
"Sakitnya seperti apa sih keluarganya, melihat mukanya aja nggak boleh, ngeliat mayatnya nggak boleh. Orang tercintanya meninggal dan kemudian melayat nggak boleh. Itu sudah sakit, tolong jangan ditambah lagi perasaan sakitnya mereka," imbuhnya kemudian.
Rita Damayanti, pakar kesehatan masyarakat dari UI, menambahkan solusi untuk mengatasi stigmatisasi ini adalah mengubah pola pikir masyarakat menjadi "setiap orang, pada prinsipnya, berpotensi tertpapar virus corona."
Dengan begitu, setiap orang bertanggungjawab untuk tidak menularkan virus tersebut.
"Kalau setiap orang berprinsip seperti itu, nggak muncul yang namanya situasi seperti sekarang. Orang ketakukan kena [virus corona], padahal perntanyaannya dia sudah kena atau belum? Dia juga nggak tahu," ujar Rita.
Baca selengkapnya disini >>>>