Tak Sulit Mengadu Domba Indonesia, Semudah Membalikkan Telapak Tangan

Penulis Taufiq Firmansah | Ditayangkan 09 Feb 2018

Tak Sulit Mengadu Domba Indonesia, Semudah Membalikkan Telapak Tangan
Foto via facebook Salkamal Tan

Mudahnya Indonesia diadu domba

Hal ini kenapa Indonesia mudah diadu domba oleh hal sepele yang berbau identitas seperti suku ras dan agama. contohnya saja tentang kasus yang ramai dibincangkan tentang "kartu kuning Jokowi".

Presiden Joko Widodo (Jokowi)  menantang BEM UI untuk datang langsung ke Asmat menyaksikan usaha pemerintah di sana.

"Yah biar lihat bagaimana medan yang ada di sana (Asmat), kemudian problem-problem besar yang kita hadapi di daerah-daerah terutama di Papua," ujar Jokowi.

Baca juga ; Astagfirullah, Video Wanita Hina Lafaz Allah ini Membuat Geram, Lihat Apa yang Dilakukanya

Tidak hanya ketua, Jokowi juga siap mengirim anghota BEM.

 "saya akan kirim semua ketua dan anggota di BEM untuk ke Asmat, dari UI ya," kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari Antara, Sabtu (3/2).

Sebelumnya, Ketua BEM Universitas Indonesia (UI) yang diketahui bernama Zaadit Taqwa menuturkan, aksi yang dilakukannya merupakan bentuk evaluasi bagi Jokowi dan Kabinet Kerja yang dipimpinnya.

"Jadi ngasih peringatan buat Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa," ujar Zaadit, Jumat (2/2).

Dan kemudian tanggapan telak  dari alumni  UI yang sudah 10 tahun mengabdi di papua : 

Tak Sulit Mengadu Domba Indonesia, Semudah Membalikkan Telapak Tangan

"jika tenaga medis dijadikan alasan memberi kartu kuning pada Pak  Presiden @jokowi maka kami mengundang dokter muda @univ_indonesia untuk praktek di pedalaman papua, jangan banyak bicara saja di Jakarta sana. Cc @PrempovPapua @KedokteranUI # KartuKuningJokowi" demikian kicau akun twitter @papua_satu.

Kemudian kicauan ini dishare oleh fanpage "katakita" : "Tolong sampaikan pesan ini kepada ketua BEM UI yang sleber itu" ujarnya

Baca juga : Ketua BEM UI Dapat Nasehat dari Politikus Ini, Bahasanya Halus tapi Jleb di Hati, Lihat Videonya

Berikut tanggapan dari alumni UI yang sudah 10 tahun mengabdi di tana papua

Duhai Tana Papua

Duhai udara pagi di Tana Papua,

Tolong sampaikan kepada KataKita, jika ingin lebih mengenal kiprah alumni UI di Tana Papua ganti dulu nama fanpage nya menjadi "KitorangPuBicara".

Duhai langit biru di Tana Papua,

Tolong sampaikan kepada KataKita & papua_satu, kalau alumni UI tidak takut mengabdi di Tana Papua, terutama kami para dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 

Sejak era Wajib Kerja Sarjana, kemudian Pegawai Tidak Tetap (PTT), Nusantara Sehat, program dokter internship, hingga sekarang Wajib Kerja Dokter Spesialis dan juga yang bergerak sebagai PNS, TNI/POLRI, ataupun bekerja di LSM/swasta yang ada di Tana Papua, sudah tak terhitung berapa banyak alumni UI yang menginjakkan di tana ini mulai dari pesisir pantai, pulau terpencil, kampung pedalaman ber rawa-rawa, hingga pegunungan tinggi yang udara nya dingin menusuk hingga ke tulang.

Tak Sulit Mengadu Domba Indonesia, Semudah Membalikkan Telapak Tangan

Duhai sungai yang mengalirkan emas di Tana Papua,

Tolong sampaikan kepada KataKita & papua_satu, jangan hanya cuma katanya. Silahkan kumpulkan data dari berbagai kementerian dan Pemda Provinsi/Kabupaten di Tana Papua, sudah berapa banyak alumni UI yang tak takut menantang maut demi mengabdi disini.

Bahkan salah satu alumni FKUI, dr. Wendiansyah Sitompul Sp.OG, harus dilepas jenazahnya oleh FKUI setelah meninggal dunia karena tenggelam di perairan Muara Kali Aswet, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, tanggal 13 Januari 2009.

Saat KLB gizi buruk di Asmat, tahukah KataKita jika IDAI mengirimkan dokter Spesialis Anak yang beberapa diantaranya lulusan FKUI. Lantas membuat kami alumni UI jumawa? Tak perlulah ini demi rakyat Papua yang masih menjadi bagian dari NKRI tercinta.

Duhai hutan perawan di Tana Papua,

Tolong sampaikan kepada KataKita & papua_satu, silahkan hitung sudah berapa banyak tenaga pengajar yang diterbangkan dari FKUI untuk membaktikan ilmu nya dalam membimbing putra putri terbaik Papua di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Papua agar bisa mendapatkan pendidikan kedokteran yang setara dengan mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia.

Duhai pohon-pohon sagu yang membentang di Tana Papua.

Tolong sampaikan kepada KataKita & papua_satu, menjadi mahasiswa terlebih mahasiswa UI sudah menjadi kewajiban bagi kami saat menjadi mahasiswa untuk selalu kritis terhadap berbagai kebijakan yang salah dalam mengelola negeri ini. Sejarah senantiasa mencatat kami the "Yellow Jacket" dengan bangga selalu menjadi yang terdepan dalam mengkritisi pemerintah karena itulah salah satu pengabdian kami terhadap masyarakat. Kami bangga menjalankan peran kami sebagai mahasiswa ber Jaket Kuning dan akan selalu begitu.

Duhai rumah-rumah panggung di Tana Papua yang beratapkan daun sagu,

Tolong sampaikan kepada KataKita & papua_satu
Menjadi mahasiswa yang tetap waras dan kritis di era pemerintahan sekarang itu berat,
Tapi biar cukuplah kami saja the yellow jacket yang melakukannya.
Sebagai pemberi inspirasi mahasiswa lain untuk tetap menjaga kewarasan dan sikap kritisnya.

Baca juga : Belajar dari Kasus Kematian Pasutri Lansia, ini "Tamparan Keras" Untuk Anak yang Lupa Orangtua

Kini, giliran guru bernama Sigit Arifian yang mengeluarkan curahat hatinya (curhat).

Diketahui Sigit merupakan salah satu guru yang ditugaskan di Papua.

Tentunya, dia juga pernah bertugas di daerah Asmat, salah satu daerah yang disebutkan oleh Zaadit.

Melalui akun Instagram @sigit.arifian, pria berkacamata itu menuliskan kalimat panjang.

Berikut ini isi curhatan Sigit, guru yang bertugas di Papua.

"Biar aku saja yang ke Papua, kau tak akan kuat.

Pertama aku ingin titip pesan buat adik2 mahasiswa jangan berkoar-koar secara berlebihan tanpa mengetahui fakta di lapangan apalagi cara penyampaiannya tidak pada tempatnya, ga beretika menurutku.

Tak Sulit Mengadu Domba Indonesia, Semudah Membalikkan Telapak Tangan
Foto via instagram @sigit.arifian

Oia, aku sudah setahun tinggal di pedalaman Papua, hidup menyatu bersama masyarakat jadi bolehlah aku sedikit memberikan gambaran mengenai kondisi sesungguhnya di pedalaman papua.

Salah satu persoalan yang sedang heboh saat ini adalah mengenai gizi buruk di asmat.

Aku bukan orang kesehatan tapi aku meyakini gizi buruk itu bukan semata masalah kurangnya tenaga kesehatan melainkan efek dari kemiskinan dan pendidikan rendah.

Kenapa sih masalah kemiskinan dan rendahnya kualitas pendidikan masih belum teratasi hingga saat ini, apa kendalanya.

Kendala pertama di papua adalah kondisi medan dan geografisnya.

Untuk menjangkau masyarakat di kampung-kampung sangat sulit sekali, dimana harus melewati gunung-lembah, melintasi laut, sungai bahkan rawa-rawa.

Makanya pemerintah saat ini mengenjot pembangunan infrastruktur guna membuka akses daerah sulit, bandara-bandara dan pelabuhan yang terus dibangun dan diperbesar,

harga bbm satu harga (udah jalan kebijakannya meski di lapangan ada “seseuatu” yang mengganjal), hal yang langsung kurasakan adalah menyaksikan pembangunan di distrik tempatku mengajar, distrikku berada di perbatasan Papua Nugini,

saat ini sudah di bangun puskesmas, tower telekomunikasi meski belum beroperasi dan sedang dalam proses survey untuk pembangkit tenaga surya).

Namun itu semua hanyalah bangunan kosong tanpa SDM yang menjalankan, Nah kendala kedua ya itu SDM, Papua sangat kurang SDM mulai dari tenaga kesehatan, insinyur, guru.

Mengabdi di Papua itu sulit jika tidak pake hati apalagi hanya mengejar uang.

Bagi tenaga medis yang melayani dipedalaman-pedalaman terpencil Papua, mereka harus menempuh perjalanan yang jauh, harus berjalan kaki berjam-jam hingga berhari-hari sambil memikul obat dan perlengkapan medis lainnya.

Bagi guru yang mengajar di pedalaman harus hidup dengan ketiadaan akses sinyal, tanpa listrik PLN, transportasi ke kota yang sulit, biaya hidup mahal karena bbm aja bisa 50-70rb

jadi jangan kaget di pedalaman papua, mata uang paling kecil itu 5rb, akses air bersih yang sulit karena di sebagian daerah hanya mengandalkan air hujan, bisa tidak mandi berhari-hari saat kemarau, bahkan di beberapa wilayah nyawa taruhannya.

Makanya banyak pegawai-pegawai yang tidak betah untuk bekerja dan memilih untuk secepatnya pulang,

Jadi pesanku yang kedua, kalau memang peduli dengan papua, kuliah dulu lah yang benar jadilah orang yang ahli dibidangmu, pas udah lulus ajak teman-temenmu ramai2 datang ke papua dan tunjukkan secara nyata kontribusi kalian sesuai kompetensi yang dimiliki.

FYI, aku udah balik ke Jakarta barangkali ada yang mau ngobrol2 sharing pengalamanku satu tahun mengajar di papua, sambil liat foto"

Beberapa tanggapan netizen :

SHARE ARTIKEL