Suami Mampu, Tapi Nafkah ke Istri Pas-Pasan, Bagaimana?
Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 14 Apr 2020Uang belanja untuk istri - Image from beautynesia.id
Ngasih ke istri kurang, ke yang lain lebih-lebih
Banyak sebagian istri malah hidup kekurangan, padahal sang suami mampu bahkan memiliki simpanan uang yang cukup banyak. Tapi selalu memberi nafkah untuk istri hanya pas-pasan saja, buat beli make up kurang, beli baju juga kurang, bahkan untuk makan saja harus terpaksa pakai tabungan istri. Sudah begitu suami protes "kok makanannya gini terus"
Seorang istri mendapatkan nafkah dari suaminya sangat pas-pasan, bahkan kurang, sehingga menyebabkan istri dan sang anak lebih sering kelaparan daripada kenyang. Padahal dalam kondisi tersebut sang suami memiliki simpanan uang. Lalu apakah hal ini termasuk bentuk kezhaliman?
Dijawab oleh Ustadz Aris Munandar, M.PI:
Ya, kondisi itu adalah sebuah kezhaliman, yang merupakan kegelapan pada hari kiamat.
Menafkahi istri dengan pas-pasan bahkan kurang, padahal suami memiliki simpanan uang yang cukup merupakan bentuk kezhaliman kepada manusia, yang mana tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kecuali dengan ridha orang yang dizalimi.
Bagaimana solusi dari masalah ini? Yaitu istri harus sabar, berilah masukan kepada suami agar tak berbuat demikian.
Istri juga bisa memberinya buku ataupun media lainnya yang menjelaskan tentang hak-hak istri kepada suami. Istri juga boleh melibatkan orang ketiga jika memang diperlukan.
Dalam hal ini, jika suami memiliki uang namun istri tak dinafkahi dengan cukup, maka ia boleh mengambil uang suami diam-diam.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ
Artinya: “Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714) Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara ‘urf (menurut kebiasaan setempat). (Fath Al-Bari, 9: 509)
Baca Juga: Bukan Emas Ataupun Berlian, Istri Hanya Butuh ini
Dari hadits diatas, dapat kita simpulkan bahwa apabila suami yang berkewajiban memberi nafkah pada istri lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Karena nafkah pada istri itu adalah wajib.
Namun perlu digaris bawahi, istri juga tidak boleh serta-merta mengambil seluruh harta suami. Adapun besar nafkah yang dianggap dan mencukupi itu seperti apa, hal itu tergantung pada tempat dan juga waktu.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al-Fatawa, 34: 83)
Jika melihat dari pandangan ulama Hanafiyah, maka hadits ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar besarnya nafkah adalah apa yang dirasa cukup oleh sang istri.
Sebab dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta suaminya yang mencukupinya.
Akan tetapi yang paling bagus adalah besarnya nafkah itu dilihat dari kemampuan suami dan kecukupan sang istri, yakni memandang kedua belah pihak.
Disebutkan dalam ayat Al-Qur'an,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).
عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
Artinya: “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula).” (QS. Al-Baqarah: 236).
Dikompromikan dengan hadits bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Artinya: “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” (HR. Bukhari, no. 5364).
Baca Juga: Rumah Tangga Anda Tak Bahagia? Mungkin Belum Melakukan Hal ini
Kemudian juga perlu digaris bawahi, apabila istri masih mampu mendapatkan kecukupan dari harta suami (meskipun nantinya ia mengambil diam-diam), maka ia tidak boleh menuntut untuk pisah (cerai).
Jadi, cerai disini bukanlah jalan keluar dari sulitnya nafkah.
Apabila seorang isteri mengadukan suaminya demi meminta nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun, maka hal itu tidak termasuk ghibah.
Jadi, sah-sah saja jika sang istri meminta bantuan kepada ustadz ataupun orang yang paham dengan hukum pernikahan.
Semoga bermanfaat.