Bagaimana Islam Memandang Anjuran Si Kaya Nikahi Si Miskin? 

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 20 Apr 2020

Bagaimana Islam Memandang Anjuran Si Kaya Nikahi Si Miskin? 

Ilustrasi pernikahan kaya dan miskin - Image from mojok.co

Bolehkah menikahi orang yang berbeda tingkat ekonomi?

Sedangkan dalam islam mengenal, pernikahan harus sekufu atau sederajat. Lantas apakah perbedaan kekayaan juga termasuk perbedaan derajat?

Dalam Islam pernikahan mengharuskan dipenuhinya sejumlah syarat dan rukun. Rukun nikah yang mesti dipenuhi adalah dua mempelai, dua saksi yang adil, wali, dan akad. 

Dan untuk menyempurnakan pernikahan, maka dianjurkan sepasang suami dan istri itu sekufu. Sekufu diartikan sepadan atau satu level derajatnya. 

Lantas, apa saja sebenarnya kriteria sekufu dalam Islam?

Lebih baiknya kita memahami terlebih dahulu makna istilah kufu (الكُفْءُ), atau dalam kitab-kitab fiqih sering pula disebut kafâah (الكَفاءَة).

Kafâah secara bahasa dari kata kerja yang terdiri dari huruf kaf, fâ`, dan hamzah, sedang kufu (الكُفْءُ) dalam Lisânul ‘Arâb maknanya:

   النَّظِيرُ والمُساوِي. وَمِنْهُ الكفَاءةُ فِي النِّكاح، وَهُوَ أَن يَكُونَ الزَّوْجُ مُساوياً للمرأَة فِي حَسَبِها ودِينِها ونَسَبِها وبَيْتِها وَغَيْرِ ذَلِكَ  

“Yaitu sebanding dan sepadan. Di antara misalnya adalah kafâah dalam pernikahan, artinya mempelai pria sebanding dengan mempelai wanita dalam silsilah kekeluargaan, agama, nasab, rumah, dan selainnya” (Ibn al-Mandzûr, Lisân al-‘Arabi, Beirut: Dar Shâdir, cetakan ke.3, 1414H, juz 1, hal. 139).

Sedangkan dalam istilah ilmu fiqih, kafâah yaitu:

   المماثلة بين الزوجين دفعاً للعار في أمور مخصوصة  

"Kesetaraan di antara suami dan istri, guna mencegah kecacatan dalam beberapa perkara khusus” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 216). 

Terdapat satu pertanyaan terkait sekufu, apakah perbedaan status sosial dalam kekayaan menjadi problem dalam pernikahan? 

Bagaimana jika antara si kaya dan si miskin sudah saling cinta, orang tua sepakat akan pernikahan keduanya. Bukankah kasus yang demikian pernah ada di tengah-tengah masyarakat kita?

Bahkan beberapa waktu yang lalu, Muhadjir, Menteri Koordinasi Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengusulkan adanya fatwa pernikahan dengan orang yang berbeda tingkat ekonomi. 

"yang miskin wajib cari yang kaya, yang kaya cari yang miskin," kata dia (19 /02/2020)

Dalam mengurai persoalan ini, kita harus pastikan terlebih dahulu pemahaman makna kafâah menurut para ahli fiqih, juga posisi kafâah ini dalam pernikahan: apakah dia syarat sah pernikahan, atau syarat luzûm? 

Syarat sah pernikahan berarti jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi maka tidak sah akadnya. Sedangkan syarat luzûm berarti jika hilang salah satu syarat tersebut maka akad tetap sah. 

Menurut ulama Malikiyah, kafâah adalah sepadan dalam agama dan selamat dari aib yang mewajibkan khiyâr (opsi pembatalan). 

Menurut mayoritas ulama, kafâah adalah sepadan dalam agama, nasab, status merdeka, dan profesi. Sedang Hanafiyah dan Hanabilah menambahkan kesepadanan dalam harta pada kriteria kafâah (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 216).

Kalau demikian, maka perbedaan kekayaan finansial tidak masuk kriteria kafâah menurut mayoritas ulama. Tidak ada persoalan jika salah satu mempelai miskin, dan yang lainnya kaya. 

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Muîn menyebutkan:

“Pendapat yang ashah atau paling sahih (dalam mazhab Syafi’i) ialah bahwa harta tidak masuk kategori dalam kafâah, karena harta bisa lenyap, sedang para ahlul murûât dan bashâir (orang yang berakhlak tinggi dan taat kepada Allah) tidak berbangga diri dengan harta” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Muîn, Dar Ibn Hazm, cetakan pertama, juz 1, hal. 479).

Kemudian Syekh al-Bakri bin Muhammad Syathâ’ menuliskan pendapat yang shahîh dalam I’anah ath-Thâlibîn:

Dan muqâbil ashah (bandingan dari pendapat ashah)-nya adalah kesepadanan harta termasuk kategori kafâah, sebab apabila si suami adalah orang susah, khawatir tidak mampu memberikan nafkah pada anak, sehingga jadilah nafkah si suami kepada istrinya tergolong nafkah al-mu’assirîn/orang-orang susah. (Syekh al-Bakri bin Muhammad Syathâ’, I’anah ath-Thâlibîn, Beirut: Dar el-Fikr, 1448H, juz 3, hal. 381).

Makna yang dimaksud dari lafaz kafâah sudah selesai penjabarannya, kiat memegang pendapat ashah bahwa kekayaan tidak masuk dalam kategori kafâah.

Jika melihat mayoritas muslim Indonesia yang mana bermazhab Syafi’iyah, maka kafâah yang berlaku adalah sebagaimana yang disebut mayoritas ulama yakni, nasab, status merdeka, profesi, dan harta tidak masuk ke dalamnya. 

Selanjutnya, apakah kafâah itu termasuk syarat sah, atau syarat luzûm? 

Dalam soal ini para Ulama berbeda pendapat dalam memandang kafâah. 

Pertama, Imam atsTsauri, al-Hasan al-Bashri, al-Karkhi berpendapat kafâah ini bukan bagian dari syarat sah nikah, juga bukan dari syarat luzûm nikah.

Kedua, jumhur ulama termasuk mazhab yang empat berpendapat kafâah adalah bagian dari syarat luzûm nikah, bukan syarat sah. 

Jadi, jika tidak sekufu, nikahnya tetap sah. Terkait hal ini, Syekh Wahbah az-Zuhaili mengatakan:

“Fuqaha empat mazhab sepakat, ulama Hanabilah dalam pendapat yang râjih (kuat), Malikiyah dalam pendapat yang mu’tamad, Syâfi’iyah dalam pendapat yang adh-har, bahwa kafâah itu merupakan syarat luzûm dalam pernikahan, apabila seorang wanita menikah dengan laki-laki yang tidak sebanding/sekufu maka akadnya tetap sah” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuhui, Damaskus: Dar el-Fikr, juz 9, hal. 221). 

Kesimpulan 

Sehingga bisa disimpulkan, bahwa tak ada masalah perbedaan kekayaan dalam pernikahan—akad tetap sah. 

Juga dalam persoalan beda status sosial, Islam tidak melarang orang yang berbeda status sosial untuk menjalin hubungan pernikahan. Seperti pernikahan antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat jelata, keturunan nabi dan bukan keturunan nabi, dan lain-lain. 

Meskipun begitu, kacamata dalam memandang status sosial ini luas sekali. Bisa saja dalam pandangan agama tidak bermasalah, namun dalam lingkungan sosial dan individu bermasalah. 

Sebab kita tidak akan bisa terlepas dengan komentar orang lain. Sehingga peran keluarga, pasangan yang menikah, berhak memberikan analisis sendiri mengenai baik dan buruknya sebuah keputusan. 

Untuk kemudian dipilih yang paling banyak maslahatnya, serta dampak negatif yang bisa diatasi. 

Wallahu a’lam.

SHARE ARTIKEL