9 Kerugian Buruh Saat Omnibus Law UU 'Cilaka' (Cipta Lapangan Kerja) Diberlakukan

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 08 Oct 2020

9 Kerugian Buruh Saat Omnibus Law UU 'Cilaka' (Cipta Lapangan Kerja) Diberlakukan

Kondisi demo tolak ombibus law UU Cipta Lapangan Kerja - Image from www.portonews.com

Buruh tak dapat untung, pengusaha dan investor diatas awan 

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menjelaskan ada sembilan kerugian yang akan dialami oleh buruh saat UU ini resmi berlaku. Mulai dari hilangnya upah minimum, mudahnya PHK, hingga kompetisi besar-besaran dengan tenaga kerja asing.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menjelaskan konsekuensi dari pasal kontroversial dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. 

Untuk itu, KSPI jelas mengambil keputusan untuk tegas menolak UU yang dikenal juga dengan sebutan UU 'Cilaka' (Cipta Lapangan Kerja). 

Lantas apa saja 9 pasal kontroversial tersebut?

Berikut adalah isi dari 9 pasal kontroversial dan konsekuensi negatifnya pada buruh/pekerja: 

1. Hilangnya Upah Minimum

Said Iqbal Presiden KSPI menjelaskan, dalam revisi UU Cilaka tersebut bisa berdampak pada perubahan aturan minimum. Sehingga upah bisa didasarkan dengan per satuan waktu. 

Ketentuan tersebut, jelasnya, akan membuka ruang adanya upah per jam. Saat upah dibayarkan per jam, lanjut dia, otomatis upah minimum akan hilang atau tak berlaku lagi. 

Selain itu, katanya, dalam RUU Cipta Kerja, upah minimun hanya didasarkan pada Upah Minimum Provinsi (UMP). 

Ia menambahkan, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) dihapus. 

Padahal, kata dia, UMP tidak dibutuhkan dan tidak ada daerah di seluruh wilayah Indonesia pengusahanya membayar pakai UMP, tetapi mereka membayar upah minimum buruh dengan menggunakan UMK atau UMSK, kecuali di wilayah DKI Jakarta dan Yogjakarta. 

"Dengan kata lain, berarti RUU ini menghilangkan upah minimum," ujarnya.

Dia pun memberikan contoh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang menetapkan UMP 2020 sebesar Rp1,81 juta.

Angka tersebut tentu jauh lebih rendah dibandingkan dengan UMK yang berlaku di sejumlah kabupaten/kota lain di Jawa Barat.

Misalnya, UMK 2020 di Kabupaten Karawang mencapai angka Rp 4.594.324, di Kota Bekasi Rp 4.589.708, sementara di Kabupaten Bekasi mencapai Rp. 4.498.961. 

"Jika yang berlaku hanya UMP, maka upah pekerja di Karawang yang saat ini 4,5 juta bisa turun menjadi hanya 1,81 juta," kata Iqbal. 

Selain itu, kata Iqbal, kenaikan upah minimum hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi. Padahal sebelumnya, ujar dia, kenaikan upah minimum didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan juga inflasi nasional. 

Untuk itu, Iqbal menjelaskan, jika RUU ini disahkan, maka diberlakukan kembali kebijakan upah murah. Dan dampaknya buruh akan semakin miskin dan kesejahteraan hidup kian menurun. 

"Serta KHL berdasarkan survei pasar akan hilang berarti tidak bisa lagi dihitung kebutuhan riil minimum seorang buruh berapa?" tuturnya.

RUU Cipta Kerja, menurutnya, memuat ketentuan upah minimum padat karya, yakni memungkinkan akan ada upah di bawah upah minimum. 

Padahal, ujarnya, fungsi upah minimum sendiri merupakan jaring pengaman sosial, sehingga dengan besaran tersebut masih layak untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. 

Jadi seharusnya, tidak boleh ada upah yang nilainya di bawah upah minimum.

Ia menegaskan, negara bertindak otoriter dalam menetapkan upah minimum. Karena, kata dia, dalam RUU Cipta Kerja, gubernur diancam akan dijatuhi sanksi kalau tidak menetapkan upah minimum sesuai dengan undang-undang ini. 

"Ini jelas melanggar Konvensi ILO, yang menyebut penentuan upah minimum harus dirundingkan dalam Dewan Pengupahan," tuturnya.

Upah minimum semakin tak berarti lagi, ujarnya, sebab sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum dihilangkan. 

Dalam Undang-undang 13/2003, ungkapnya, jika membayar upah di bawah upah minimum, pengusaha bisa dipidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak sebesar 400 juta.

"Karena tidak ada sanksi pidana, pengusaha akan seenaknya membayar upah buruh semurah-murahnya, jadi RUU ini dengan sangat jelas telah menghilangkan makna upah minimum sebagai jaring pengaman safety net agar buruh tidak absolut miskin. Negara telah lalai dan gagal melindungi buruh dan rakyat kecil," ujarnya.

Kemudian, dia mengatakan, RUU Cipta Kerja juga mengatur UMKM boleh membayar upah di bawah upah minimum. 

"Dengan demikian, siapa yang akan memberikan perlindungan terhadap pekerja di UMKM? Bagaimanapun, perusahaan UMKM akan seenak-enaknya membayar upah buruh," ungkapnya.

Belum lagi, jelas dia, pekerja yang tidak masuk karena sakit, perempuan yang haid, menikah dan menikahkan anak, menjankan tugas negara, hingga menjalankan tugas serikat pekerja upahnya tak akan dibayar. 

Padahal, kata dia, dalam UU 13/2003 pekerja yang tidak masuk kerja karena hal tersebut, akan tetap menerima hak upahnya. 

Selain itu, kata dia, tidak ada denda bagi pengusaha yang telat membayar upah. Jelas hal ini akan membuat pengusaha sewenang-wenang dalam memberikan upah pada buruhnya. 

Padahal dalam UU 13/2003, pengusaha yang terlambat membayar upah bisa dikenakan denda keterlambatan. 

"Dampaknya, pengusaha akan semena-mena dalam membayar upah kepada buruh," imbuhnya.

2. Hilangnya Pesangon 

"Siapa bilang di RUU Cipta Kerja pesangon tidak hilang? Kalau kita baca secara keseluruhan dari RUU ini, pesangon akan hilang," ujarnya.

Hal tersebut, jelasnya, karena penggunaan pekerja outsourcing dan pekerja kontrak seumur hidup dibebaskan dengan sebebas-bebasnya. 

Dia mengatakan, outsourcing dan kontrak tak akan mendapatkan pesangon. "Dengan sendirinya, pesangon akan hilang," ungkapnya.

Dia menambahkan, selama ini yang dimaksud pesangon terdiri dari 3 komponen. Pertama, uang pesangon itu sendiri. Selanjutnya, penghargaan masa kerja dan terakhir adalah penggantian hak. 

"Dalam RUU Cipta Kerja, uang penggantian hak dihilangkan. Sedangkan uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan," bebernya.

Selain itu, jelasnya, ketentuan pesangon dalam Pasal 161 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, lanjut Iqbal, pekerja yang di PHK karena mendapatkan Surat Peringatan Ketiga tak akan lagi mendapatkan pesangon. 

"Ketentuan pesangon dalam Pasal 162 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang mengundurkan diri tidak mendapatkan apa-apa," ujarnya.

Dampak lain dari penghapusan pesangon ialah pekerja yang di-PHK karena terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan juga tak berhak atas pesangon. 

Di samping itu, pekerja yang di-PHK karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan rugi selama dua tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), tidak lagi mendapatkan pesangon.

Lalu, pekerja yang di-PHK karena perusahaan pailit juga tak akan mendapatkan pesangon.

Selain itu, pekerja yang meninggal dunia, ahli warisnya tidak diberikan sejumlah uang sebagai pesangon. Selanjutnya, pekerja yang di-PHK karena memasuki usia pensiun juga tak akan mendapatkan pesangon. 

"Ketentuan pesangon dalam Pasal 172 UU 13/2003 dihapus. Dengan demikian, pekerja yang di-PHK karena mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja ketika di-PHK tidak lagi mendapatkan pesagon. Dari penjelasan di atas maka pesangon hilang," ungkapnya. 

3. PHK Sangat Mudah Dilakukan

Iqbal menjelaskan pula pada UU 13/2003 diatur, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. 

"Tetapi dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan yang mengatur segala upaya agar tidak terjadi PHK ini dihilangkan," ujarnya.

Dampaknya, lanjut dia, perusahaan akan semakin mudah melakukan PHK. 

Dia mengungkapkan jika dalam UU 13/2003 jenis PHK yang bisa dilakukan tanpa izin hanya mencakup 4 jenis, sementara itu dalam RUU Cipta Kerja terdiri dari 8 jenis.

"Celakanya, PHK tanpa izin bisa dilakukan karena perusahaan melakukan efisiensi. Dengan alasan melakukan efisiensi, pekerja bisa dengan mudah di PHK," imbuhnya.

Selain itu, tidak ada lagi perundingan PHK dengan serikat pekerja perusahaan tersebut. 

Dalam UU 13/2003, ketika PHK tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. 

"Tetapi ketentuan ini dihilangkan. Artinya, peran serikat pekerja dalam membela buruh agar tidak di PHK dihilangkan," imbuhnya.

4. Karyawan Kontrak Seumur Hidup

Iqbal turut menjelaskan, RUU Cipta Kerja membebaskan kerja kontrak di semua jenis pekerjaan. 

Bahkan bisa saja, kata dia, buruh dikontrak seumur hidupnya. Sebab kontrak kerja hanya didasarkan pada kesepakatan pengusaha dan buruh.

Padahal, sebelumnya kerja kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang sifatnya tetap/permanen.

Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali maksimal satu tahun.

"Selain itu, RUU Cipta Kerja menghilangkan pasal yang mengatakan bahwa perjanjian kontrak yang dilakukan tidak secara tertulis demi hukum menjadi pekerja tetap," ujarnya.

Ia juga menambahkan, Pasal 59 UU 13/2003 juga dihapuskan. Padahal, kata dia, dalam pasal itu diatur syarat kerja kontrak, batasan waktu agar tidak mudah di-PHK serta menghindarkan buruh dari eksploitasi secara terus-menerus.

"Dengan hilangnya pasal ini, bisa dipastikan tidak ada lagi pengangkatan pekerja tetap. Dampak yang lain, otomatis pesangon hilang. Karena pekerja kontrak tidak perlu diberikan pesangon jika dipecat oleh perusahaan," imbuhnya.

5. Outsourcing Seumur Hidup

Di dalam RUU Cipta Kerja, jelasnya, outsourcing bebas dipergunakan di semua jenis pekerjaan dan tidak terbaas waktu. Dengan begitu, buruh bisa saja di-outsourcing seumur hidup. 

Padahal dalam UU 13/2003, outsourcing hanya dibatasi untuk 5 (lima) jenis pekerjaan yang bukan inti bisnis. 

"Dengan ketentuan ini, bisa dipastikan perbudakan modern akan terjadi di mana-mana," ungkapnya.

Sebab perusahaan akan beramai-ramai untuk mempekerjakan buruh outsourcing demi menghindari tuntutan dari pekerja tetap. 

Bahkan semua jenis pekerjaan bisa mempekerjakan buruh outsourcing tanpa melihat pekerjaan inti ataupun tidak. 

Padahal sebelumnya, jelasnya, buruh outsourcing hanya boleh digunakan hanya untuk pekerjaan bukan inti dan dengan batasan waktu tertentu. 

Pekerja outsourcing tidak akan mendapat pesangon, bahkan bisa dibayar per jam (satuan waktu) yang mengakibatkan upah yang diterima bisa dibawah upah minimum.

6. Jam Kerja yang Panjang dan Memberatkan

Dia mengatakan, di dalam RUU Cipta Kerja diatur waktu atau jam kerja sebanyak 40 jam/minggu. Sehingga menyebabkan pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan pijakan upah per jam.

Padahal dalam UU 13/2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja. 

"Lalu buat apa ada negara kalau tidak melindungi rakyatnya,. Ini tak ubahnya seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif," ujarnya.

Sebab, jelasnya, bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari selama empat hari kerja tanpa dibayar upah lembur, seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif. 

"Berarti tidak ada perlindungan negara terhadap rakyat dan buruh Indonesia. Dengan RUU Cipta Kerja ini akan terjadi situasi waktu/jam kerja yang eksploitatif, upah murah, outsourcing dan karyawan kontrak seumur hidup, serta mudah di-PHK tanpa pesangon," imbuhnya.

Selain itu, dia juga menambahkan bahwa lembur bisa dilakukan dalam waktu lebih lama. Jika dalam UU 13/2003 hanya boleh maksimal 14 jam, dalam RUU Cipta Kerja meningkat jadi 18 jam. Akibatnya buruh akan kelelahan karena terfosir dan rawan terjadi kecelakaan kerja. 

Bahkan, hari libur yang biasanya dua hari dalam seminggu, dalam RUU Cipta Kerja dibuat hanya satu hari. Dia mengatakan, hal lain yang menyakitkan bagi buruh, cuti besar atau istirahat panjang selama 2 bulan bagi kelipatan masa kerja 6 tahun akan dihilangkan. 

"RUU Cipta Kerja benar-benar membuat kaum buruh tertindas. Seolah olah negara ini hanya melindungi kepentingan pengusaha saja atas nama investasi. Apakah negara ini hanya milik pemilik modal?" kata Iqbal. 

7. TKA Buruh Kasar/ Unskill Worker Berpotensi Bebas Masuk ke Indonesia

Iqbal juga menjelaskan, tenaga kerja asing akan bebas masuk ke Indonesia karena dihapuskannya izin tertulis dari Menteri bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) yang hendak bekerja di Indonesia. 

Selain itu, kata dia, TKA untuk start-up dan lembaga pendidikan juga dibebaskan, bahkan tanpa perlu membuat rencana penggunaan TKA. Tidak adanya izin, menyebabkan TKA buruh kasar bisa masuk ke Indonesia dengan bebas. 

Kewajiban TKA untuk memahami budaya Indonesia juga hilang. Dengan begitu, TKA tidak diwajibkan bisa berbahasa Indonesia. Dampaknya, transfer of job dan transfer of knowledge sulit dilaksanakan. 

Apabila pada UU 13/2003 setiap TKA berkewajiban melakukan pendidikan dan pelatihan dalam rangka transfer of job dan knowledge terkecuali untuk direksi dan komisaris, dalam RUU Cipta Kerja pengecualian juga berlaku bagi TKA dengan jabatan tertentu. 

Hal ini menjadi pintu masuk bagi TKA buruh kasar yang tak memiliki keterampilan untuk bekerja di Indonesia. 

Apabila sebelumnya TKA dilarang untuk jabatan tertentu, dalam RUU Cipta Kerja jabatan tertentu untuk lembaga pendidikan dihilangkan. Ini artinya, dosen asing bebas masuk dan mengajar dalam negeri. 

Bahkan tenaga administrasi di lembaga pendidikan juga bisa diisi dengan TKA. 

8. Hilangnya Jaminan Sosial

Iqbal juga menambahkan akibat penggunaan buruh kontrak, outsourcing, dan upah dibayarkan per satuan waktu (upah per jam). Hal ini juga akan berdampak pada hilangnya jaminan kesehatan dan juga jaminan pensiun. 

9. Sanksi Pidana Hilang

Dalam UU 13/2003, bebernya, pengusaha yang tidak memberikan kepada pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun, dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling 5 tahun dan/atau dengan paling sedikit 100 juta dan paling banyak 500 juta. 

"Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana ini dihilangkan," ujarnya.

Dalam UU 13/2003, pengusaha yang melanggar ketentuan berikut ini: 

(a) mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, 

(b) membayar upah lebih rendah dari upah minimum, 

(c) kewajiban untuk membayar pesangon kepada buruh yang di PHK; dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta. 

"Dalam RUU Cipta Kerja sanksi pidana untuk pelanggaran hal-hal tersebut di atas dihilangkan," imbuhnya.

"Selain itu, masih banyak sanksi pidana lain yang dihapus dalam RUU Cipta Kerja," kata Said Iqbal.

Itulah 9 kerugian yang akan dialami buruh saat Omnibus Law UU Cilaka resmi diberlakukan, ngeri juga ya? Hingga sekarang, masih ramai demonstrasi yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk menuntut pembatalan UU tersebut. 

SHARE ARTIKEL