Inilah Kekuatan Prangsaka dalam Mendidik Anak yang Harus Kita Ketahui.

Penulis Unknown | Ditayangkan 13 Jun 2016

Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits qudsiy dari jalan Abu Hurayrah ra yang berhasil kami lansir dari muslimah.:

« أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى إِنْ ظَنَّ بِى خَيْراً فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ »

“Bahwasanya Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Aku bergantung prasangka hambaKu. Apabila ia berprasangka baik kepadaKu, maka kebaikan baginya, dan bila berprasangka buruk maka keburukan baginya.”

Inilah Kekuatan Prangsaka dalam Mendidik Anak yang Harus Kita Ketahui.

Dalam hadits yang agung ini janganlah dipahami Allah itu lemah dimana kekuatanNya bergantung pada prasangka hamba-hambaNya. Namun firman Allah ini justru mengajarkan agar kita berhati-hati dalam berprasangka. Karena prasangka itu adalah sikap hati seorang manusia terhadap keadaan yang akan menimpanya.

Jika ia berprasangka buruk kepada Allah berarti ia telah menuduh Allah telah dan akan menimpakan yang buruk-buruk saja kepadanya. Sikap hati seperti ini adalah tercela dan berdosa. Maka pantas bila Allah akan menimpakan keburukan kepada orang tersebut.

Namun bila sebaliknya, kita menyangka Allah tidak akan pernah menzalimi mahlukNya, selalu menyayangi kita, dan tidaklah musibah menimpa kita melainkan sebatas ujian yang akan berujung kebaikan, maka kebaikanlah yang akan datang kepada kita.

Orang-orang saleh terdahulu seperti para sahabat mereka tidak pernah berpikir tentang Allah melainkan yang kebaikan semata. Pun ketika mereka dihadang ujian besar. Pada saat Perang Ahzab, para sahabat tergetar hati mereka dan tenggorokan mereka tercekat menyaksikan jumlah balatentara kaum kuffar yang digalang kaum musyrik Quraisy mengepung Madinah. Dalam surat al-Ahzab digambarkan oleh Allah rasa takut yang mencengkram para sahabat laksana “hatimu menyesak sampai tenggorokan.”

Tetapi Allah SWT. mengetahui kaum mukminin tetap berprasangka baik kepadaNya. Allah berfirman:

Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.”(TQS. Al-Ahzab: 22).

Allah pun memberikan pertolongan dan kemenangan kepada kaum mukmin, memporakporandakan balatentara kaum kuffar, menyudutkan orang-orang munafik dan selanjutnya menghancurkan pengkhianatan kaum Yahudi.

* * * * *

Sayang kita acap terlupa dengan perintah “prasangka baik kepada Allah”. Tipisnya iman kita membuat pemahaman prasangka baik pada Allah itu sebatas urusan rizki, dan itu uang dan uang dan uang. Padahal perintah husnudzan pada Allah itu berlaku dalam setiap hal, termasuk dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak kita.

Pernahkah kita merasa begitu putus harapan mendidik anak-anak kita dalam kebaikan? Diberi tahu malah melawan, diajarkan justru membangkang, dinasihati malah mengabaikan. Akhirnya anak-anaklah yang kita persalahkan. Tertanam dalam hati kita, orangtua, anak kita culas, pembohong, nakal, suka mencuri, malas belajar, dan berbagai karakter negatif itu melekat dalam diri anak kita.

Ayah dan bunda, anak-anak adalah anak-anak. Di antara sifat mereka adalah kerap berulang-ulang melakukan kesalahan. Pribadi mereka belum ajeg. Tindakan mereka lebih banyak berdasarkan insting ketimbang akal sehat. Coba kita pikir dengan jernih; orang dewasa mana yang masih mau rebutan mainan atau makanan dengan adiknya? Tidak ada bukan. Tapi itu bisa terjadi pada anak-anak.

Setelah membaca hadits qudsiy di atas, terbersitkah dalam pikiran bahwa bisa jadi perilaku negatif pada anak-anak justru ‘diciptakan’ oleh kita, orang tuanya sendiri? Yakni ketika kita berprasangka buruk pada Allah bahwa anak-anak kita karakternya negatif atau nakal, maka pada saat itu pula Allah ‘mengabulkan’ semua prasangka kita.

Ketika kita curiga terus menerus bahwa anak kita adalah suka mencuri, mengganggu adiknya, pemalas, dll., seketika Allah akan mewujudkan itu pada anak-anak kita. Simaklah baik-baik firman Allah tadi:

“Apabila ia berprasangka baik kepadaKu, maka kebaikan baginya, dan bila berprasangka buruk maka keburukan baginya.”

Saya teringat dengan cerita seorang kerabat saat anak-anaknya masih kecil. Kepada ayahnya – kakek dari anak-anaknya – ia mengatakan, “Insya Allah yang satu ini bakal jadi dokter.”

Masya Allah, perkataan itu terwujud kemudian. Anak yang ia maksudkan benar-benar menjadi dokter, bahkan bersuamikan seorang dokter pula. Inilah kebesaran Allah SWT.

Ayah bunda, ketika kita merasa bermasalah dengan anak-anak kita, justru kitalah yang harus melakukan introspeksi diri. Pasti ada sesuatu yang salah dalam diri kita. Salah satunya bisa dikarenakan kita menyimpan berbagai prasangka buruk kepada Allah tentang anak kita.

Sikap orang tua pada saat anaknya bermasalah adalah tetap berkeyakinan Allah tidak akan membiarkan hamba-hambaNya, apalagi anak yang belum menanggung dosa, berada dalam kezaliman dan kesesatan. Yakin bahwa kelak anak kita akan paham berbagai nasihat, arahan dan kesedihan orang tuanya. Maka jangan lelah dan berputus asa membimbing anak-anak kita agar berada dalam kebaikan, dengan cara dan bahasa yang baik pula.

Lalu panjatkan doa kepada Allah. Mohonkan agar Allah senantiasa melipatgandakan kesabaran kita dalam mendidik anak-anak kita, juga memberikan hidayah baik kepada kita juga anak keturunan kita.

Hati-hatilah dalam berprasangka kepada Allah tentang anak-anak kita. Jangan biarkan syetan merusak prasangka baik dan keyakinan baik kita kepada Allah. Mohonlah perlindungan kepada Allah saat kita menghadapi ujian yang berasal dari anak-anak kita.

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

“Janganlah salah seorang di antara kamu mati melainkan ia tetap berprasangka baik kepada Allah Azza wa Jalla.”(HR. Muslim).

SHARE ARTIKEL