Monumen Nasional " Monas" Tidak Banyak Yang Tahu Ternyata Tempat Ini Yang Menjadi Penyumbang Emas Terbanyak Untuk Pembuatan Monas

Penulis Penulis | Ditayangkan 01 Jul 2016

Monumen Nasional

Tak banyak yang tahu bahwa pucuk emas di Monumen Nasional, Jakarta berasal dari Lebong Tandai, Kabupaten Napal Putih, Bengkulu. Pada era Presiden Soekarno, seorang pengusaha pribumi asal Aceh bernama Teuku Markam menyumbangkan emas tersebut sebagai bagian dari proyek pembangunan Monumen Nasional di tahun 1959.

Desa Lebong Tandai pernah menjadi kawasan primadona di wilayah nusantara. Jauh sebelum perusahaan tambang emas Freeport berkuasa, harumnya komoditas emas sudah tercium lebih dahulu dari wilayah Barat Indonesia itu. Pemerintah kolonial Belanda menyadari betul potensi alam ini meskipun Lebong Tandai berada di pedalaman dan sulit mendapatkan akses menuju tempat ini.

Monumen Nasional

Tak salah bila Lebong Tandai dijuluki sebagai Batavia Kecil karena posisinya yang amat penting dalam menunjang perekonomian pemerintah kolonial. Padahal awalnya wilayah ini termasuk di bawah kekuasaan Kerajaan Inggris sebelum kedua negara melakukan pertukaran daerah koloni. Sesudah tahun 1890an, Inggris mendapatkan Singapura yang berada di wilayah semenanjung Malaya, sementara Belanda mendapatkan Sumatera bagian selatan termasuk Bengkulu. Bahkan, sebelum Belanda datang, masyarakat sekitar mengenal Lebong Tandai sebagai sudah Svarnadwipa atau Pulau Emas.

Monumen Nasional

Alex L ter Braake, penulis buku Mining in the Netherlands East Indies (1944), menuliskan, tahun 1910, sebuah perusahaan tambang emas asal Belanda, Mijnbouw Maatschappij Simau memutuskan untuk mengelola tempat itu menjadi area operasional. Di tahun itu pula perusahaan yang saat itu baru berumur sembilan tahun tersebut membuat terowongan dan rel kereta sebagai bagian dari konstruksi pertambangan. Mereka menjadi perusahaan pertama yang melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran di nusantara.

Rata-rata setiap tahun tambang emas Lebong Tandai menghasilkan1 ton emas. Pada 1937, misalnya, produksi emas Lebong Tandai mencapai 1.095.538 gram. Periode 1900-1940 mungkin menjadi masa keemasan tambang ini karena mampu memproduksi 72% dari semua emas Netherlands East Indies yang totalnya mencapai 123 ton. Secara keseluruhan, ada tiga lokasi emas yang mereka kelola yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai, dan Karang Suluh.

Monumen Nasional

Emas dari Lebong Tandai terkenal dengan sebutan emas si molek karena alat pengangkut emas atau lori di Lebong Tandai dinamai si molek. Kereta angkut yang dibangun Belanda ini berjalan di atas rel dengan jarak tempuh sekitar 33,5 km menuju tambang. Penggunaan lori diperlukan karena jalur ini sangat rawan longsor. Jalur ini diapit oleh dinding tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam sehingga memerlukan alat angkut yang dinilai tepat dan aman. Tempat pengolahannya pun masih sederhana. Para penambang menggunakan Gelundung yang berbentuk selinder, panjang diameternya mencapai 30 cm dan terbuat dari plat baja.

Ketika masa operasional tambang dimulai, Lebong Tandai dalam sekejap disulap menjadi kota kecil yang pada zaman itu terbilang cukup mewah. Mijnbouw Maatschaappij Simau membangun beberapa fasilitas seperti lapangan tenis, lapangan basket, rumah sakit, rumah bola (biliard), hingga rumah bordil yang populer dengan sebutan rumah kuning. Pembangunan fasilitas rumah bordil bahkan ditiru oleh PT Lusang Mining, perusahaan asal Australia yang menguasai wilayah ini pada tahun 1980an agar para pekerja tak mengajak keluarga tinggal di mess karyawan.

Monumen Nasional

Pada zaman Belanda, segala fasilitas ini sengaja dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pekerja tambang yang kebanyakan didatangkan dari Jawa, sekaligus para petinggi dan pasukan keamanan Belanda. Tak hanya itu, pemerintah Belanda kerap kali mendatangkan penari-penari ronggeng dari Jawa sebagai hiburan. Hal ini dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II.

Bagi pekerja tambang yang sakit, di sebelah barat Lebong Tandai dibangun sebuah rumah sakit yang terletak di bukit barisan. Di sanalah para pekerja tambang itu ditampung. Kondisi alam dan alat kerja yang tidak menjamin kesehatan membuat banyak penambang mengalami sakit paru-paru. Paling lama enam bulan setelah datang ke Lebong Tandai, pekerja yang baru didatangkan dari Jawa pasti langsung sakit.

Monumen Nasional

Sayangnya keberadaan rumah sakit ini tak banyak membantu. Bagi pekerja yang sedang sakit akan diberi dua pilihan oleh perusahaan. Pertama dipulangkan ke kampung halamannya atau kedua, dibiarkan berada di rumah sakit hingga menuju ajal tiba. Maka dari itu di bagian belakang rumah sakit terdapat areal pemakaman yang kebanyakan adalah korban Mijnbouw Maatschaappij Simau. Tambang emas ini juga sempat dikuasai Jepang pada 1943 hingga 1945 ketika negeri matahari terbit itu mendarat di tanah air sebelum akhirnya diambil alih pemerintah baru Indonesia.

SHARE ARTIKEL