Cara Mengatur Keuangan Rumah Tangga Menurut Islam

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 11 Dec 2016

Cara Mengatur Keuangan Rumah Tangga Menurut Islam

Cermati anggaran keuangan kita

Sudahkah kita mempelajari setiap syariat dan ajaran dalam Al Qur'an untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari? 

Sudahkah kita meneladani sikap dan tindakan Rasulullah ﷺ agar selamat dunia dan sebagai bekal akhirat. 

Sudahkah kita bisa membina rumah tangga menurut ajaran Islam. 

Jika belum mari kita belajar bersama, jika sudah anda bisa memberi koreksi atas artikel di bawah ini.

Suatu ketika datang seorang laki-laki yang dengan langkah gontai menghadap Rasulullah ﷺ. 

Ia sedang menghadapi masalah finansial; tak bisa memberikan nafkah kepada keluarganya. Bahkan hari itu ia tidak memiliki uang sepeserpun.

Dengan penuh kasih, Nabi Muhammad mendengarkan keluhan orang itu. 

Lantas beliau bertanya apakah ia memiliki sesuatu yang dapat dijual. 

“Saya punya kain untuk selimut dan cangkir untuk minum ya Rasulullah,” jawab laki-laki itu.

Rasulullah pun kemudian melelang dua barang itu.

“Saya mau membelinya satu dirham ya Rasulullah,” kata salah seorang sahabat.

“Adakah yang mau membelinya dua atau tiga dirham?” tanya Rasulullah lagi.

Inilah lelang pertama dalam Islam. Lelang itu pun dimenangkan oleh seorang sahabat lainnya. 

“Saya mau membelinya dua dirham”

Rasulullah memberikan hasil lelang itu kepada laki-laki tersebut, 

“Satu dirham belanjakan makanan untuk keluargamu, yang satu lagi kau belikan kapak. Lalu kembalilah ke sini.”

Setelah membelikan makanan untuk keluarganya, laki-laki itu datang kembali kepada Nabi Muhammad dengan sebilah kapak di tangannya.

“Nah, sekarang carilah kayu bakar dengan kapak itu…” demikian kira-kira nasehat Nabi Akhir Zaman tersebut.

Setelah beberapa hari, laki-laki itu kembali menghadap Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam– dan melaporkan bahwa ia telah mendapatkan 10 dirham dari usahanya. 

Ia tak lagi kekurangan uang untuk menafkahi keluarganya.

Setidaknya ada 4 hikmah menarik yang dapat disimpulkan:

Pertama, Padahal Nabi Muhammad mampu mengajak sahabatnya yang lain untuk memberikan sedekah pada pemuda di atas. Tapi itu tidak beliau lakukan karena ingin mengajarkan cara mengelola keuangan.

Kedua, Beliau ingin ummatnya terdidik memiliki izzah dan iffah (kemuliaan diri untuk tidak berharap belas kasihan dan mengemis).

Ketiga, Rasul memberikan pembelajaran mengenai hukum lelang dalam Islam.

Keempat, Modal usaha tidak harus berasal dari uang pinjaman.

Tidak sampai disitu saja, hal serupa juga dipraktikkan oleh Sahabat Rasulullah, Salman al-Farisi. Ia memiliki rumus 1-1-1.

Bermodalkan uang 1 dirham, ia mampu menghasilkan 3 dirham melalui anyaman. 

Kemudian 3 dirham dibagi; 1 dirham ia gunakan untuk keperluan keluarganya, 1 dirham ia sedekahkan, dan 1 dirham ia gunakan kembali sebagai modal.

Sepertinya sederhana, namun dengan cara itu sahabat dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan mampu bersedekah setiap hari. 

Penting dicatat, sedekah setiap hari.

Baca Juga: Terlanjur Memfitnah atau Difitnah, Bagaimana Cara Memperbaikinya?

Teladan Rasul yang melalui laki-laki di atas dan Salman al-Farisi memberikan petunjuk kepada kita, bagaimana dasar mengelola keuangan. 

Yakni, bagilah penghasilan kita menjadi tiga bagian; keperluan konsumtif, modal usaha dan amal sedekah. 

Pembagian ini tidak harus sama persis seperti yang dilakukan Sahabat Salman al-Farisi.

1. Keperluan Konsumtif

Untuk yang ini, rasanya tidak perlu diperintahkan pun orang pasti melakukannya. 

Bahkan banyak orang yang menghabiskan hampir seluruh penghasilannya untuk keperluan konsumtif duniawi. 

Tidak sedikit yang malah terjebak pada masalah finansial karena terlalu menuruti nafsu konsumtif hingga penghasilannya tak tersisa, bahkan akhirnya minus.

Yang perlu menjadi catatan, bagi seorang suami, membelanjakan penghasilan untuk keperluan konsumtif artinya adalah memberikan nafkah kepada keluarganya. 

Tugas suami hanya berkewajiban memberikan nafkah pada anak dan istri, bukan memenuhi segala keinginan mereka.

Jangan sampai seperti sebagian laki-laki yang menghabiskan banyak uang untuk rokok dan ke warung. 

Sementara makanan untuk anak dan istrinya terabaikan. Padahal nafkah keluarga adalah kewajiban suami, seperti yang dikatakan Rasulullah ﷺ:

…وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ، وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ…

“Para istri mempunyai hak diberi rizki (makanan) dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (para suami).” (Muslim: 1218, Ibnu Majah: 3074)

Hadits di atas juga seirama dengan al-Kitab al-Quran surah al-Baqarah: 233. 

Namun, jika suami tidak memberikan nafkah, Istri diizinkan mengambil sekadarnya.

“Hindun bintu Utbah mengadu, ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak-anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,’ maka (Rasulullah) mengatakan, ’ambillah secukupnya untukmu dan anak-anakmu dengan cara yang patut.’” (al-Bukhari: 2211, 2460, 5364)

2. Modal Usaha

Sisihkanlah penghasilan atau uang Anda untuk modal. Bahkan, sekalipun Anda adalah seorang karyawan atau pegawai. 

Sisakan gaji Anda setiap bulan untuk menjadi modal atau membeli aset.

Teori modal ini juga disepakati oleh Robert T. Kyosaki, menurutnya yang membedakan orang-orang kaya dengan orang-orang kelas menengah dan orang miskin. 

Orang kaya membeli aset, orang kelas menengah dan orang miskin menghabiskan uangnya untuk keperluan konsumtif. 

Dan seringkali orang kelas menengah menyangka telah membeli aset, padahal mereka membeli barang konsumtif; liabilitas.

Aset adalah modal atau barang yang menghasilkan pemasukan. 

Sedangkan liabilitas adalah barang yang justru mendatangkan pengeluaran. 

Barangnya bisa jadi sama, tetapi yang satu aset, yang satu liabilitas.

Misalnya orang yang membeli mobil untuk direntalkan. 

Hasil rental lebih besar dari cicilan. Ini aset. 

Tetapi kalau beli mobil untuk gengsi-gengsian, ia terbebani dengan cicilan, biaya perawatan dan lain-lain, ini justru menjadi liabilitas.

Robert T Kiyosaki menemukan, mengapa orang-orang kelas menengah sulit menjadi orang kaya, 

Karena berapapun gaji atau penghasilan mereka, mereka menghabiskan gaji itu dengan memperbesar cicilan. 

Berbeda dengan orang yang membeli aset atau modal yang semakin lama semakin banyak menambah kekayaan mereka.

Jangan dianggap bahwa aset atau modal itu hanya yang terlihat, tangible. 

Ada pula yang tak terlihat, intangible. Contohnya ilmu dan life skill. Jika Anda seorang profesional. 

Meningkatkan kompetensi dan keahlian adalah bagian dari modal sekaligus bagian dari aset. 

Dengan kompetensi yang makin handal, nilai Anda meningkat. Penghasilan juga bertambah. In syā Allah.

3. Sedekah

Jangan lupa anggarkan dari penghasilan Anda untuk sedekah. 

Mengapa? Sebab ia adalah bekal untuk kehidupan yang abadi di akhirat nanti. Tentu, sedekah ini diluar dari zakat mal wajib.

“Amal kebajikan menjauhkan dari kamatian yang buruk (su’ul khatimah). Sedekah secara sembunyi-sembunyi memadamkan kemarahan Allah. Silaturahim menambah umur. Setiap perbuatan baik adalah sedekah. Ahli kebaikan di dunia akan menjadi ahli kebaikan di akhirat. Ahli kemungkaran di dunia akan menjadi ahli kemungkaran di akhirat. Sedangkan orang yang pertama masuk surga adalah ahli kebaikan” (Thabrani)

Amalan Salman al-Farisi adalah ide yang luar biasa. Nilai sedekahnya setara dengan keperluan konsumtif keluarganya. 

Misalnya, Gaji tiga juta; satu juta digunakan untuk keperluan sehari-hari keluarga, sedekah satu juta, ditabung/untuk modal satu juta.

Kelihatannya sederhana, tapi apakah kita sudah sanggup mengatur keuangan keluarga seperti beliau?

SHARE ARTIKEL