Festival Kesuburan di Jepang dengan Barang-Barang Aneh, Bikin Mual Liatnya
Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 26 Mar 2017
Honen Matsuri dengan mikhosi berwarna kecoklatan. via www.scriptedlaces.com
Yang jadi menarik bukan hanya karena festival kesuburan ini merupakan tradisi masyarakat Jepang yang memiliki nilai budaya yang tinggi, tapi juga karena semua hal yang dijual di acara tersebut berbentuk penais. Ini jugalah yang menjadi daya pikat untuk masyarakat. Sebenarnya itu festival apa sih, kok ramai sekali. Kalau di Indonesia bikin acara serupa, bagaimana ya? Biar nggak makin penasaran, berikut ulasannya dari yang dikutip Hipwee.
Festival Shinto Kanamara sudah diselenggarakan sejak ribuan tahun lalu. Berdasarkan kisah tentang iblis dan seorang gadis cantik

Acara adat. via event-carnival.com
Ya, festival tahunan ini sudah diadakan sejak berabad lalu, tepatnya pada tahun 1600-an. Berawal dari kisah yang mungkin juga mitos tentang sesosok iblis bertaring tajam yang ‘jatuh hati’ pada gadis muda nan cantik. Singkat cerita, si iblis ini terpesona dan berhasrat untuk memilikinya. Tapi, karena perbedaan wujud, mereka nggak bisa bersatu.
Alhasil, si iblis masuk ke dalam alat vitial sang gadis. Tujuannya untuk menjaga sang gadis dari para cowok yang juga tertarik padanya. Si iblis ini selalu mengebiri cowok-cowok yang ingin berhubungan dengan sang gadis.
Nah, lambat laun sang gadis menyadari ada yang nggak beres dengan dirinya. Dia meminta pertolongan ke semua orang, tapi nggak ada yang bisa ‘menyembuhkannya’. Akhirnya, seorang pandai besi menolongnya dengan cara membuat penais yang terbuat dari besi untuk menipu si iblis. Singkat cerita, penais besi ini berhasil mengeluarkannya dari tubuh sang gadis. Nah, sejak saat itulah setiap minggu pertama April selalu ditandai dengan Shinto Kanamara Matsuri.
Baca Juga: Siswi SD ini Merekayasa dia Diculik, Ini akibat Fatal Berita Hoax Penculikan Anak
Berangkat dari kisah itulah, festival ini diadakan dengan tujuan untuk menghormati kesuburan dan penggalangan dana untuk masalah HIV

Itu permen. via deccanchronicle.com
Nah, atas dasar sejarah itulah, festival ini tercipta dengan maksud untuk memeringati kesuburan sebab masyarakat Jepang merupakan negara di Asia yang memiliki tingkat kelahiran terendah, mencegah penyakit menular, hingga pengumpulan dana untuk penelitian HIV.
Seiring berkembangnya zaman, festival ini pun mengalami perluasan makna. Kalau pada zaman dulu, festival ini hanya menghadirkan sebuah penais raksasa (mikoshi) berwarna pink yang diarak keliling kota melintasi jalan Kawasaki dengan ritual beserta doa kepada dewa, sekarang bukan cuma mikoshi aja yang ada. Melainkan acara ini juga diramaikan oleh banyaknya pedagang kaki lima yang menjual berbagai dagangan bertema penais. Dari makanan ringan hingga souvenir. Dan inilah yang menjadi daya tarik para turis mancanegara datang ke Jepang di setiap bulan April. Masalah berdoa, entahlah. Para turis ini hanya tertarik dengan konsep Festival Shinto Kanamara.
Bukan Jepang namanya kalau nggak punya beragam hal unik. Selain Shinto Kanamara Matsuri, ada juga Honen Matsuri yang nggak jauh beda

Honen Matsuri dengan mikhosi berwarna kecoklatan. via www.scriptedlaces.com
Sebelum Shinto Kanamara, bulan Maret ini, Jepang juga menyelenggarakan festival serupa. Honen Matsuri atau Festival Kesuburan, yang memiliki konsep dan tujuannya yang sama. Secara harfiah, Honen berarti sejahtera dan matsuri berarti festival.
Ya, festival ini juga bertujuan sebagai wujud syukur masyarakat atas kesuburan yang mereka dapatkan. Sama seperti Shinto Kanamara. Cuma bedanya, Festival Honen diadakan setiap tanggal 15 Maret dan memiliki sebuah patung penais berwarna coklat kayu. Serta diramaikan juga oleh jajanan dan souvenir berbentuk alat vitial cowok.
Baca Juga: Hati-Hati, Ternyata Fakta dari Smoothing dan Rebonding Sungguh Mengerikan
Lalu pertanyaannya, kalau Indonesia mengadopsi acara semacam ini, bagaimana tanggapan masyarakat, ya? Meski tujuannya baik loh

Kalau bikin ginian di Indonesia, aman? via www.funbuzztime.com
Jelas, kedua festival unik dan bersejarah tersebut selalu ramai dikunjungi, mengingat acara hanya diadakan satu tahun sekali. Tentu orang nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu. Karena sebagian besar pelancong yang datang hanya tertarik dengan konsep acara dan pernah-pernik yang menghiasi acara yang harusnya khidmat itu.
Nah, kalau seandainya, Indonesia juga mengadakan acara serupa dengan alat vitial sebagai penghiasnya, apa jadinya ya? Jelas, festival seperti ini tak akan mungkin kita temui di Indonesia. Selain sangat bertentangan dengan nilai “malu” pada masyarakat kita, banyak orang yang masih sangat menganggap hal-hal mengenai sekual sebagai sebuah hal yang sangat tabu dan tak boleh dibicarakan.
Sepertinya memang hanya Jepang yang bisa membuat tradisi dan kebudayaan tetap berjalan seiring dengan berkembangnya zaman. Meski, esensi dari tradisi yang mereka lakukan agak sedikit berkurang karena orientasi masyarakat sudah mulai berubah. Masyarakat yang datang nggak cuma pengen melakukan doa dan ritual, tapi sebagian besar tertarik dengan jajanan dan souvenir yang terbilang cukup tabu bagi sebagian orang yang ada. Bagaimana dengan Indonesia?
loading...