Baru Tahu Istri Tidak Perawan, Bolehkah Membatalkan Pernikahan?

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 20 Apr 2020

Baru Tahu Istri Tidak Perawan, Bolehkah Membatalkan Pernikahan?

Ilustrasi - Image from www.islampos.com

Terkadang keperawanan juga jadi salah satu syarat pernikahan oleh sekelompok orang.

Awalnya istri menutupi masalah keperawanannya, kemudian  setelah menikah, suami tahu sang istri sudah tidak lagi perawan. Lantas bagaimana sikap yang tepat sesuai syariat Islam?

Menikah dengan seorang gadis yang masih perawan merupakan dambaan kebanyakan pria yang pertama kali menikah. Lantas bagaimana jika setelah menikah, pria baru tahu kalau istrinya sudah tidak perawan dan bahkan pernah berzina?

Bolehkah, ia membatalkan pernikahan dan menarik mahar yang telah diberikannya? 

Baca juga : Ciri-ciri Istri yang Tergolong Calon Penghuni Surga

Jumhur ulama memang membolehkan pasangan yang menikah untuk melakukan fasakh atau pembatalan nikah jika ada penyakit akut, seperti lepra, tunagrahita, impotensi, cacat kemaluan si istri karena tertutup daging atau tulang, dan sebagainya.

Namun, mereka berbeda pendapat mengenai keperawanan seorang perempuan sebagai sebab pembatalan pernikahan. 

Sehingga belum jelas, apakah ketidakperawanan karena perzinahan termasuk sebuah kecacatan. 

Imam al-Syafi‘i menjelaskan dalam al-Umm bahwa ketidakkeperawanan perempuan bukan satu cacat yang membolehkah seorang suami menarik mahar atau membatalkan perkawinannya (khiyar fasakh). 

Hanya saja, secara tidak langsung, ia memberikan khiyar lain, di mana suami boleh memilih, antara melanjutkan pernikahan atau mengakhirinya dengan talak.

Dalil Tentang Fasakh Istri yang Tidak Perawan

Selengkapnya adalah sebagai berikut, 

“Jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan yang tidak diketahui bahwa perempuan itu sudah pernah berzina, tapi belakangan sebelum bergaul, sang suami tahu bahwa ia telah berzina sebelum atau setelah menikah, maka perempuan tersebut tidak haram baginya. Selain itu si suami juga tidak ada hak untuk mengambil mahar darinya, tidak pula ada hak fasakh baginya. Hanya saja, jika mau, si suami boleh meneruskan pernikahan, atau mencerainya,” (Al-Syafi‘i, al-Umm, [Beirut: Darul Ma‘rifah], 1990, cetakan pertama, jilid 5, hal. 13).

Sementara Ibnu Shalah, salah seorang ulama Syafi‘iyah, dalam fatwanya menganggap hilangnya keperawanan sebelum akad dianggap sebuah cacat yang membolehkan suami membatalkan pernikahannya (fasakh). 

Artinya, “Jika ada laki-laki menikahi seorang perempuan karena perempuan itu masih perawan, tapi ternyata sudah tidak, maka mengenai keabsahan pernikahannya ada dua pendapat. Namun, menurut pendapat yang paling kuat, pernikahannya tetap sah. Hanya saja, si suami memiliki hak khiyar fasakh.” 

(Lihat: Fatâwâ Ibn al-Shalah, [Maktabah al-‘Ulum: Beirut], cetakan pertama, 1407 H, jilid 2, hal. 660).

Kemudian jika dilakukan fasakh, maka fasakh-nya—menurut pendapat yang paling sahih—disyaratkan harus diajukan lebih dahulu kepada hakim (pengadilan), agar hakim mengambil keputusan setelah menimbang perkaranya. 

Namun ada pula yang membolehkan fasakh tanpa melalui hakim atau pengadilan, sebagaimana khiyar dalam jual-beli, terlebih jika keduanya sudah merelakan fasakh karena cacatnya jelas-jelas dianggap fatal dan langsung membatalkan pernikahan (lihat: Hasyiyah Qalyubi, [Darul Fikr: Beirut], 1995, jilid 2, hal. 265). 

Meskipun suami memiliki hak khiyar atau pilihan untuk membatalkan pernikahan, tetapi hak itu bisa gugur bilamana dirinya meridhai kekurangan istrinya, sebagaimana yang dikemukakan Syekh Zakariya al-Anshari. 

“Siapa saja rela akan cacat atau kekurangan istrinya, maka gugurlah khiyar fasakh-nya walaupun kekurangan itu terus bertambah. Sebab, keridhaan atas kekurangan pertama, berarti keridhaan atas kekurangan yang lahir darinya. Lain hanya jika muncul kekurangan yang lain, maka khiyar fasakh akibat kekurangan lain itu tidak gugur,” 

(Syekh Zakariya ibn Muhammad ibn Zakariya al-Anshari, Asnâ al-Mathâlib fî Syarh Raudh al-Thalib, [Beirut: Darul Kutub], t.t., jilid 3, hal. 178).

Kesimpulan : 

Dari uraian petikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan dan pelajaran, antara lain: 

  • Menurut Imam al-Syafi‘i, sah hukumnya jika menikahi perempuan yang pernah berzina. Namun, sebagian ulama menganjurkan agar menikahinya setelah si perempuan bertobat.
  • Masih menurut al-Syafi‘i, ketidakperawanan bukan sebuah cacat bagi pernikahan, sehingga suami tidak berhak melakukan pembatalan pernikahan. Tidak pula ada hak untuk menarik mahar yang telah diberikan. Hanya saja ia boleh memilih untuk melanjutkan atau memutuskan pernikahan. Hak cerai ini, tetap memberikan hak-hak lain kepada istri yang dicerai, seperti hak nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hak rujuk, semasa iddah. 
  • Berbeda dengan al-Syafi‘i, Ibnu Shalah yang juga pengikut mazhab al-Syafi‘i, secara tegas memasukkan ketidakperawanan sebagai cacat yang memperbolehkan suami melakukan pembatalan pernikahan. 

Perbedaan pendapat ini seharusnya tetap membuat kita semakin dewasa, toleran dalam menyikapi perbedaan, dan leluasa memilih pendapat paling memiliki banyak kemaslahatan bersama. 

Selain itu bagi para perempuan, sebaiknya bisa memetik pembelajaran. Agar tetap berhati-hati menjaga kesucian dirinya hingga menikah kelak. 
 

SHARE ARTIKEL