Jawa Kekeringan, Dampak Pemanasan Global Seluruh Dunia akan Krisis Air
Penulis Arief Prasetyo | Ditayangkan 09 Dec 2019Image from www.cianjurekspres.net
Selama puluhan tahun bertani, Maryanto (54) asal Klaten, belum pernah mengalami kemarau seperti yang terjadi tahun ini.
Ternyata tidak hanya Jawa, pemanasan global tahun ini membuat seluruh dunia akan krisis air.
Petani asal Klaten ini mengatakan sudah lebih dari empat bulan kemarau panjang merepotkan ia dan rekan-rekannya.
"Selama 10 tahun terakhir, ini kemarau yang paling parah. Dulu kemarau dua bulan biasa, ini empat bulan lebih, bisa enam bulan ini," kata Maryanto dikutip dari Kompas, awal November 2019 lalu.
Keadaan ini dipersulit dengan perebutan air. Air dari hulu sungai yang kini dikuasai pabrik air kemasan, hanya mengalir sedikit ke hulu.
Baca Juga:
etani mesti mengandalkan air sumur. Itu pun belum jaminan pasokan air lancar. "Dulu sumur kedalaman delapan meter sudah bagus airnya.
Sekarang harus minimal 12 meter, pasokan air tanah sudah berkurang, kering," ujar Maryanto. Kekeringan yang terjadi di tanah Jawa bukan perasaan Maryanto semata.
Kajian Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara bakal meluas. Dari enam persen di tahun 2000, menjadi 9,6 persen di tahun 2045. Wilayah-wilayah basah di bagian barat dan tengah Jawa diprediksi semakin berkurang.
“Jawa diprediksi akan mengalami peningkatan defisit air sampai tahun 2070,” kata Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Menurut Heru, faktor terbesar penyebab krisis air di Jawa adalah perubahan iklim.“Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air yang menguap ke udara karena peningkatan temperatur akibat perubahan iklim,” kata Heru.
Baca Juga:
Menurutnya, kondisi ini berpengaruh pada keseimbangan neraca air. Air menipis. Padahal kebutuhan air semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan alih fungsi lahan.
“Air yang seharusnya diserap masuk ke tanah dan bertahan lama di darat menjadi air limpasan yang langsung masuk ke saluran air ke sungai dan laut karena tanah menjadi lapisan kedap air,” ujar Heru.
Di mana air mengalir tak jauh
Bagi Anda yang pernah menonton film The Big Short (2015), pasti ingat bagaimana cerdiknya empat ahli keuangan Wall Street meramal housing bubble di Amerika Serikat.
Mereka mengeruk keuntungan dengan bertaruh pada keruntuhan ekonomi AS. Tapi ingatkah Anda baris terakhir film itu? “The small investing he still does is all focused on one commodity: water.”
Begitu keterangan soal tokoh utamanya, Michael Burry, di akhir film. Manajer investasi Michael Burry memang fokus berinvestasi di air. Air, dalam hal ini air tawar, bakal jadi komoditas pengganti emas atau minyak.
Seperti di film animasi Rango (2011) atau film-film Mad Max, air bakal sangat berharga karena jadi barang langka. Jika Anda pikir air ada di mana-mana dan tak habis, Anda salah. Tujuh puluh satu persen bumi memang tertutup air. Tapi itu air laut.
Kekurangan pangan
Kembali ke cerita Michael Burry, manajer investasi itu berinvestasi di air dengan cara bercocok tanam.
Ia menanam komoditas di daerah dengan banyak air, lalu menjualnya di daerah yang miskin air. Tanaman yang dipilihnya, yang membutuhkan banyak air seperti almond.
Tren susu almond yang sedang berlangsung juga dinilai mampu mengeruk keuntungan. Investasi air lewat pangan bukan tanpa alasan. Pasalnya, sekitar 70 hingga 80 persen air bersih dihabiskan untuk produksi pangan dan pertanian.
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, diprediksi kebutuhan air untuk pangan akan meningkat hingga 50 persen. Sayangnya, perubahan iklim yang terjadi justru mempersulit produksi pangan.
Dalam waktu dekat, kita akan kekurangan pangan akibat kekurangan air. Sekitar 800 juta orang saat ini diperkirakan kelaparan. Sebanyak 100 juta di antaranya kelaparan karena syok akan perubahan iklim.
Baca Juga:
Di Afrika, satu miliar orang berjuang hanya untuk bisa makan. Di akhir abad ini, angkanya diprediksi meningkat empat kali lipat. Selain Afrika, penduduk miskin dunialah yang akan jadi korban pertama dari krisis pangan ini.
Para peneliti memprediksi pada 2050, sekitar 150 juta orang di negara berkembang akan kekurangan protein. Salah satunya Indonesia.
Sebab, orang-orang di negara berkembang ini sangat bergantung pada protein nabati atau sayur-mayur dibanding protein hewani.
Sebanyak 138 juta orang juga diperkirakan bakal kekurangan zinc yang sangat dibutuhkan janin. Kemudian 1,4 miliar orang bisa mengalami defisit zat besi.
Anemia atau kekurangan darah akan jadi penyakit epidemik akibat defisit zat besi massal. Semua ini karena tidak tersedianya air bersih yang cukup.
"Jika krisis iklim adalah hiu, maka air adalah giginya," begitu kira-kira analogi untuk menyederhanakan kekacauan yang kita hadapi.