Bolehkah Menikah SIRI dengan Wanita yang Masih dalam Proses Cerai?

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 25 Apr 2017
Bolehkah Menikah SIRI dengan Wanita yang Masih dalam Proses Cerai?

Bukankah untuk menikahi wanita yang cerai dengan suaminya harus telah selesai massa iddah. Namun bagaimana jika pernikahan itu hanya pernikahan sirri? Bagaimana hukumnya seperti ini? Berikut ada sebuah pertanyaan yang diajukan melalui hukumonline.com,

Pertanyaan:
Saya pria 40 tahun berstatus cerai hidup (duda). Beberapa bulan ini saya membina hubungan dengan wanita yang sudah diputuskan resmi bercerai di pengadilan agama.

Tetapi mantan suaminya mengajukan banding atas putusan tersebut. Saya dan wanita ini berencana untuk nikah sirri, selama putusan banding belum keluar, dan akan meresmikan di KUA setelah proses banding selesai.

Tujuan kami yang utama adalah untuk menghindari dosa. Yang saya tanyakan, bagaimana hukumnya? Apakah nikah sirri yang kami rencanakan itu halal/haram? Dan apakah mantan suami wanita bisa menuntut secara hukum pidana/perdata mengingat proses banding atas putusan pengadilan agama tersebut belum selesai?
Terima kasih.

Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Intisari:
Wanita yang masih berada dalam proses cerai dan belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa perceraian telah resmi terjadi, berarti perkawinannya belum putus.

Oleh karena itu, wanita tersebut belum boleh menikah lagi. Di samping itu, UU Perkawinan tidak menganut asas poliandri, yang artinya suatu perkawinan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami sehingga jika ia masih dalam proses cerai, ia tidak boleh menikah dan perlu menunggu masa iddah.

Ulasan:
Nikah siri di dalam masyarakat sering diartikan dengan;

Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap sah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.

Kedua, pernikahan yang sah secara agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang Non-Islam).

Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

Dalam konteks pertanyaan Anda, kami menyimpulkan bahwa nikah siri yang Anda akan lakukan di sini adalah perkawinan yang sah menurut agama (memenuhi ketentuan syarat dan rukun nikah/kawin) namun tidak dicatatkan pada kantor pegawai pencatat nikah, yakni dalam hal ini adalah Kantor Urusan Agama (“KUA”).

Berdasarkan cerita Anda, kami menangkap hal-hal berikut:


  • Calon Istri Anda yang akan Anda nikahi secara siri masih terikat dengan perkawinannya terdahulu karena belum ada putusan berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa calon istri Anda dan suaminya telah resmi bercerai.


  • Anda khawatir suami dari calon istri Anda saat ini akan menuntut Anda secara perdata/pidana.

Menjelaskan poin pertama di atas sekaligus menjawab pertanyaan Anda, Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) antara lain mengatakan bahwa bagi mereka yang beragama Islam, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Baca Juga: Ini Alasan Marcell Pindah-Pindah Keyakinan Hingga Masuk Islam yang Harmonis Menurutnya

Ini artinya, jika suami dari wanita yang Anda ingin nikahi secara siri itu mengajukan upaya hukum banding, maka putusan pengadilan itu belum berkekuatan hukum tetap.

Dengan kata lain, perkawinan antara wanita yang akan Anda ingin nikahi dengan suaminya itu belum putus dan secara hukum negara, Anda tidak dapat menikahinya.

Hal ini karena UU Perkawinan menganut asas monogami dan tidak menganut asas poliandri, yang artinya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Tetapi, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), memberikan izin bagi suami untuk memiliki lebih dari satu istri dengan berbagai persyaratan (Lihat Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan).

Lagipula, kalaupun kemudian wanita itu telah resmi bercerai dengan suaminya, maka ia masih harus menunggu masa iddah. Wanita bersuami yang masih berada dalam lindungan suaminya tidak halal menikah dengan orang lain. Supaya halal menikah dengan laki-laki lain, maka harus terpenuhi dua syarat, yaitu:


  1. Telah lepas dari tangan suami, baik karena meninggal dunia maupun karena talak (bercerai); dan
  2. Telah habis iddah (masa tunggu-pen) yang diperintahkan oleh Allah. Selama dalam masa iddahtersebut masih dalam tanggung jawab suami terdahulu.


Kami juga akan menjelaskan dari sudut agama. Menurut Hukum Islam, perkawinan Anda dengan wanita tersebut hukumnya haram. Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 24, dimana Allah SWT berfirman:

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۖ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ …

“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu …”.

Dengan demikian, menurut hemat kami, perkawinan Anda nantinya dengan calon wanita yang masih bersuami itu bertentangan dengan Hukum Islam maupun hukum negara dan karenanya perkawinan tersebut tidak sah dan berdosa apabila dilakukan.

Kemudian mengenai apakah Anda dapat dituntut oleh suami wanita tersebut, hal itu bisa saja jika Anda dan wanita tersebut melakukan hubungan suami istri sebelum wanita tersebut resmi bercerai dari suaminya.

Dalam hal ini, Anda maupun wanita tersebut dapat dituntut oleh suami wanita tersebut atas dasar perzinahan yang diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
SHARE ARTIKEL