Kronologi Bentrok Pesilat SH Terate Vs Warga Mojokerto

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 19 Oct 2016

PSHT yang merupakan kepanjangan dari Persaudaraan Setia Hati Terate yang digadang merupakan perguruan silat tertua di dunia.

Kronologi Bentrok Pesilat SH Terate Vs Warga Mojokerto

Dari wikipedia ensiklopedia bebas, Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) atau yang dikenal dengan SH Terate pada dasarnya bertujuan mendidik dan membentuk manusia berbudi luhur, tahu benar dan salah, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, mengajarkan kesetiaan pada hati sanubari sendiri serta mengutamakan persaudaraan antar warga (anggota) dan berbentuk sebuah organisasi yang merupakan rumpun/aliran Persaudaraan Setia Hati (PSH).

SH Terate termasuk salah satu 10 perguruan silat yang turut mendirikan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) pada konggres pencak silat tanggal 28 Mei 1948 di Surakarta. Cabang SH Terate tersebar di 200 kota/kabupaten di Indonesia dan komisariat luar negeri di Malaysia, Belanda, Russia (Moskow), Timor Leste, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, Belgia dan Perancis, dengan keanggotaan (disebut Warga) mencapai 8 juta orang.

Di Mojokerto sempat ada keramaian, pada Selasa (18/10/2016) dini hari. Usai acara tahlil di rumah rekan satu perguruan, diduga ratusan anggota Perguruan Silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) mengamuk di perempatan Desa Pulorejo, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto.

Ratusan massa yang rata-rata anak-anak muda itu melakukan aksi perusakan dan penyerangan terhadap warga di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Baca Juga : Marwah Muncul Lagi, Sebut Keterlibatan Dimas Kanjeng di Kasus Pembunuhan Itu Hanya Kecelakaan

Wakil Ketua Perguruan Silat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Cabang Mojokerto, Agus Iswahyudi menjelaskan aksi bentrok antara angggotanya dengan warga dari keterangan yang ia peroleh di lapangan. Bentrok terjadi saat digelar pelantikan/pengesahan (wisuda) warga anggota baru PSHT Cabang Mojokerto, 15-16 Oktober 2016.

"Bentrok pertama saat berangkat, yakni di Jalan Raya Desa Kebonagung, Kecamatan Puri pada Sabtu malam dan bentrok kedua saat pulang di simpang empat Desa Kupang, Kecamatan Jetis pada Minggu dini hari. Baik di Puri maupun Jetis, konvoi ada tiga gelombang. Saat berangkat lewat Puri, gelombang pertama aman melintas karena mendapatkan pengawalan," ungkapnya, Selasa (18/10/2016).

Agus mengungkapkan, gelombang kedua ada sekelompok pemuda naik sepeda motor di depan gelombang kedua melakukan konvoi dengan cara 'membleyer-bleyer' dan berjalan zig-zag memenuhi jalan. Dari keterangan yang ia diterima, gelombang kedua tidak mengenal sekelompok pemuda yang berada di depan mereka.

"Hasil pengumpulan data di lapangan, anggota kami tidak mengenal sekelompok pemuda tersebut. Karena itu, anggota kami kemudian melakukan pengejaran dan mendapat penghadangan warga. Anggota kami melihat ada batu yang sudah disiapkan warga. Apakah ada penyusup, kami belum berani mengatakan tapi kemungkinan bisa saja terjadi karena yang di depan itu bukan anggota," katanya.

Agus menjelaskan, pihaknya belum berani mengatakan kecolongan karena diduga ada penyusup. Pasalnya hal itu perlu dibuktikan. Apalagi, menurutnya, anggota yang konvoi tidak hanya berasal dari Mojokerto, tapi juga dari luar daerah. Seperti, Jombang, Tuban, Lamongan dan Gresik.

"Di TBI, sebelum berangkat semua digeledah tidak boleh membawa sajam atau sejenisnya tapi kenyataan di lapangan ada peristiwa pembacokan terhadap warga. Kami tidak tahu senjata itu dari mana. Pengeledahan sudah kami lakukan, upaya meminimalisir sudah dilakukan organisasi," ujarnya.

Sementara kasus bentrok di simpang empat Desa Kupang, Kecamatan Jetis, Agus menjelaskan jika kasusnya sama. Gelombang pertama pulang mendapat pengawalan ketat dan akhirnya lolos, aman tidak ada apa-apa. Gelombong kedua, sekitar pukul 03.00 WIB diduga warga terusik karena sebelumnya juga ada konvoi bersiap-siap menghadang sehingga Polsek Jetis mengembalikan dan menyarankan melalui ke Gedeg dan Kemlagi.

"Akhirnya, gelombang kedua tidak terjadi apa-apa. Gelombang ketiga sempat berhenti di jembatan Gajahmada. Saya berada di belakang rombongan ketiga tapi sekitar pukul 04.00 WIB, saya mampir Wates ada dua pengendara sepeda motor pakai celana biasa dan helm. Dari keterangan korban selamat, dia bersama korban meninggal mendapat penghadangan dan dilempari kayu sehingga terjatuh. Bahkan sepeda motor oleng hingga menabrak tiang telepon dan mereka dimassa" jelasnya.

Agus menjelaskan, dari keterangan korban selamat, sebelumnya dua anggota melintas dan satu dari anggota Perguruan Silat (PS) lainnya yang kebetulan lewat juga mendapatkan penghadangan dan pemukulan. Dua anggota terluka, sementara motor PS lainnya tersebut rusak. Menurutnya, ia pun kembali dan melihat korban, Dwi Cahyono (19) dan Andika Dwi Pratama (17) sudah dibawa mobil.

"Saya ke Polsek membawa korban Subandi dan Son Sholikudin serta satu orang lain. Dari keterangan polisi, Dwi Cahyono dan Andika Dwi Pratama menjadi korban kecelakaan tunggal. Memang saya sendiri tidak melihat aksi bentrok karena berada di belakang mereka sehingga saat saya ke lokasi, saya melihat tiga orang itu tergeletak. Kami menyayangkan jika ada satu hal yang harus ditutupi, jika kami yang keliru maka secara moral organisasi pasti diminta pertanggungjawaban," tuturnya.

Agus menambahkan, jika anggotanya menjadi korban, seharusnya pihak kepolisian fair dengan mengatakan sebenarnya. Karena pihaknya khawatir terjadi hal yang tidak diinginkan terjadi, namun pihaknya sudah berkoordinasi agar tidak terjadi aksi balas dendam. Namun pihaknya meminta agar pihak kepolisian mengusut kasus tersebut dan memberikan data secara benar, siapa yang salah harus ditindak.


SHARE ARTIKEL