Minta Kenaikan Gaji Sebesar Rp.550 Wanita Ini Tewas Dengan Luka Tembak Diarea Vital

Penulis Penulis | Ditayangkan 08 Mar 2017

Minta Kenaikan Gaji Sebesar Rp.550 Wanita Ini Tewas Dengan Luka Tembak Diarea Vital


Wanita itu diculik. Disiksa dan disekap tiga hari. Tewas mengenaskan dengan peluru menembus lubang kemaluannya.

Namanya Marsinah. Dia bukan penjahat, hanya seorang buruh. Harus mati cuma gara-gara menuntut upah naik Rp 550. Sudah 23 tahun kematiannya, kasusnya masih belum sepenuhnya terungkap.

Marsinah bekerja di PT Catur Putra Surya di Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Sebuah pabrik yang memproduksi jam tangan.

Awal tahun 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan edaran berupa imbauan pada perusahaan untuk memberikan kenaikan gaji sebesar 20 persen bagi karyawannya.

Namun PT CPS enggan menuruti imbauan ini. Para buruh yang resah menggelar aksi menuntut upah layak dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250, sesuai dengan surat edaran Gubernur KDH TK I Jawa Timur No. 50 Tahun 1992.

"Katanya ada kenaikan upah, tapi ternyata upah buruh mulai uang makan, transport dan dinas sore (kerja shift sore) itu tidak dinaikan dari perusahaan. Yang akhirnya Mbak Marsinah mengajak kita-kita (buruh) untuk melakukan aksi mogok kerja," kata Uus, seorang rekan seperjuangan Marsinah seperti yang dilansir dari merdeka.com.

Buruh membentuk tim kerja (koordinator) aksi, yang jumlahnya 18 orang termasuk Marsinah dan Uus. Di kelompok ini Marsinah ditunjuk sebagai penimpin.

Bagi 18 orang itu, Marsinah merupakan sosok perempuan pemberani. Setiap kali melakukan aksi, Marsinah selalu berada di garis terdepan untuk menyuarakan orasinya. Aksi mereka membuat perusahaan panas.

"Saya itu ikut semuanya, mulai dari pembuatan spanduk hingga perobekan spanduk di perusahaan. Dan, Mbak Marsinah terus menyuarakan orasinya minta hak kita itu diberikan. Uang makan, transport, kerja shift sore," ucap perempuan 43 tahun tersebut.

Saat perobekan spanduk, suasana memanas. Uus dan buruh lainnya yang melakukan aksi mendapatkan kekerasan dari aparat Koramil dan Kodim setempat. Sebuah hal yang lazim di era Orde Baru, tentara ikut mengamankan demonstrasi di perusahaan.

"Ada sekitar 500 buruh yang melakukan aksi unjukrasa, tiba-tiba dipukul oleh aparat Koramil dengan kayu. Tapi, kami saat itu terus melawan, dan Mbak Marsinah terus berteriak dengan kencang, agar tidak takut dan terus maju," ujar ibu dua anak tersebut.

Perlawanan terus dilakukan buruh, akhirnya terwujud dan direalisasi oleh perusahaan, tuntutan buruh dikabulkan. Merekapun tidak melakukan aksi lagi.

"Karena sudah terwujud, aksi kami berhenti. Tapi, kami masih melakukan pertemuan kecil saja," ucapnya.

Tim kecil itu rupanya terus dipantau Kodim setempat. 13 Orang buruh dipaksa untuk tidak lagi aktif memimpin demonstrasi. Marsinah mendatangi Kodim tanggal 5 Mei 1993 untuk mencari tahu keberadaan kawan-kawannya.

Itulah terakhir kalinya Marsinah terlihat. Malamnya tak ada lagi yang pernah melihat Marsinah.

Tanggal 8 Mei dia ditemukan sudah menjadi jenazah.

Mayatnya ditemukan di hutan Dusun Jegong, Desa Wlangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kondisinya sangat menyedihkan.

Semula dokter menyangka kemaluan Marsinah ditusuk dengan kayu. Namun ahli Forensik (alm) Munim Idris membantahnya.

"Luka Marsinah hanya di sekitar labia minora sebesar 3 sentimeter," ujar Mun'im. Luka itu bukan karena benda tumpul melainkan peluru yang ditembakkan," kata Munim Idris.

Marsinah dibunuh. Raganya tewas. Namun namanya diabadikan sebagai martir perjuangan buruh di Indonesia.
SHARE ARTIKEL