Suami Mengatakan ‘Pisah’, Apakah Berarti itu Sudah Thalak dan Mereka Bukan Suami Istri Lagi?

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 14 Apr 2017
Suami Mengatakan ‘Pisah’, Apakah Berarti itu Sudah Thalak dan Mereka Bukan Suami Istri Lagi?
Apakah ucapan Pisah Suami sudah berarti Thalak?

Membahas permasalahan rumah tangga memang sangat sensitiv dan pelik. Banyak sisi yang harus dipelajari. Namun tentunya kita tidak usah bingung, karena semua sudah diatur dalam agama.

Kali ini mengutip mediasilaturahim.com, kita akan membahas perkataan suami. Mungkin saja secara tak sadar karena kesal dalam pertengkaran suami mengatakan 'Pisah'. Dan apakah ini sudah berarti 'Thalak'?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Pak Ustadz, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya ajukan:

1. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan bila suami hendak menceraikan isterinya?
2. Apabila suami berkata “pisah” kepada isterinya, apakah sama dengan artinya kata “cerai”? Dan apakah jatuh thalak?
3. Mohon penjelasannya tentang apa yang dimaksud thalak 1, thalak 2 dan thalak 3. Terima kasih sebelum dan sesudahnya.
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Baca Juga: Sekarang Kok Makin Banyak Anak yang Tega dengan Orangtuanya ya, Generasi Apa ini?

Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pertama
Karena pernikahan merupakan sebuah ikatan suci, maka setiap Muslim harus berusaha untuk menjaganya semaksimal mungkin dan tidak mudah memutuskan ikatan tersebut, kecuali bila ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan ikatan suci tersebut tidak bisa dipertahankan lagi.

Oleh karena itu,bila ada satu masalah rumah tangga, maka seorang suami yang ingin menceraikan isterinya atau isteri yang ingin menuntut cerai sebaiknya berfikir matang-matang atau mempertimbangkannya berulang-ulang, lebih dianjurkan untuk beristikharah terlebih dahulu.

Sebab, bisa jadi keinginannya untuk bercerai itu hanya didasari oleh emosi sesaat saja, tanpa mempertimbangkan sisi-sisi positif dan sisi-sisi negatifnya. Hal itu terkadang akan menyebabkan penyesalan yang selalu datang di akhir.

Bila ternyata masalah itu tidak dapat diatasi oleh suami isteri, maka sebaiknya dipanggil juru pendamai, satu dari pihak laki-laki dan satu dari pihak perempuan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisaa` [4]: 35)

Tetapi bila kedua belah pihak sulit untuk didamaikan lagi, maka sebaiknya suami mengajukan permohonan cerai ke pengadilan agama, biar hakim yang memutuskan, meskipun menurut agama, suami berhak menjatuhkan thalak sendiri. Atau, bila isteri yang menginginkan perceraian, maka dia berhak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama.

Kedua
Ada beberapa macam lafazh yang digunakan oleh seorang laki-laki dalam menceraikan isterinya:

1. Lafazh yang secara tegas mengandung pengertian thalak (cerai), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu” atau “Kamu aku thalak”. Bila lafazh ini yang digunakan, maka thalak langsung jatuh meskipun tidak ada niat.

2. Bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang dikaitkan dengan satu syarat (perbuatan atau kondisi tertentu), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu bila kamu melakukan perbuatan….atau mengucapkan perkataan….”

Lafazh seperti ini sangat tergantung kepada niat orang yang mengucapkannya. Bila dia benar-benar bermaksud menceraikan isterinya bila sang isteri melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang disyaratkan itu, maka thalak akan jatuh bila perbuatan tersebut dilakukan atau bila perkataan tersebut diucapkan.

Tetapi bila suami hanya bermaksud mengancam atau menakut-nakuti isterinya, maka thalak tidak jatuh meskipun perbuatan tersebut dilakukan atau perkataan tersebut diucapkan.

Baca Juga: Novel Baswedan Disiram Air Keras. Dia adalah Pengurus Masjid yang Tak Pernah Absen Jamaah Shubuh

Dalam hal ini, suami hanya dikenai kewajiban membayar kaffarah (denda) sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau berpuasa selama tiga hari.

3. Tetapi bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang mengandung unsur kinayah (kiasan) atau lafazh yang multitafsir, seperti dengan mengatakan: “Pulanglah kamu ke rumah orangtuamu!”, maka lafazh tersebut membutuhkan adanya niat.

Jadi, kalau tidak ada niat dari suami untuk menceraikan isterinya, maka tidak jatuh thalak. Menurut hemat saya, kata “pisah” termasuk ke dalam katagori ini, karena lafazh tersebut bisa jadi maksudnya: “Kita pisah dulu untuk sementara waktu” atau “Aku pisah-ranjangkan kamu”.

Ketiga
Dalam Islam, secara garis besar, thalak terbagi menjadi dua:

1. Thalak yang di dalamnya suami masih dapat rujuk (kembali) kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddah (masa menunggu) atau masih dibolehkan untuk menikahinya kembali bila masa ‘iddahnya telah habis.

Yang termasuk dalam thalak jenis ini adalah thalak ke-1 dan thalak ke-2. Artinya, bila suami menceraikan isterinya untuk pertama kali atau untuk kedua kalinya, maka dia masih dapat kembali (rujuk) kepada isterinya tanpa melalui akad nikah baru, dengan syarat masih dalam masa ‘iddah.

Tetapi bila masa ‘iddah-nya sudah habis, kemudian suami ingin kembali lagi, maka harus ada akad nikah baru (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 229).

2. Thalak yang di dalamnya suami tidak boleh kembali lagi kepada isteri yang diceraikannya kecuali setelah isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah, bukan dengan akad pura-pura atau yang biasa diistilahkan dengan akad nikah tahlil.

Thalak jenis ini disebut dengan thalak ke-3 atau thalak bain kubro. Bila thalak ini terjadi, maka seorang wanita sudah tidak halal lagi bagi suaminya kecuali bila dia telah dinikahi oleh laki-laki lain dengan akad nikah yang sah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 230).

Wallaahu a’lam.
SHARE ARTIKEL