Seberapa Banyak Waktu Yang Kita Habiskan Untuk Orang Tua ?

Penulis Penulis | Ditayangkan 28 Jun 2016
Seberapa Banyak Waktu Yang Kita Habiskan Untuk Orang Tua ?

UMAYYAH al-Kinani adalah seorang pemimpin dari kaumnya. Ia memiliki seorang anak bernama Kilab. Kilab hijrah ke Madinah pada masa khalifah Umar bin Khaththab r.a.

Ia tinggal di sana selama beberapa waktu. Pada suatu hari, ia bertemu dengan beberapa sahabat dan bertanya kepada mereka mengenai amal yang paling baik dalam Islam. Para sahabat menjawab: “Jihad.”

Kilab pergi menghadap Umar dan menyatakan keinginannya untuk ikut perang. Lalu Umar menjadikannya sebagai tentara untuk berperang dengan Persia.

Ketika ayah Kilab mengetahui hal itu, ia menahan Kilab seraya berkata: “Jangan kamu tinggalkan ayah dan ibu yang tua renta. Kami telah mendidikmu saat kecil, apakah ketika kami membutuhkanmu, kamu akan meninggalkan kami?” Kilab menjawab: “Aku meninggalkan kalian berdua untuk melakukan suatu perbuatan yang baik untukku.”

Lalu ia pergi berperang setelah kedua orang tuanya merestuinya. Namun, ia terpisah dari kelompoknya dalam perang tersebut dan terlambat untuk kembali.

Suatu ketika, ayah dan ibunya duduk di bawah pohon kurma milik mereka. Mereka melihat sekelompok burung dara memanggil anak-anaknya yang masih kecil, seraya bermain dengan anak-anaknya. Ketika melihat hal itu, si kakek (ayah Kilab yang sudah tua) menangis. Ketika istrinya melihat sang kakek menangis, ia pun menangis. Lalu, sang kakek menjadi buta, karena terlalu banyak air mata yang memenuhi matanya.

Ketika anaknya lama tidak terlihat pulang, ia pergi menghadap Umar r.a dan masuk masjid seraya berkata: “Demi Allah, ya Ibnu Khaththab, jika engkau tidak mengembalikan anakku kepadaku, maka aku akan mendoakan keburukan bagimu di Arafat.”

Kemudian Umar menulis surat kepada Kilab. Ketika Kilab datang dan menghadapnya, Umar bertanya kepada Kilab: “Sejauh manakah baktimu kepada ayahmu?” Kilab menjawab: “Aku selalu mementingkannya dan mencukupi kebutuhannya. Jika aku ingin memberinya susu, maka aku akan pergi mencari unta yang paling banyak susunya. Aku akan membuat unta itu tenang dan membiarkannya merasa nyaman. Kemudian, aku mencuci puting susunya hingga dingin, lalu aku memerah susunya dan memberikan susu itu kepada ayahku.”

Umar lalu menyuruhnya untuk pulang menemui ayahnya. Setelah itu, seorang lelaki datang menghadap Umar dengan langkah gontai. Laki-laki itu telah hilang penglihatannya serta bungkuk punggungnya. Umar bertanya kepadanya: “Bagaimana keadaanmu hai Abu Kilab?”

Kakek itu menjawab: “Seperti yang engkau lihat, Amirul Mukminin.” Umar bertanya: “Hal apakah yang paling kamu sukai hari ini?” Ia menjawab: “Aku tidak menginginkan apa-apa hari ini. Hal yang kuinginkan hanyalah kebaikan, bukan keburukan.”

Umar bertanya: “Adakah yang lain?” Kakek itu menjawab:”Tidak, aku senang jika Kilab, anakku, bersamaku, sehingga aku bisa mencium baunya dan memeluknya sebelum aku mati.” Umar menangis dan berkata: “Engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan, Insya Allah.”

Lalu, Umar menyuruh Kilab pergi memerahkan susu unta untuk ayahnya, sebagaimana ia lakukan sebelumnya dan mengirimkan susu tersebut kepada ayahnya. Ia pun melakukan hal itu lalu datang dengan memberikan bejana kepada Umar r.a.

Umar pun mengambil dan berkata: “Minumlah, hai Abu Kilab.” Ketika Abu Kilab memegang bejana dan mendekatkannya ke mulutnya, ia berkata: “Demi Allah, ya Amirul Mukminin, sungguh aku mencium bau kedua tangan Kilab.”

Umar menangis dan berkata: “Ini Kilab ada di depanmu, kami telah mendatangkannya untukmu.” Lalu ia melompat ke arah anaknya dan memeluknya sambil menangis. Hal tersebut membuat Umar dan orang-orang yang hadir di situ menangis.

Lalu Umar berkata: “Hai anakku, jagalah kedua orang tuamu dan berjihadlah untuk berbakti kepada keduanya selama mereka masih ada. Lalu uruslah urusanmu setelah itu.”

MARILAH segera berbakti kepada orang tua dan membahagiakan keduanya setiap saat. Jadilah seperti mereka –orang-orang yang tidak ada duanya, sebelum Anda menyadari suatu hari akan datang kabar mengejutkan dari orang-orang di sekitar Anda yang berkata, “Semoga Allah menambah pahala bagimu. Ayah atau ibumu sudah meninggal.”

Sekarang ini, kita menemukan sebagian orang menghabiskan semua waktunya di luar rumah. Begitu masuk ke rumah, ia duduk di depan komputernya dan menyelesaikan tugas sekolah, kuliah, pekerjaan, atau menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan berbagai olah raga dan berbincang-bincang dengan orang yang dikenal atau tidak dikenalnya.

Ketika ia lewat di hadapan orang tuanya, dia mengucapkan salam lalu pergi untuk mengerjakan aktivitasnya. Dialog antara dirinya dan kedua orang tuanya adalah sebagai berikut:

Ibu: “Duduklah, ayo kita makan siang
Bersama.”
Anak: “Aku sudah makan di luar. Aku sibuk
Sekarang.”
Ibu: “Ayo minum teh dengan kami.”
Anak: “Insya Allah, sebentar. Aku pergi ke kamar dan akan kembali sebentar lagi.”

Kemudian, si anak duduk di dalam kamarnya menyelesaikan pekerjaannya dan larut dalam pekerjaannya tersebut. Ia lupa bahwa ibunya menunggunya untuk berbicara dengannya.

Kesibukan yang kita hadapi dan irama kehidupan yang berjalan dengan cepat yang saat ini kita jalani adalah hal yang paling banyak membuat tembok pemisah antar-generasi atau antara orangtua dan anak-anak. Jika ditambah dengan sikap mementingkan diri sendiri, maka hasilnya adalah kelalaian dan penyesalan tiada akhir terhadap kesempatan yang hilang.

Kita tidak memasukkan waktu untuk berbicara dengan ibu dalam jadwal pekerjaan kita. Jadi, ketika ibu ingin berbicara dengan kita, maka kita pura-pura memberikan waktu untuknya. Begitu ibu mulai berbicara, ada perbedaan jelas antara pembicaraan kita dengan pembicaraannya. Pada umumnya kita sendiri mengakhiri pembicaraan, karena waktu yang kita luangkan telah habis.
SHARE ARTIKEL