Apem Jawa, Kue Khas Jawa Yang Sederhana Sebagai Simbol Penolak Bala Masyarakat Jawa
Penulis Penulis | Ditayangkan 14 Nov 2016Kue apem adalah panganan berbahan dasar tepung beras yang sangat dikenal di kalangan masyarakat Jawa.

Bagi masyarakat Jawa, pada umumnya kue apem menjadi kue yang mengandung makna filosofis. Oleh sebab itu kue ini bisa dipastikan selalu ada dalam tradisi selamatan, terutama bagi masyarakat tradisional di desa-desa.
Baca Juga : 3 Langkah Mudah Untuk Mengetahui Lokasi Seseorang Lewat Whatsapp
Seperti yang dilansir dari otonomi.co.id Istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab, 'afuan' atau 'afuwwun', yang berarti ampunan. Jadi, dalam filosofi Jawa, kue ini merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Namun, karena orang Jawa menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah 'apem'.
Masyarakat Jawa biasanya membuat apem saat menjelang bulan puasa atau Ramadan. Inilah yang disebut tradisi 'megengan'. Megengan berasal dari bahasa Jawa 'megeng' yang berarti menahan diri, yang identik dengan makna puasa itu sendiri.
Di Cirebon, kue apem dimaknai sebagai kue kebersamaan. Pasalnya, dalam masyarakat Cirebon, kue ini dibuat ketika bulan Safar (bulan ke-2 dalam kalender Hijriyah) untuk dibagikan kepada para tetangga secara gratis. Menunjukkan bahwa masyarakat saling membantu dengan sarana kue apem tersebut.
![Apem Jawa, Kue Khas Jawa Yang Sederhana Sebagai Simbol Penolak Bala Masyarakat Jawa Apem Jawa, Kue Khas Jawa Yang Sederhana Sebagai Simbol Penolak Bala Masyarakat Jawa]()
Selain itu, kue putih agak kecokelakatan dan cukup kenyal ini dimaknai sebagai penolak bala oleh masyarakat Kota Udang ini.
Bila ditarik mundur melihat sejarah, ada legenda yang menuturkan bahwa kue apem ini bermula pada zaman Sunan Kalijaga.
Adalah Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, yang waktu itu baru pulang ibadah haji dan melihat penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, kelaparan.
Beliau membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Para penduduk itu pun menjadi kenyang.

Bagi masyarakat Jawa, pada umumnya kue apem menjadi kue yang mengandung makna filosofis. Oleh sebab itu kue ini bisa dipastikan selalu ada dalam tradisi selamatan, terutama bagi masyarakat tradisional di desa-desa.
Baca Juga : 3 Langkah Mudah Untuk Mengetahui Lokasi Seseorang Lewat Whatsapp
Seperti yang dilansir dari otonomi.co.id Istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab, 'afuan' atau 'afuwwun', yang berarti ampunan. Jadi, dalam filosofi Jawa, kue ini merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan. Namun, karena orang Jawa menyederhanakan bahasa Arab tersebut, maka disebutlah 'apem'.
Masyarakat Jawa biasanya membuat apem saat menjelang bulan puasa atau Ramadan. Inilah yang disebut tradisi 'megengan'. Megengan berasal dari bahasa Jawa 'megeng' yang berarti menahan diri, yang identik dengan makna puasa itu sendiri.
Di Cirebon, kue apem dimaknai sebagai kue kebersamaan. Pasalnya, dalam masyarakat Cirebon, kue ini dibuat ketika bulan Safar (bulan ke-2 dalam kalender Hijriyah) untuk dibagikan kepada para tetangga secara gratis. Menunjukkan bahwa masyarakat saling membantu dengan sarana kue apem tersebut.

Selain itu, kue putih agak kecokelakatan dan cukup kenyal ini dimaknai sebagai penolak bala oleh masyarakat Kota Udang ini.
Bila ditarik mundur melihat sejarah, ada legenda yang menuturkan bahwa kue apem ini bermula pada zaman Sunan Kalijaga.
Adalah Ki Ageng Gribik atau Sunan Geseng, murid Sunan Kalijaga, yang waktu itu baru pulang ibadah haji dan melihat penduduk Desa Jatinom, daerah Klaten, kelaparan.
Beliau membuat kue apem lalu dibagikan kepada penduduk yang kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir Qowiyyu (Allah Maha Kuat). Para penduduk itu pun menjadi kenyang.