Facebook Tak Segan Blokir Akun Penebar Kebencian. Ini Kata Mark Zukerbeg!
Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 10 Dec 2016
Mark Zuckerberg
Media Sosial nampaknya sudah menjadi rumah kedua setelah menjalani aktifitas sehari-hari. Karena itu berbagai hal terupdate saat ini bisa dengan sangat mudah diakses melalui internet. Contoh media sosial yang saat ini sedang berada dipuncak adalah facebook. Banyak hal yang dapat dibaca di facebook, mulai dari ajakan kebaikan dan ilmu yang bermanfaat. Berita terupdate yang terjadi di sekitar kita. Hingga hasutan dan provokasi yang dilakukan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Karena belakangan ini marak provokasi dan ujaran kebencian melalui facebook. Bos facebook, Mark Zuckerberg turut angkat bicara.
Belajar dari Pemilihan Presiden di Amerika Serikat, juga berbagai proses pesta demokrasi di Indonesia, Facebook merasa perlu untuk segera stop ujaran kebencian.
Melansir tribun style, pihak Facebook saat ini sedang membuat sistem intelijen untuk mendeteksi akun-akun yang disinyalir sebagai sumber penyebaran kebencian. Pendiri Facebook Mark Zuckerberg menegaskan hal itu pada APEC CEO Summit 2016 di Peru, belum lama ini.
Baca Juga: Masih SD, Lihat Tingkah Bocah ini Hingga Sang Kakak Shock
"Penyebaran kebencian di media sosial makin masif. Timbul kecemasan banyak pihak," kata Mark mengawali sambutan kecemasannya.
Mark menuturkan manajemen Facebook akhir-akhir ini banjir keluhan dari berbagai penjuru dunia. Pengguna Facebook mengeluh, merasa semakin tidak nyaman menggunakan media sosial berlogo huruf "f" dengan dominasi warna biru itu.
"Tapi kita perlu stop penyebaran kebencian, kekerasan dan misinformasi," tegas Zuckerberg.
Kecemasan miliarder dengan gaya hidup sederhana ini beralasan. Ia melihat Pemilu di berbagai negara membuat banyak orang saling menyerang di media sosial. Saling serang tidak hanya antarkubu yang sedang bersaing. Mereka yang dalam kubu netral pun ikut jadi korban kedua kubu.
Bahkan manajemen Facebook juga menerima semakin banyak laporan bahwa media sosial yang paling disukai di seluruh penjuru dunia itu juga disalahgunakan untuk segelintir pihak untuk menebar ketakutan.
Akun-akun yang terindikasi sebagai pelecut gerakan terorisme juga akan ditutup. Akan diblokir, sama halnya dengan akun-akun penyebar ujaran kebencian.
"Kita bangun intelijen memerangi terorisme," tegasnya.
Manajemen Facebook merasa perlu memblokir akun-akun penyebar ujaran kebencian demi melindungi jutaan pengguna lain yang merasa semakin tidak nyaman menggunakan media sosial ini.
"Kita perlu memastikan bisa melindungi privasi banyak orang," tegasnya.
Pantauan TribunStyle.com, video Mark Zuckherberg ini belakangan viral di Indonesia.
Banyak orang yang tak ingin kenyamanannya terganggu nge-share video Zuckerberg ini sebagai warning kepada mereka yang suka menebar ujaran kebencian.
Berikut pidato Mark Zuckerberg tentang rencana mendeteksi akun-akun ujaran kebencian dan kemungkinan memblokirnya:
Ujaran Kebencian dan Saling Ledek di Media Sosial Makin Mencemaskan
Apa solusi yang paling tepat mengendalikan ujaran kebencian?Jamie Bartlett, Direktur Pusat Analisis Media Sosial pada kajian Demos, menulis buku yang agak berbeda dari isu arus utama soal pertautan antara internet, termasuk media sosial dan demokrasi.
Alih-alih menulis bagaimana internet membantu penguatan demokrasi, dalam buku The Dark Net: Inside the Digital Underworld (2014), Bartlett menguraikan sisi "gelap" internet dari hasil observasi partisipatifnya, mulai dari situs pasar asasinasi, trolling (provokasi), perdagangan obat terlarang dalam jaringan, pornografi anak, hingga penyebaran pesan kebencian dari kelompok garis keras sayap kanan Eropa.

Facebook bisa mengumbar berbagai kebencian
Barlett tidak berniat menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap internet. Namun, ia ingin mendudukkan internet sebagai alat yang sudah bertautan erat dengan kehidupan manusia. Sebagai alat, internet bisa berdampak positif, tetapi juga negatif.
Baca Juga: Keren! Video Diduga Wanita Korea Layani Pembeli dengan Bahasa Jawa
Menurut dia, internet sudah menjadi platform politik yang penting di berbagai belahan dunia, mulai dari kampanye Barack Obama di Amerika Serikat hingga flash mob gerakan pendudukan.
"Akan tetapi, teknik yang sama juga digunakan gerakan-gerakan politik ekstrem untuk menyebarkan pesan kebencian dan merekrut pendukung baru," tulis Barlett dalam buku itu.
Di Indonesia, contoh positif dan negatif media sosial sama-sama ada. Penggunaan media sosial untuk aktivitas kriminal sudah beberapa kali diungkap Polri, semisal prostitusi daring ataupun penipuan berbasis media daring.
Selain itu, muncul ujaran kebencian berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan. Di tingkat lebih parah, juga muncul penyebaran paham dan perekrutan anggota Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dengan menggunakan media daring.
Untuk menindak penyebar ujaran kebencian, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selain itu, juga ada Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.
Menurut Doddy BU, pendiri Information Communication and Technology (ICT) Watch, Rabu (3/8), tidak ada obat instan penyembuh segala penyakit untuk menghadapi penyebaran ujaran kebencian di media sosial.
Penindakan terhadap orang-orang yang menyebarkan ujaran kebencian hanya menyelesaikan persoalan di hilir, tetapi tidak di sumber.
Idealnya, upaya mengatasi penyebaran ujaran kebencian dimulai dari pertanyaan mengapa ujaran kebencian itu marak?
Doddy punya hipotesis untuk persoalan di Indonesia. Menurut dia, sebelum reformasi 1998, kebebasan berpendapat dan pertukaran informasi diredam pemerintah sehingga kultur berdebat kritis dan beragumentasi kurang terlatih.
Ketika kebebasan berekspresi terbuka setelah reformasi, orang-orang belum sepenuhnya paham bagaimana mengungkapkan ekspresinya, tetapi tetap menghormati orang lain.
Sementara itu, pada saat bersamaan, pengguna internet di Indonesia mulai tumbuh, tetapi tidak ada upaya mendorong literasi bermedia sosial.
Kaum "pribumi" digital, orang-orang yang lahir menjelang atau setelah milenium kedua, di Indonesia, minim informasi soal bagaimana kode etik bermedia sosial atau berinternet yang sehat.
Akibatnya, tidak sedikit netizen atau pengguna internet yang tidak tahu batasan antara kritik, ujaran kebencian atau bahkan ujaran berbahaya yang mengarah pada ajakan untuk mencelakakan orang lain.
Oleh karena itu, Doddy berpendapat solusi yang paling pas ialah mendorong gerakan literasi media sosial.
Di negara-negara Eropa yang konon kehidupan demokrasinya sudah lebih matang dibandingkan Indonesia, ujaran kebencian juga mendapat perhatian serius.
Komisi Eropa pada pengujung Mei 2016 "memaksa" perusahaan teknologi informasi besar menerapkan kode perilaku dalam menghadapi ujaran kebencian ilegal di dunia maya. Facebook, Twitter, Youtube, dan Microsoft menyepakati beberapa langkah, termasuk menghapus konten berisi ujaran kebencian dalam waktu kurang dari 24 jam (Europa.eu 31/5/2016).
Langkah ini juga bukan bebas dari kritik karena ada pengamat yang mempertanyakan batasan "ujaran kebencian".
Pengajar Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Budiawan, berpendapat, sensor konten oleh penyedia layanan media sosial itu secara teknis sukar diterapkan.
Pasalnya, sensor konten akan dilakukan secara mekanis dengan berdasar pada kata kunci tertentu yang bisa saja tak tepat konteks.
Namun, itu tak berarti tak ada jalan untuk mengatasi persoalan itu. Apalagi, jika terus dibiarkan, dampak yang ditimbulkan ujaran kebencian bisa berbahaya.
"Itu (dampaknya) seperti mempertebal prasangka atau mempertebal kebencian yang bisa berlanjut pada tindakan destruktif yang berbahaya," katanya.
Budiawan sependapat dengan Doddy bahwa cara efektif mengendalikan ujaran kebencian di media sosial ialah lewat gerakan literasi media sosial.
Dalam jangka panjang, lebih efektif mengurangi "permintaan" ujaran kebencian ketimbang menekan "pasokan" ujaran kebencian di media sosial.
Apabila netizen sudah makin "melek" etika bermedia sosial, akan muncul sikap swasensor. Bentuk sensor ini, kata Budiawan, bukan dalam hal membatasi daya kritis, tetapi untuk mempertimbangkan dampak dari perbuatan terhadap orang lain.
Pemahaman etika ini penting karena media sosial memungkinkan setiap orang menjadi "penulis" sekaligus "editor" atas konten yang hendak mereka unggah. Bagaimana pendapat Anda?