Gara-gara Disini Matahari Tidak Pernah Terbenam, Masayarat Punya Cara Unik Untuk Berpuasa

Penulis Unknown | Ditayangkan 28 May 2017

Kita harus bersyukur bisa menjalankan ibadah puasa di tahun ini. Terutama orang Indonesia yang wajib bersyukur karena hanya perlu menahan lapar dan haus selaa 13 sampai 14 jam saja.

Gara-gara Disini Matahari Tidak Pernah Terbenam, Masayarat Punya Cara Unik Untuk Berpuasa

BACA JUGA: Kisah Menarik Dibalik 5 Bersaudara Asal Thailand yang Kenakan Hijab Saat Foto Bersama

Bayangkan Saja jika kita berpuasa terus menerus dan tidak diketahui dengan jelas kapan waktunya berbuka? Yap itulah yang dialami umat muslim di Finlandia dan Swedia. Bagaimana tidak? negara-negara tersebut diselimuti kegelapan total saat musim dingin dan selalu terang di musim panas.

Dikutip dari Kompas, Di Finlandia, satu keluarga yang berasal dari Bangladesh menuturkan bagaimana mereka berpuasa di negara yang mataharinya hanya terbenam selama 55 menit. “Puasa dimulai pada pukul 1.35 pagi dan selesai pada pukul 00:48 pagi. Jadi puasa berlangsung selama 23 jam dan lima menit. Teman-teman dan keluarga kami di Bangladesh tidak percaya bahwa kita bisa berpuasa selama lebih dari 20 jam,” ujarnya, seperti yang dikutip dari Independent 26 Mei 2017.

Namun, tentunya berpuasa lebih dari 18 jam sangat berat untuk dilakukan. Dr Badul Mannan, Imam lokal dan presiden Islam Society of Northern Finland, berkata bahwa ada dua pemikiran mengenai puasa di negara yang harinya lebih dari 18 jam.

Dilansir dari BBC 18 Agustus 2012, Dr Mannan mengatakan, cendekiawan Mesir berkata bahwa jika satu hari begitu panjang atau lebih dari 18 jam, maka Anda bisa mengikuti waktu di Mekkah atau Madinah, atau negara Muslim terdekat.

Pemikiran inilah yang paling umum diikuti oleh mayoritas umat Muslim di Finlandia. Mereka mengikuti jam berpuasa di Mekkah atau Turki yang dekat dengan Finlandia.  Akan tetapi, pendapat cendekiawan Saudi berkebalikan dengan pemikiran ini. Menurut mereka, bagimana pun harinya, baik panjang atau pendek, Anda harus mengikuti waktu lokal.

Perbedaan pendapat ini menjadi dilema bagi Nafisa Yeasmin, seorang peneliti di University of Lapland yang pindah dari Dhaka, Bangladesh ke Lapland, Swedia pada tahun 2006. “Sangat sulit bagiku untuk mengikuti jam puasa di sini karena aku sudah terbiasa dengan 12 jam siang dan 12 jam malam di Bangladesh. Aku sempat berpikir untuk mengikuti jam Mekkah, tetapi aku khawatir bila puasaku akan diterima Allah atau tidak,” katanya.

SHARE ARTIKEL