Akad Nikah, Benarkah Mempelai Wanita Harus Disandingkan dengan Calon Suaminya?
Penulis Unknown | Ditayangkan 31 May 2017Apakah pada saat akad nikah, mempelai putri harus hadir? Apakah tidak cukup dihadiri walinya?
Sudah banyak yang mengetahui bahwa prosesi akad nikah merupakan hal yang selalu dianggap prosesi yang sakral. Sebab, setelah itu dimulai babak baru kehidupan rumah tangga dua orang anak manusia berlainan jenis.
Ulasan terkait : Bukan Sebuah Beban, Puasa Itu Perisai Muslim dari Banyaknya Keburukan!
Ketika pelaksanaan ijab kabul misalnya, dimana akad yang dilakukan oleh calon suami dengan bapak mertuanya, atau dengan orang lain yang bertindak sebagai wali dari calon istri. Maka keberadaan kedua belah pihak menjadi rukun dari sebuah akad nikah. Namun ijab kabul ini tidak sah manakala hanya dilakukan berdua saja. Syariat Islam mengharuskan adanya saksi-saksi yang turut hadir dan menyaksikan peristiwa tersebut.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa rukun nikah ada lima, yaitu shighat, mempelai wanita, dua orang saksi, mempelai pria, dan wali. Kelima hal ini mesti harus ada dalam sebuah pernikahan. Karena kelima unsur ini merupakan rukun nikah, maka kelima harus terpenuhi. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, misalnya tidak ada wali, maka pernikahan tidak dianggap sah.
Kendati demikinan, namun akad nikah dikatakan sah apabila dihadiri oleh wali, mempelai pria, dan dua orang saksi. Dan diperbolehkan bagi wali atau mempelai pria untuk mewakilkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Kifayah al-Akhyar sebagai berikut:
يُشْتَرَطُ فِي صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُورُ أَرْبَعَةٍ وَلِيٍّ وَزُوْجٍ وَشَاهِدِي عَدْلٍ وَيَجُوزُ أَنْ يُوَكَّلَ الْوَلِيُّ وَالزَّوْجُ
“Disyaratkan dalam kesahan akad nikah kehadiran empat pihak, yaitu wali, mempelai pria, dan dua orang saksi yang adil. Dan diperbolehkan wali dan mempelai pria diwakilkan” (Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, juz, 2, h. 43)
Keterangan dalam kitab Kifayah al-Akhyar tersebut mengandaikan bahwa ketidakhadiran mempelai wanita tidaklah mempengaruhi kesahan akad nikah. Dengan kata lain, jika dalam akad nikah mempelai wanita tidak hadir di majelis akad maka sebenarnya tidak berimplikasi pada ketidaksahan akad nikah.
Berangkat dari penjelasan ini, maka jawaban atas pertanyaan adalah bahwa mempelai wanita tidak diharuskan hadir pada saat pelaksanaan akad nikah. Artinya, akad nikahnya tetap sah meski tanpa kehadiran mempelai wanita. Sebab, kehadiran mempelai wanita dalam akad nikah bukanlah merupakan salah satu syarat sahnya akad nikah.
Ulasan terkait : Tanpa Perlu Usaha Besar, 1000 Kebaikan Akan Datang Setiap Hari dengan Hal Ini!
Namun bila semua pihak ingin ikut menyaksikan peristiwa ijab kabul, juga tidak ada larangan. Yang penting adab dan tata etika majelis harus tetap dijaga. Sebenarnya bukan hanya di dalam majelis ijab kabul, namun di setiap kesempatan pun etika dan adab majelis tetap harus dijaga. Misalnya, harus diupayakan bahwa tempat duduk laki-laki terpisah dengan tempat duduk perempuan. Ini adalah hal yang mutlak, sebagaimana adab di dalam masjid, dimana laki-laki dan wanita memang punya tempat duduk yang terpisah. Masalah keharusan memakai tabir penutup (hijab), kita kembalikan kepada khilaf di antara ulama.
Dan karena kedua calon pengantin belum sah menjadi suami istri sebelum ijab kabul dilaksanakan, adab dan etika majelis pun harus tetap diberlakukan. Selayaknya mereka pun harus duduk terpisah dulu, karena mereka masih berstatus sebagai orang asing (ajnabi). Kecuali bila telah selesai ijab kabul yang mungkin hanya berlangsung beberapa detik, barulah mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah itu, bolehlah mereka duduk bersanding berdua.
Hal-hal kecil seperti ini seringkali memang luput dari perhatian kita. Padahal sebenarnya masalah ini cukup prinsipil dan tidak bisa dianggap enteng begitu saja. Kita semua bertanggung-jawab untuk membenahinya, meski tetap harus dengan etika yang baik juga.