Pemerintah Buka Rekening Untuk Donasi, Kenapa Tidak Pakai APBN?

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 31 Mar 2020

Pemerintah Buka Rekening Untuk Donasi, Kenapa Tidak Pakai APBN?

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati - Image from www.suara.com

Ini alasan dan penjelasan lengkap dari menteri keuangan

Banyak pertanyaan dari netizen kenapa tidak pakai dana APBN? Kemana uang pajak yang kami bayar?Kenapa tidak para DPR dan pemerintah yang gajinya besar membantu menyumbang? Ataukah pemerintah kesulitan dana tangani corona? SImak jawabannya pada informasi berikut ini

Pemerintah berencana akan membuka rekening khusus untuk menampung donasi dari pelaku usaha, guna menopang penanganan virus corona di Indonesia. 

Nantinya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai gugus tugas yang akan mengelola rekening tersebut.

"Pemerintah akan membuka account khusus di BNPB bagi masyarakat, dunia usaha yang ingin menyumbangkan. Ini akan diumumkan oleh Ditjen Perbendaharaan sebagai account masyarakat yang ingin membantu dan langsung dikelola BNPB," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, seperti yang dilansir dari laman merdeka.com Rabu (25/3).

Bendahara Negara ini menambahkan, bahwa dari segi anggaran pemerintah sebetulnya siap untuk mendukung proses percepatan penanganan pandemi virus corona di Indonesia.

Namun opsi pembukaan rekening khusus dilakukan untuk membantu meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah.

Salah satu upaya pemerintah dari sisi anggaran adalah menanggung semua biaya perawatan pasien terjangkit virus corona. Pendanaan pasien diambil dari APBN 2020 atau APBD.

"Karena pandemik covid-19 tidak masuk dalam hal yang bisa dicover BPJS dari sisi iuran," kata Sri Mulyani.

Baca Juga: Potensi Kasus Corona DKI Capai 9.430, Anies:”Semua ini harus dicegah”

Pemerintah Buka Rekening Untuk Donasi, Kenapa Tidak Pakai APBN?

Staf Milenial Presiden, Adamas Belva Syah Devara - Image from www.suara.com

Disisi lain, Staf Milenial Presiden, Adamas Belva Syah Devara, membagikan beberapa tips untuk generasi milenial atau kawula muda di tengah pandemi virus corona di Indonesia.

Deva meminta agar generasi muda bisa menciptakan langkah kecil dalam mencegah covid-19.

Ia juga mengatakan bahwa generasi muda dapat menginisiasi kegiatan donasi secara online. Hal ini dinilai efektif dalam menjaring setiap individu untuk berperan serta dalam memberikan donasi bagi penanganan virus corona.

"Ini diyakini dapat mencegah penularan wabah virus Covid-19, karena tidak melakukan kontak langsung," kata Deva melalui Konferensi Pers, di Jakarta, Senin (23/3).

Baca Juga: Indonesia Tegaskan Tak Akan Lockdown, Mengaca dari Negara yang Gagal

Tak hanya menggalang dana, Deva juga menghimbau agar generasi milenial patuh untuk menjaga jarak.

Sebab Deva menilai masih banyak generasi muda yang tak mengikuti anjuran pemerintah terkait aturan pengurangan aktivitas di luar rumah.

"Masih pada ngeyel, dengan hang out yang tidak perlu dan kegiatan lainnya," ungkap Deva seperti yang dilansir dari laman merdeka.com Rabu (25/3).

Padahal generasi milenial tanpa disadari, justru merupakan penyumbang terbesar untuk penularan virus corona.

Seperti halnya hasil tes Covid-19 di Korea Selatan, dari 250.000- 300.000 orang yang melakukan tes Covid-19, diketahui 30% diantaranya berusia 20-29 tahun dinyatakan positif terjangkit covid-19.

"Itu mengapa kalian (generasi muda), harus bisa menjaga jarak," ujar Deva.

Langkah Pemerintah ini Jadi Bahan Bahasan Panas di Dunia Maya. 

Langkah pemerintah ini jadi bahan bahasan panas di dunia maya. Yang mendukung banyak. Yang menolak, lebih banyak lagi.

Di antara yang menolak, mengaku miris melihat pemerintah meminta-minta uang kepada rakyatnya. “Woiii kalian ini gimana sih, jelas kalian punya kuasa, sumber daya, kok malah mau minta donasi?” cuit @taufiqrus. “Malah pemerintah buka rekening donasi. Amit-amit dah...” timpal @fithriabel.

Akun @dwi_joko_w menyarankan pemerintah melakukan efisiensi anggaran dahulu sebelum memutuskan meminta uang rakyat. “Lakukan dulu restrukturisasi dan realokasi anggaran, baru galang donasi publik. Tanpa itu, tak beda negara dengan lembaga kemasyarakatan yang berebut dana bansos,” sindirnya. 

Akun @shallypristine menolak memberikan sumbangan.“Gue udah donasi tiap bulan ke rekening Pemerintah. Namanya pajak. Tolong urus aja duit yang itu dulu. Thanks,” cuitnya. “Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Mari Kita sumbang PEMERINTAH yang DHUAFA ini: #SumbangPemerintahDhuafa,” sindir @datukpancilok.

Sedangkan yang mendukung, memberikan apresiasi terhadap cara pemerintah ini. Akun @gitaghit merasa geram melihat banyaknya pihak yang mencibir. “Cuma di Indo, pemerintah buka rekening donasi, diocehin.. Yang ngocehin masalahnya yang miskin.. Nyumbang mah kaga, tapi ngerasa diporotin negara,” cuitnya.

Akun @Kayinn_ meluapkan kekesalannya dengan bahasa Sunda. Intinya, jangan banyak bicara jika hanya mengkritik tanpa membantu. “Baca cuitan orang-orang bikin nasteung.. Ngegampangin banget!! Nyalahin pemerintah dan blabla. Lain maneh hungkul, kami ge panik. Setidaknya do’akan, dukung, berikan semangat, syukur-syukur bisa kasih donasi gede buat bantu pemerintah. Lain ngoceh aja nyalahin pemerintah,” sarannya

Ada yang mencoba berpikiran positif dengan menganalisa pemerintah menginginkan sumbangan tepat sasaran. “Mungkin demi menghindari oknum yang ingin mengambil kesempatan di tengah maraknya orang-orang ngadain kegiatan donasi. Jadi kan kalau ke rekening resmi bisa pemerintah distribusikan ke wilayah mana yang butuh. Maybe,” cuit @eldntrzyyn. Sementara @mantugaul langsung ingin menyumbang. “Ada yang tau nomor rekening resmi pemerintah donasi untuk #covid19?” cuitnya.

Sebelumnya, mungkin banyak dari kita memandang sinis pernyataan pengamat ekonomi dan politik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, yang memprediksi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan jatuh dalam waktu enam bulan ke depan.

Simpulan tersebut didapatkan Syahganda karena dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan perekonomian Tiongkok. 

Negeri Tirai Bambu tersebut tidak akan lagi menjadi “penolong sigap” yang akan membantu Indonesia dalam menghadapi masalah ekonomi yang disebut tengah terjadi. T

erlebih lagi, Indonesia disebut-sebut telah begitu bergantung kepada Tiongkok secara ekonomi selama ini, khususnya dalam hal investasi infrastruktur.

Pun begitu, kita mungkin juga telah memandang sinis pernyataan mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) yang menyebutkan bahwa akan terjadi krisis ekonomi besar yang terjadi menjelang lebaran. 

Menurut RR, terdapat lima faktor penting di sektor ekonomi yang jika terjadi secara bersamaan dapat memicu hal tersebut, yakni indikator makro ekonomi yang merosot, daya beli yang menurun, kasus Jiwasraya, ekonomi digital yang mengalami koreksi valuasi, dan terjadinya gagal panen para petani.

Akan tetapi, melihat fakta-fakta yang terjadi belakangan ini, tampaknya pernyataan kedua sosok tersebut harus benar-benar direfleksikan, terutama bagi pemangku kebijakan di negeri ini.

Bagaimana tidak? Saat ini kurs dolar telah menembus Rp 16 ribu. Bahkan, di beberapa kesempatan, hampir mendekati Rp 17 ribu. 

Itu tentu merupakan indikasi kuat bahwa tengah terjadi persoalan ekonomi seperti yang disebutkan oleh Syahganda.

Kemudian, mengacu pada pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG), disebutkan bahwa puncak penyebaran Covid-19 akan terjadi pada bulan Mei atau menjelang Lebaran 2020. 

Dengan fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia akan melakukan ibadah puasa yang tentunya dapat menurunkan imunitas tubuh, serta akan terjadinya mudik lebaran, perhitungan BIN tersebut benar-benar memiliki alasan yang kuat.

Apalagi, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, juga telah menyebutkan bahwa berdasarkan perhitungan statistik terkait potensi penularan Covid-19. 

Didapatkan ada sekitar 600 ribu hingga 700 ribu jiwa penduduk Indonesia yang termasuk dalam population at risk atau mereka yang berisiko terpapar virus tersebut.

Dengan demikian, katakanlah akan terdapat 700 ribu pasien Covid-19 di Indonesia, bukankah itu benar-benar akan menguras keuangan negara? 

Pasalnya, dengan 1.046 kasus Covid-19 yang telah diidentifikasi saja, pemerintah disebut telah menggelontorkan dana sebesar Rp 158 triliun. Lantas, bagaimana jika jumlahnya menembus 700 ribu kasus?

Stafsus milenial anjurkan anak muda bentuk donasi corona ketimbang nongkrong

Lebih getirnya lagi, Profesor matematika terapan di University of Essex, Susanto, bahkan memprediksi bahwa, jika lockdown (karantina wilayah) tidak diterapkan, maka setengah dari populasi Indonesia (137 juta jiwa) dapat terkena Covid-19.

Saat ini, diketahui pemerintah telah membuka rekening resmi untuk menampung donasi dunia usaha yang ingin membantu dalam kegiatan pencegahan dan/atau penanganan Covid-19. 

Atas hal tersebut, wartawan senior Hersubeno Arief bahkan menduga bahwa itu adalah pengakuan tidak langsung dari pemerintah bahwa sejatinya dana untuk penanggulangan pandemi Covid-19 tidak memadai.

Lantas, benarkah pemerintah Indonesia sejatinya tidak memiliki dana yang memadai dalam menanggulangi pandemi Covid-19?

Virus yang Mahal

Seperti yang disebutkan di awal tulisan, Covid-19 tampaknya layak dijuluki sebagai virus yang sangat mahal menimbang pada penanganan ataupun biaya untuk menanggulangi dampak yang diakibatkannya.

Bayangkan saja, pemerintah Thailand yang penduduknya berjumlah 69,04 juta jiwa diketahui telah menyetujui untuk mengeluarkan anggaran sebesar US$ 12,7 miliar atau sekitar Rp 201,7 triliun untuk memberikan stimulus ekonomi bagi mereka yang terdampak pandemi Covid-19.

Lalu, pada kasus Italia yang penduduknya berjumlah 60,48 juta jiwa diketahui telah menggelontorkan dana sebesar US$ 28,3 miliar atau sekitar Rp 449,5 triliun untuk penanganan Covid-19.

Lebih mengejutkan adalah Singapura yang kendati penduduknya hanya 5,617 juta jiwa bahkan telah dua kali mengeluarkan dana stimulus ekonomi yang totalnya mencapai 54,4 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp 613 triliun.

Kemudian, terdapat pula Australia dan Korea Selatan yang juga telah menggelontorkan dana stimulus ekonomi yang masing-masing sebesar US$ 6,6 miliar (sekitar Rp 106,5 triliun) dan US$ 9,8 miliar (sekitar Rp 158,1 triliun).

Sementara, pemerintah Indonesia dalam klaimnya menyebutkan telah menggelontorkan dana sebesar Rp 158 triliun untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Namun, di tengah pengeluaran fantastis tersebut, tampaknya pemerintah Indonesia harus merogoh kantongnya lebih dalam lagi.

Bagaimana tidak? Untuk menanggulangi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, pemerintah akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada 89 juta jiwa.

SHARE ARTIKEL