Karoshi, Kisah Nyata Kaum Muda Jepang yang Bekerja Keras Hingga Akhirnya Tewas

Penulis Unknown | Ditayangkan 06 Jul 2017

Karoshi, Kisah Nyata Kaum Muda Jepang yang Bekerja Keras Hingga Akhirnya Tewas

Satu dari ribuan cerita, tentang bagaimana anak muda yang bekerja keras untuk masa depan, malah berakhir menyedihkan hanya karena jam kerja yang tak pantas.

Banyak yang memaksakan diri untuk sukses, hingga lupa bahwa hal yang terpenting adalah untuk menjaga diri dan juga pola hidup. Seperti pada kisah berikut ini, dimana hanyalah segilintir orang yang memang terpaksa harus meregang nyawa karena nekat bekerja overload. Apalagi di negara-negara maju yang notabene persaingan sangat jelas dan ketat, sehingga waktu haruslah dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.

Also read : Hanya Karena Hal Sepele, Wanita yang Ngaku Istri Pejabat Ini Tega Tampar Petugas Bandara Manado!

Seperti halnya Michiyo Nishigaki yang sangat bangga ketika putra semata wayangnya, Naoya, mendapat pekerjaan sebagai karyawan perusahaan telekomunikasi terbesar Jepang begitu lulus kuliah. Naoya yang menyukai komputer akhirnya berkesempatan bekerja di perusahaan tersebut, sehingga sangat disyukuri mengingat bursa lowongan kerja di Jepang penuh persaingan.

Namun, dua tahun kemudian, masalah mulai muncul.

Dia bercerita kepada saya bahwa dia sibuk, tapi dia mengaku kondisinya OK. Namun kemudian dia pulang ke rumah untuk menghadiri permakaman ayah saya dan dia tidak bisa bangun dari ranjang. Dia berkata, ‘Biarkan saya tidur sebentar. Saya tidak bisa bangun. Maaf, bu. Tapi biarkan saya tidur’.

Dari teman-teman Naoya, Michiyo baru mengetahui bahwa putranya itu bekerja terus-terusan tanpa istirahat.

Dia biasanya bekerja sampai jadwal kereta terakhir. Jika dia ketinggalan kereta, dia tidur di mejanya. Seburuk-buruknya, dia harus meneruskan kerja dari pukul 22.00 sampai besok malamnya. Total dia bekerja 37 jam.

Dua tahun kemudian, Naoya meninggal dunia pada usia 27 tahun akibat overdosis obat. Kematiannya secara resmi ditetapkan sebagai karoshi atau istilah Jepang untuk kasus kematian akibat terlalu banyak bekerja. Bekerja sampai melampaui jam kerja resmi sudah menjadi budaya Jepang dan bukanlah fenomena baru. Perilaku seperti ini pertama kali tercatat pada era 1960-an. Namun, sejumlah kasus kematian akibat bekerja terlalu lama membuat karoshi menjadi sorotan.

Pada hari Natal tahun 2015 lalu, Matsuri Takahashi melompat dari gedung hingga tewas. Perempuan berusia 24 tahun itu adalah seorang karyawan perusahaan periklanan Dentsu. Baru diketahui belakangan bahwa dia jarang tidur setelah bekerja lembur 100 jam selama satu bulan sebelum dia bunuh diri.

Makoto Iwahashi, dari Posse organisasi yang menyediakan bantuan untuk para karyawan muda mengatakan insiden tersebut bukanlah hal unik, apalagi bagi karyawan muda. Dia mengaku pihaknya kerap menerima keluhan soal jam kerja yang lama.

Menyedihkan karena pekerja muda berpikir mereka tidak punya pilihan lain. Jika mereka tidak berhenti, mereka harus bekerja lembur 100 jam. Jika mereka berhenti, mereka tidak bisa menghidupi diri.

Situasi saat ini, menurut Iwahashi, diperparah oleh merosotnya jaring pengaman.

Kami mengalami karoshi pada 1960-an dan 1970-an. Perbedaan besarnya adalah mereka harus bekerja lama, tapi mereka dijamin bekerja sampai pensiun. Sekarang tidak begitu.

Budaya Lembur


Angka resmi menyebutkan karoshi mencapai ratusan kasus setiap tahun, yang meliputi serangan jantung, stroke, dan bunuh diri. Namun, pegiat sosial mengklaim angka sebenarnya jauh lebih tinggi.

Sebuah survey terkini menemukan nyaris seperempat dari seluruh perusahaan Jepang memiliki karyawan yang bekerja lembur lebih dari 80 jam per bulan, tapi tidak mendapat uang lembur. Dari perusahaan-perusahaan itu, 12 di antaranya punya karyawan yang bekerja lembur lebih dari 100 jam per bulan.

Angka-angka itu penting karena kerja lembur 80 jam per bulan dipandang sebagai patokan meningkatnya peluang meninggal dunia.

Pemerintah Jepang telah didesak untuk bertindak. Namun, sejatinya tantangan terberat untuk mengakhiri karoshi adalah menghentikan budaya lembur di Jepang. Dalam kungkungan budaya ini, karyawan yang pulang lebih dulu sebelum rekan kerja atau bos pulang, dianggap aneh.

Guna mengikis ‘budaya lembur’, pemerintah mengenalkan ‘Jumat Premium’. Melalui langkah ini, perusahaan-perusahaan diajak membiarkan karyawan-karyawannya pulang pukul 15.00 pada Jumat terakhir setiap bulan. Pemerintah juga menghendaki karyawan lebih banyak mengambil cuti.

Karyawan diberi hak cuti selama 20 hari setiap tahun, meski nyatanya hampir 35% karyawan tidak mengambil hak itu sama sekali.

Mematikan Lampu-lampu


Selain ‘Jumat Premium’, pemerintah daerah Toshima di Tokyo berinisiatif mematikan lampu-lampu kantor pada pukul 19.00 demi memaksa karyawan pulang ke rumah.

Kami ingin mengambil langkah nyata,” kata manajer Hitoshi Ueno.

Ini bukan hanya soal memangkas jam kerja. Kami ingin karyawan lebih efisien dan produktif sehingga semuanya bisa mengamankan dan menikmati waktu luang mereka. Kami ingin mengubah lingkungan kerja secara menyeluruh,” lanjutnya.

Soal efisiensi, Hitoshi ada benarnya. Jepang memang salah satu negara dengan jam kerja kantor terpanjang di dunia, namun Jepang juga negara paling tidak produktif di antara kelompok tujuh negara maju dunia atau G7.

Meski demikian, mematikan lampu dan mengenalkan ‘Jumat Premium’ dipandang pegiat sosial sebagai tindakan remeh yang gagal mengatasi akar masalahnya, yaitu pekerja muda sekarat lantaran bekerja terlalu keras dan terlalu lama.

Satu-satunya solusi, menurut mereka, adalah memberlakukan batasan jam lembur secara resmi dan diatur undang-undang.

Karoshi, Kisah Nyata Kaum Muda Jepang yang Bekerja Keras Hingga Akhirnya Tewas

Also read : Kritik Pernikahan ABG dan Nenek 71 Tahun, Guru Cantik Ini Heran, "Kasihan Selamat"

Awal tahun ini, pemerintah mengusulkan batasan lembur selama 60 jam per bulan, meski perusahaan-perusahaan diizinkan memperpanjang sampai 100 jam dalam ‘periode sibuk’.

Mengorbankan Kesejahteraan


Sejumlah kritikus menilai pemerintah memprioritaskan kepentingan bisnis dan ekonomi dengan mengorbankan kesejahteraan karyawan.

Rakyat Jepang mengandalkan pemerintah, tapi mereka dikhianati,” kata Koji Morioka, seorang akademisi yang meneliti fenomena karoshi selama 30 tahun.

Sampai pemerintah benar-benar bertindak, jumlah karyawan muda yang meninggal dunia akibat terlalu lama bekerja bertambah dan kelompok penyokong keluarga korban terus mendapatkan anggota baru.

Michiyo Nishigaki, yang kehilangan putra semata wayangnya, Naoya, mengatakan negara sedang membunuh para karyawan yang seharusnya dihargai.

Perusahaan-perusahaan hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek. Putra saya dan pekerja muda lainnya tidak membenci bekerja, mereka mampu dan mereka ingin bekerja dengan baik.

Berikan mereka kesempatan bekerja tanpa jam kerja panjang atau masalah kesehatan sehingga negara akan mendapat keiistimewaan karena mendapat mereka.”

Bagaiman menurutmu?
SHARE ARTIKEL