Ketika Ratusan Ribu Rupiah Bisa Merubah Tingkah Hingga Jadi Tonggak Bersejarah
Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 07 Nov 2016
Manusia di dunia tidak lepas dari kebutuhan. Tetapi seringkali pandangan umum bahwa sebagai pemenuhan kebutuhan tersebut hanya uanglah yang menjadi solusi. Padahal masih banyak yang harus diperhatikan. Haruskah demi uang kehormatan dipertaruhkan? Apakah juga demi uang kita membuat semua orang terdekat kita menjadi jauh? Bahkan hubungan persaudaraan pun pecah, terbelah dan menjadi tonggak bersejarah seumur hidup hingga tak akan terlupa.
Seperti sebuah kisah persaudaraan yang diangkat berikut ini. Mungkin bisa dipetik sebuah pelajaran dan diambil hikmah yang mendalam, sebelum mengalami hal serupa. Dan tak perlu mengalami hal serupa.
Sebuah persaudaraan yang lekat dengan kasih sayang, harus pecah. Tak terlihat diluar, namun sangat sakit didalam hati. Saudara kecil yang ditimang-timang sejak kecil, digendong kesana kemari hingga dewasa. Diajarkan arti persaudaraan yang sebenarnya.

Tak dicari di puncak gunung. Karena letaknya di hati.
Dalam keadaan yang sederhanapun sang kakak tak pernah tega memakan satu butir telur tanpa melihat adiknya memakan duluan. Tanpa tega meninggalkan dan selalu khawatir kondisi sang adik, sang kakak pun selalu membawa kemana-mana, mengendong adiknya di saat orangtuanya sedang bekerja. Hal itu akan lebih menyakitkan bila teringat lebih dalam.
Hingga si kecil tumbuh dewasa, rasa persaudaraan itupun tetap lekat dalam kondisi keluarga yang sederhana. Orangtua harus bekerja dan hanya melakukan pekerjaan di sawah dan ladang, berpanas-panasan menghidupi mereka berdua.
Namun takdir memang berada diatas segalanya. Dimana orangtua mereka sedang mengalami musibah, sang ayah yang sehari-harinya bekerja memenuhi kebutuhan dengan bantuan ibu. Bertahan dibawah teriknya matahari dan hujan. Setiap hari memanggang punggung mereka. Tiba-tiba mengalami sakit. Makin lama makin parah hingga saat ini.
Sang kakak, yang kala itu sudah berkeluargapun harus mencari cara yang 'win-win solution', bagaimana membiayai hidup berkeluarga bersama istri sekaligus mencari solusi kesembuhan ayahnya.
Betapa tak tega, untuk mengganggu adiknya yang sudah tinggal satu semester saja melanjutkan kuliahnya, dan itupun dari jerih payah orang tua yang masih membanting tulang kala sakitnya belum terlalu parah.
Tak tega dengan hal itu, sang kakakpun dengan tabungan yang pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirumah harus mengundurkan diri dari pekerjaan karena tak ada saudara lain yang dapat mengurusnya. Mereka hanya dua bersaudara. Namun sang kakak sungguh tetap menganggap adiknya itu sebagai malaikat kecil yang berhati baik dan tak menggangu aktifitasnya, dengan berusaha sendiri mencari solusi kesembuhan ayahnya.

Kasih sayang/ Tak ditemukan di hutan yang sunyi dan gelap, karena letaknya di hati yang luas dan terang.
Berbulan-bulan mengunjungi rumah sakit, sang kakak membayar tagihan bpjs perbulan pun menanggung biayai hidup rumah tangganya. Namun bukanya kesembuhan yang diperoleh, tabunganpun menipis dan benar-benar sang kakak mengalami tingkat stress yang tinggi kala itu. Ayahnya makin bertambah parah dengan sakitnya.
Dengan hati ikhlas, karena sudah menjadi kewajiban anak. Akhirnya pengobatan ayah dihentikan sejenak, meskipun saat itu si adik yang masih dianggap malaikat kecil sudah lulus dari kuliahnya dan sudah mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Sang kakakpun tetap tegar, sambil mencari pekerjaan, terus mencari solusi kesembuhan ayahnya. Hal inipun tetap ia pendam, bahwa ia sedang dalam kesulitan.
Ada sosok yang tetap tegar dibelakangnya. Sang istri dari kakak tersebut, masih tetap dengan sabar walaupun suaminya tak punya penghasilan kala itu, karena harus terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaanya. Dengan berat hati, dan rintihan tiap malam, kesusahan tidur tiap malam sang kakak hanya bisa berdoa. Semoga diberikan jalan keluar.
Akhirnya, Allah memang selalu memberikan jalan keluar dari setiap masalah umatnya. Walaupun harus bersusah payah kerja di sebuah perusahaan pertanian sang kakak tetap tegar demi kebutuhan hidup berumah tangga, hingga ada bantuan saudara untuk bekerja di tempat yang lebih menghasilkan.
Dengan inisiatif sang ibu yang kala itu juga harus membanting tulang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Anak pertamanya ini pun bekerja di sebuah tempat produksi alat - alat yang terbuat dari baja. Alhamdulillah dari sana, ada sedikit titik terang.
Adiknya saat itu telah pulang, entah angin apa yang membawanya. Jelasnya adalah sang kakak harus putus di tengah jalan, sempat mengecap satu tahun pendidikan setelah SMK, namun sang adik sudah mendapatkan gelar Strata Satu (S1) nya.
Namun demikian, sang kakak tak pernah memperdebatkan hal itu. Hingga keluar juga perkataan dari kedua orangtua mereka agar si adik pulang dulu, untuk membantu merawat sang ayah yang makin lama makin parah kondisinya.
Dengan kerjasama dua saudara yang saling mengasihi inipun. Berbagai hal ditempuh mulai dari obat-obatan alami, terapi, hingga mencari dokter spesialis yang tepat, namun semua itu tak membuahkan hasil.
Merasa buntu, sang kakak menghubungi temanya. Akhirnya Allah memberikan lagi jalan atas pikiran yang sudah suntuk si kakak. Temanya kala itu yang sudah sukses akhirnya memberikan sedikit rezeki melalui pekerjaan di salah satu cabang usahanya.
Dari situ sang kakak sudah mulai rajin dengan kesibukanya. Dan digantikan oleh adiknya yang merawat Ayahnya sembari mengajar di suatu yayasan dekat rumahnya.
Kondisi terlihat kondusif, namun tidak dengan kesehatan sang Ayah. Usahanyapun terus berjalan, hingga beberapa kenalan si Adik yang mau memberikan terapi kepada Ayah tanpa mengharap imbalan. Dan hingga simpati saudara-saudaranya.
Hingga terakhir kali, ada saudara yang memperkenalkan orang yang dianggap mempunyai kelebihan. Hingga hal itupun berjalan sesuai harapan, karena ada beberapa kemajuan terjadi.
Namun akhirnya hal ini menjadi tonggak bersejarah dalam kehidupan persaudaraan kecil itu. Sang kakak seperti ditimpa oleh gundukan tanah berjuta ton rasanya. Terasa panas, seperti ditampar oleh lempengan besi yang ditempa bara api.
Hanya karena ratusan ribu rupiah. Untuk kedua kalinya sang kakak harus mendengarkan. Tamparan itu "Pean nggih semerap kiyambek" dalam bahasa Indonesia, "kamu ya tahu sendiri".
Mungkin khilaf karena malaikat kecil ini terlalu lelah, namun mungkin sudah saatnya perihal semua usaha si adik diketahui kakaknya.
Tetap goresan itu akan terngiang di mata, telinga dan hati sang kakak seumur hidup. Tak pernah dibenamkan di sanubari malaikat kecil itu, bahwa kakanya menangis saat melihat adiknya harus berjuang sendiri kembali menuntut ilmu ditempat yang jauh dari rumah tinggalnya tanpa pengawasan kakak ataupun orangtuanya. Tak tega melihat malaikat kecil ini harus berjuang di sana meski itu untuk kebaikanya sendiri.
Tak pernah terbenam dalam sanubari si adik kecil, bahwa meskipun sudah dewasa ia terlihat tetap si adi kecil. Tanpa pedulikan rasa lelah, ataupun mengeluh, sang kakak harus menempuh berjam-jam perjalanan setelah seharian bekerja, hanya untuk melihat kondisi si malaikat kecil yang menangis sakit ketika di telfon.
Tak pernah terbayangkan oleh malaikat kecil ini, kekhawatiran si kakak akan kondisinya hingga ia tak pernah lelah saat dibutuhkan. Karena memang sang kakak ikhlas bukan untuk ratusan ribu rupiah yang menjadi tonggak sejarah.
Sebuah perbandingan yang sungguh terbalik, ketika kekhawatiran kakak itu tak bernilai dibandingkan ratusan ribu rupiah.
Semoga menjadi pelajaran semua saudara agar selalu mengedepankan rasa saling kasih daripada lembaran ratusan rupiah.
Jangan sampai ratusan ribu rupiah menjadi pembatas rasa persaudaraan puluhan tahun lamanya, hilang rasa kasih, hilang rasa peduli dan hilang tingkah baik yang seharusnya ada.