Bukan Nilai IQ, Inilah Ukuran Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Rasulullah

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 13 May 2020

Bukan Nilai IQ, Inilah Ukuran Orang Cerdas dan Bodoh Menurut Rasulullah

Jangan bangga dulu kalau IQ mu tinggi...

Sebab standar cerdas dan bodoh dalam Islam bukan diukur dari nilai IQ, nilai mata pelajaran, keahlian berbicara, keahlian dalam pekerjaan dan lainnya. Sebab percuma jika memiliki itu semua, namun tidak termasuk dalam ukuran orang cerdas menurut Islam. 

عَنْ أبي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أَوْسٍ عن النَّبيّ ﷺ قَالَ: الكَيِّس مَنْ دَانَ نَفْسَهُ, وَعَمِلَ لِما بَعْدَ الْموْتِ, وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَه هَواهَا, وتمَنَّى عَلَى اللَّهِ رواه التِّرْمِذيُّ وقالَ: حديثٌ حَسَنٌ, وقال الترمذي وغيره من العلماء: معني (دان نفسه): أي حاسبها

Dari Syaddad bin Aus dari Nabi SAW bersabda: ”Orang yang cerdas adalah orang yang menyiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian. Sedangkan orang yang bodoh adalah orang yang jiwanya selalu mengikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah.”

Baca jugaUAS Beberkan Amalan dan Tanda-tanda Orang yang Dapatkan Malam Lailatul Qodar

Orang yang Cerdas 

Al-Kayyis berarti memahami, mengerti, cerdas, pandai. Sedangkan arti dalam hadits di atas al-kayyis adalah orang yang menyiapkan dirinya untuk bekal kehidupannya setelah mati. 

Bersungguh-sungguh dalam menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan sebaik-baiknya. Al-kayyis merupakan ciri khas bagi seorang Mukmin.

Kehidupan bagi seorang muslim bukan terbatas di dunia saja. Melainkan juga di akhirat. Target kehidupan seorang Mukmin bukan hanya sukses di dunia namun juga sukses di akhirat. 

Menjadikan Akhirat sebagai yang Utama 

Dengan adanya pemahaman tersebut, manusia tidak akan terjebak pada pola hidup bermewah-mewahan di dunia. Atau hanya sekedar berfokus untuk mengejar kesuksesan dunia atau yang bersifat materi.

Sebab Allah sudah ingatkan kepada manusia, bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang menipu sedangkan kesenangan akhirat (Surga) adalah kesenangan yang kekal dan maksimal. 

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. al-Hadîd [57]: 20).

Dengan mengetahui perbandingan tersebut, maka umat Islam yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama akan taat menjalankan perintah Allah SWT dan mengisi waktunya untuk berbuat baik. 

Mengimani Hari Akhir 

Itulah sebabnya beriman kepada hari akhir merupakan bagian yang terintegrasi pada rukun iman. Tentu bukan hanya sekedar percaya, tetapi benar-benar sadar pentingnya hari akhir dan juga mempersiapkan untuk menuju kesana. 

Allah SWT menyampaikan hal dalam firman-Nya:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Hasyr 18)


Jadilah kita termasuk orang-orang mukmin yang cerdas dan paham akan makna kehidupan ini. Menjadi orang-orang yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.

وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (al-Qashash 77).

Orang yang Bodoh 

Al-aajizu diartikan oleh Rasulullah SAW sebagai orang yang jiwanya selalu megikuti hawa nafsunya dan hanya berangan-angan kepada Allah. 

Maka al-aajizu adalah orang yang lemah karena tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri.

Al-aajizu juga diartikan sebagai orang yang lemah spiritual. Ketika seorang hamba tidak lagi memiliki semangat spiritual maka ia telah kehilangan pandu dalam kehidupannya. 

Ibarat perahu ia tidak tahu kemana harus berlabuh, sehingga perjalanannya hanya mengikuti arus angin dan ombak di lautan. 

Mengikuti Hawa Nafsu 

Secara bahasa, hawa nafsu adalah kecintaan terhadap sesuatu hingga menguasai hatinya. Kemudian kecintaan tersebut mendorong seseorang untuk melanggar hukum Allâh SWT.

Allah sangat membenci orang-orang yang senantiasa mengikuti hawa nafsunya. Bahkan orang yang seperti itu disebut-sebut akan tersesat dari jalan yang benar, sebagaimana firman Allah SWT 

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ 

Hai Daud! sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh. [Shâd/38: 26] [Majmû’ Fatâwâ, 28/132]

Dan pada orang-orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya, Allah tidak akan memberikan petunjuk kepadanya. 

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ 

Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allâh sedikitpun. Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim. [Al-Qashshash/28: 50]

Orang yang Panjang Angan-Angan

Seorang muslim hendaknya tidak memanjangkan angan-angannya. Hanya membayangkan seolah Allah akan pasti menyelamatkan dirinya. Sudah merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya. 

Ibadahnya sudah merasa cukup, berbuat baiknya sudah merasa cukup, shadaqahnya sudah merasa cukup, pendek kata merasa sudah cukup dengan bekal pahalanya dan meyakini Allah SWT pasti akan menolongnya. 

Padahal angan-angan bukanlah ciri keimanan, atau iman itu bukanlah hanya angan-angan, namun perilaku nyata pengabdian kepada Allah yang tiada henti.

Maka orang yang beriman adalah orang yang tak pernah puas dengan amalan yang diperbuatnya. Senantiasa ingin menambahnya hingga ajal tiba. Tidak pernah berdiam diri ketika melihat kezaliman. 

Dan tidak rela jika melihat kondisi umat dalam kondisi terpuruk. Kepekaanya terhadap kondisi lingkungannya selalu terasah dan menawarkan solusi bagi penuntasannya.

Itulah orang cerdas dan bodoh menurut Nabi. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang cerdas. Orang-orang yang mempersiapkan diri untuk bekal akhirat dan bukan orang-orang yang menuruti hawa nafsu dan hanya panjang angan-angan.

SHARE ARTIKEL