Anjuran Rasulullah Bagi Mahasiswa yang Kebelet Ingin Menikah
Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 07 Dec 2018
Solusi tepat bagi Mahasiswa yang sudah kebelet nikah.
Jangan lama-lama pacaran. Jika penghalangmu cuma masalah kuliah, langsung nikah aja.
Bahkan ini sudah di anjurkan Rasulullah sedari dulu.
Pertama, di zaman ketika syahwat banyak tersebar, dianjurkan untuk menikah muda.
Nabi memerintahkan para pemuda untuk segera menikah. Karena ini solusi untuk meredam syahwat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)
Imam Ahmad pernah memberikan nasehat,
ينبغي للعبد في هذا الزمان أن يستدين ويتزوج لئلا ينظر ما لا يحل فيحبط عمله
Jika demikian di zaman imam Ahmad, bagaimana lagi dengan zaman sekarang?!
Kedua, BUKAN syarat dan bukan pula kewajiban dalam islam bahwa siapapun yang melakukan akad nikah harus segera kumpul dan melakukan hubungan badan. Artinya, boleh saja suami istri berpisah setelah akad nikah, sampai batas waktu sesuai kesepakatan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berusia 7 tahun. dan Beliau baru kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
Baca Juga :
- MasyaAllah, Ternyata di Kehidupan Ini Terdapat Pohon Tauhid dan Pohon Syirik
- Inilah 3 Amalan yang Pahalanya Sama Dengan Ibadah Haji dan Umroh
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.
Ar-Ruhaibani mengatakan,
(ومن استمهل منهما) أي الزوجين الآخر (لزمه إمهاله ما) أي: مدة (جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها (كاليومين والثلاثة) طلبا لليسر والسهولة، والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات
Bisa juga batasan penundaan itu kembali kepada kesepakatan kedua pihak.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلم يأت الشرع بتأقيت معين للفترة ما بين العقد والبناء (الدخلة)، وبالتالي فالمرجع في تحديده إلى العرف وما توافق عليه الزوجان
Mahasiswa dan mahasiswi yang menikah, mereka berhak untuk menunda kumpul, sesuai kesepakatan. Baik karena pertimbangan belajar, atau masukan dari orang tua atau karena pertimbangan lainnya, termasuk pertimbangan masalah nafkah.
Bagaimana untuk tanggungan nafkah?
Ketiga, menjawab mengenai kewajiban nafkahUlama sepakat bahwa suami berkewajiban memberi nafkah istrinya dengan ketentuan:
[1] Istri telah baligh
[2] Istri tidak nusyuz.
Ibnul Mundzir mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa suami wajib menafkahi isterinya jika isteri baligh dan tidak nusyuz (membangkang terhadap suami tanpa alasan)”.
[3] Istri telah melakukan tamkin min nafsiha (bersedia untuk berhubungan)
Jumhur ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat, selama istri belum bersedia untuk melakukan hubungan badan atau pisah dengan suaminya karena alasan tertentu, maka sang suami tidak berkewajiban memberi nafkah.
Dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akad nikah dengan Aisyah saat usia 6 tahun dan Nabi tidak menafkahinya kecuali setelah hubungan badan di usia Aisyah 9 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan,
أن المرأة إذا سلمت نفسها إلى الزوج , على الوجه الواجب عليها , فلها عليه جميع حاجتها
Demikian pula yang ditegaskan dalam Raudhatu Thalib dengan Syarahnya Asna al-Mathalib Kitab Syafiiyah ,
لا تجب النفقة بالعقد بل بالتمكين
Karena itu, Mahasiswa dan Mahasiswi yang melakukan akad nikah, lalu mereka berpisah sampai batas waktu tertentu, nafkah masing-masing boleh tetap ditanggung orang tuanya masing-masing. Setelah mereka kumpul, barulah kewajiban nafkah itu dibebankan ke suami.
Keempat pendapat diatas dijawab oleh Ustadz Ami Nur Bait dari konsultasisyariah.com.
Bagaimana menurut anda para mahasiswa ? masih ingin terus berpacaran ?
Demikian, Allahu a’lam…