Tak Manusiawi, 77 Siswa Dipaksa Menjilat Kotoran, Bukti Senioritas Mesti Dihapuskan

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 26 Feb 2020

Tak Manusiawi, 77 Siswa Dipaksa Menjilat Kotoran, Bukti Senioritas Mesti Dihapuskan

Pertemuan sekolah - Image from regional.inews.id

Hukuman tidak beradab, siswa dipaksa menjilati kotorannya sendiri!

Sebanyak 77 siswa kelas VII SMP Seminari Bunda Segala Bangsa, dipaksa oleh seniornya makan kotorannya sendiri. 

Kejadian ini merupakan bentuk hukuman atas perbuatan beberapa siswa tersebut, namun sangat tidak pantas sekali seorang senior menghukum tanpa rasa manusiawi, berikut kronologinya.

Kronologi Siswa Dipaksa Menjilat Feses

Kejadian itu bermula setelah siswa makan siang, ia bersama teman-teman kembali ke asrama karena mau istirahat. Tiba di asrama, salah satu pendamping menemukan kotoran manusia dalam kantong di sebuah lemari kosong. 

Setelah itu, pendamping memanggil semua siswa dan menanyakan siapa yang menyimpan kotoran itu. Karena tidak ada yang mengaku, pendamping tersebut langsung menjejalkan kotoran ke dalam mulut para siswa. 

Baca juga : 

Mereka pun terpaksa menerima perlakuan itu tanpa perlawanan. "Kami terima dan pasrah. Jijik sekali, tetapi kami tidak bisa melawan," ujar siswa kelas VII yang tak ingin namanya disebut kepada Kompas.com, Selasa (25/2/2020). 

Para siswa tidak melaporkan perlakuan kejam sang pendamping kepada orangtua karena takut akan disiksa nantinya. Menurut dia, setelah para murid disiksa, kedua pendamping menyuruh mereka agar tidak menceritakan persoalan itu keluar.

Namun, setelah kejadian itu, ada satu orang temannya yang lari ke rumah untuk memberitahukan hal itu kepada orangtua. Kasus itu pun terbongkar pada Jumat (21/2/2020), ketika ada orangtua siswa yang menyampaikan hal tersebut di dalam grup WhatsApp humas sekolah.

Pimpinan Sekolah : 'Terminologi Makan, Kurang Tepat' 

Martinus, salah satu orangtua murid, merasa sangat kecewa terhadap perlakuan pendamping asrama yang menyiksa anak-anak dengan memaksa makan kotoran manusia. "Menurut saya, pihak sekolah beri tindakan tegas bagi para pelaku. Yang salah ditindak tegas. Bila perlu, dipecat saja," ujar Martinus. 

"Saya juga memutuskan untuk pindahkan anak dari sekolah ini. Biar pindah dan mulai dari awal di sekolah lain saja," kata dia. Martinus mengatakan, secara psikologis, anak-anak yang mendapat perlakuan kotor dari pendamping pasti terganggu jika terus bertahan di sekolah itu. 

Sementara itu, pihak Seminari Bunda Segala Bangsa menggelar rapat dengan orangtua siswa. 

Klarifikasi pihak sekolah Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur ( NTT), mengklarifikasi kabar 77 dari 89 siswa kelas VII yang dipaksa memakan kotoran manusia oleh dua pendamping mereka. 

Pimpinan Seminari Bunda Segala Bangsa Maumere, Romo Deodatus Du'u mengatakan insiden itu terjadi pada Rabu (19/2/2020) sekitar pukul 14.30 WITA. 

"Terminologi 'makan' yang dipakai oleh beberapa media saat memberitakan peristiwa ini agaknya kurang tepat sebab yang sebenarnya terjadi adalah seorang kakak kelas menyentuhkan sendok yang ada feses pada bibir atau lidah siswa kelas VII," kata Deodatus dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Selasa (25/2/2020). 

Deodatus juga membantah aksi itu dilakukan oleh pembina atau pendamping. Kejadian itu, kata dia, dilakukan dua siswa kelas XII yang bertugas menjaga kebersihan area asrama siswa kelas VII. 

Deodatus menceritakan, insiden itu bermula ketika salah seorang siswa kelas VII membuang kotorannya sendiri di kantong plastik yang disembunyikan dalam lemari kosong di kamar tidur. 

Setelah makan siang, dua kakak kelas yang ditugaskan menjaga kebersihan kamar tidur kelas VII menemukan plastik berisi kotoran manusia itu. Dua kakak kelas itu mengumpulkan siswa kelas VII dan menanyakan asal muasal kotoran tersebut. 

Tapi, tak ada siswa kelas VII yang mengaku. Dua kakak kelas itu berkali-kali meminta siswa kelas VII untuk memberi tahu asal dari kotoran tersebut. Tetap tak ada yang mengaku. 

Karena kesal, seorang kakak kelas mengambil kotoran dengan sendok makan dan menyentuhkannya ke bibir dan lidah siswa kelas VII. Perlakuan yang didapat setiap siswa kelas VII berbeda. 

Setelah itu, dua siswa kelas XII itu meminta para juniornya merahasiakan insiden tersebut dari pembina dan orangtua. Deodatus mengatakan, pihak Seminari telah meminta maaf di hadapan orang tua terkait masalah ini. 

Dua kakak kelas itu pun dikeluarkan dari Seminari Bunda Segala Bangsa. Seminari juga mendampingi para siswa kelas VII untuk pemulihan mental dan menghindari trauma. 

Senioritas Mesti Dihapuskan 

Sudah banyak korban dari budaya senioritas yang berkembang di dunia pendidikan kita. Mulai dari pada saat kegiatan MOS hingga praktek yang dilakukan sehari-hari di sekolah. 

Banyak sekolah yang kemudian melakukan evaluasi dengan merubah sistem MOS dengan yang lebih baik dan mengantisipasi munculnya praktek senioritas yang menindas. Salah satunya dengan pendidikan karakter dengan tentara, dan kegiatan bermakna lainnya. 

Senioritas ini sebenarnya berangkat dari semangat mendidik karakter adik kelas agar senantiasa menghormati orang yang lebih tua. Karakter ini sesuai dengan tata krama di masyarakat bahwa orang yang muda harus menghormati orang yang lebih tua. 

Seharusnya, orang yang lebih tua mengajarkan hal-hal yang baik agar dapat ditiru oleh yang muda. Namun, makna senioritas yang beredar sekarang justru mematahkan paradigma tersebut.

Penerapannya di sekolah, anak yang lebih muda harus menghormati dan patuh dengan yang tua, sedangkan yang tua memanfaatkannya untuk menindas dan bertindak semena-mena. Apabila memberontak, yang tua akan lebih bertindak keras dan menghukumnya.

Senioritas yang menyimpang dari asal semangatnya tersebut bisa jadi karena adanya warisan balas dendam yang didapatkan anak yang lebih tua ketika berada di posisi anak baru. 

Anak yang lebih tua awalnya juga mengalami penindasan yang sama, namun kemudian membalasnya ke yang lebih muda bukan pada seniornya.

Oleh sebab itu, baiknya budaya senioritas dihapuskan, karena bukannya mendidik pada karakter yang lebih baik, justru membuat masalah baru bahkan trauma pada anak-anak yang menjadi korbannya.

Hal ini bisa dimulai, jika para senior dan junior fokus menimba ilmu dengan baik dan saling menghargai satu sama lain. Bagi para senior tidak lagi berhak memerintah ini dan itu kepada juniornya. 

Sedangkan para junior tidak wajib mematuhi segala yang diperintahkan oleh senior. Mereka boleh menolak dan bahkan melaporkan kepada guru atau yang berkepentingan terkait instruksi senior yang tidak masuk akal.

SHARE ARTIKEL