Jangan Asal, Pahami Besaran Nafkah yang Hendak Engkau Berikan Kepada Istrimu!
Penulis Unknown | Ditayangkan 16 May 2017Dalam kehidupan pernikahan, pastilah ada yang namanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap pasangan agar hubungan diantara keduanya bisa berjalan dengan harmonis. Sebut saja sang suami yang mendapatkan hak dari seorang istri, serta jangan sampai melupakan kewajibannya yakni salah satunya adalah memberi nafkah kepada keluarga.
Islam sudah memberikan hak nafkah pada istri dari suaminya secara nyata. Karena memang menafkahi istri hukumnya wajib. Namun berapa besarnya nafkah tersebut memang tidak disebutkan secara pasti dalam Al Qur’an maupun hadist. Lantas, apakah ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh Islam untuk nafkah suami pada istrinya? Jika ada, berapa besaran tersebut?
Dalil yang Memerintahkan Suami untuk Memberi Nafkah
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).
Also read : Karena Istri Wajib Melindungi Suami, dari Mereka yang Tebar Pesona di Sosial Media!
Dalam ayat lain disebutkan,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Suami punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada istri, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakat. Nafkah tersebut tidak berlebih dan tidak pula kurang. Hendaklah suami memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).
Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).
Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Besaran Nafkah Suami Pada Istri
Kebutuhan primer yang mesti dipenuhi oleh suami pada istri adalah (1) tempat tinggal, (2) kebutuhan makan dan minum, (3) pakaian. Di samping itu ada hajat lainnya yang tak bisa diabaikan seperti nafkah pada istri agar ia bisa menuntut ilmu, nafkah untuk berobat, membeli mebel dan perabot rumah tangga, juga nafkah untuk pembantu dan pengasuh anak.
Nafkah di atas tersebut kembali pada kebiasaan yang ada di tengah masyarakat. Kadang pembantu memang begitu mendesak di sebagian masyarakat atau di suatu keluarga. Karenanya menghadirkan pembantu kala itu dan mengeluarkan nafkah untuk itu wajib bagi seorang suami. Ada juga di masyarakat, pembantu bukanlah suatu yang dianggap penting karena istri sudah bisa menangani seluruh pekerjaan rumah. Jika demikian, berarti menyediakan pembantu tidaklah perlu.
Lalu besaran nafkah bagaimana? Yang tepat dikembalikan pada kebiasaan masyarakat setempat, bisa jadi nafkah untuk keluarga di kota berbeda dengan di desa.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama (baca: jumhur) bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat (kembali pada ‘urf) dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 83)
Jika Suami Tak Memberi Nafkah
Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).
Also read : Jangan Nambah Dosa! Wahai Para Istri, Berhenti Tambahkan Nama Suami di Belakang Namamu
Prioritas Antara Nafkah Istri Dan Kebutuhan Orang Tua
Idealnya tidak boleh terjadi dualisme kepentingan seperti ini. Sebab masing-masing punya hak yang sudah diatur. Tetapi kalau istri tidak mau mengalah, begitu juga orang tua tidak mau mengalah, maka ada yang salah dalam keharmonisan rumah tangga.
Istri yang tidak mau mengalah buat kebutuhan orang tua adalah istri yang kurang ajar. Sebaliknya, orang tua yang ingin menguasai anaknya dan menuntut si anak untuk memenangkan dirinya dan mengalahkan istrinya, juga bukan teladan yang baik.
Seharusnya, kalau mau dibilang shalih dan baik, justru istri inginnya mengalah saja, sementara orang tua juga tahu diri. Kalau dua-duanya mengalah, maka itulah kebaikan hidup. Tapi kalau dua-duanya sama-sama tidak mau mengalah, kiamat lah dunia ini. Berarti suami itu salah memilih istri, walau pun bukan salah memilih orang tua.
Namun kondisi ini tidak akan terjadi kalau sudah ada standar nafakh buat istri yang ditetapkan, entah lewat pemerintah, atau tradisi, atau pun lewat kesepakatan. Bahkan bisa juga berdasarkan makanan pokok sehari dua mud beras saja.
Begitu pula dengan si suami, yang mana jadilah suami yang penyayang keluarga untuk tidak pelit memenuhi kebutuhan keluarganya, begitu pula istri bijak dalam mengatur keuangan keluarga hingga semuanya dapat berjalan harmonis dan sesuai harapan. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.