Kesalahpahaman Penyebutan Habib di dalam Masyarakat Indonesia

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 26 Apr 2017

Kesalahpahaman Penyebutan Habib di dalam Masyarakat Indonesia
bolosrewu.blogspot

Putra-putra Rasulullah saw. (al-Qasim, Abdullah dan Ibrahim) semuanya meninggal ketika masih kecil, sehingga keturunan Rasulullah saw. diteruskan lewat anak perempuan beliau. Mengapa bukan dari anak laki-lakinya dan mengapa pula mereka diwafatkan sewaktu masih kecil?

Ini karena Nabi Muhammad saw. telah ditetapkan sebagai nabi terakhir sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT. dalam al-Qur’an Surah al-Ahzab ayat 40 yang artinya:

“…tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup para Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Oleh karena itu seandainya putra-putra beliau tumbuh dewasa, maka mereka hanya akan menjadi orang biasa dan tidak akan mungkin menjadi nabi.

Padahal nabi-nabi yang lain mempunyai putra-putra yang juga menjadi nabi (seperti Nabi Ibrahim yang punya anak Nabi Ismail dan Nabi Ishaq; Nabi Ya’qub punya anak Nabi Yusuf; Nabi Daud punya anak Nabi Sulaiman).

Untuk itulah Allah mewafatkan putra-putra Rasulullah saw. agar kehormatan dan keutamaan beliau sebagai Pemimpin/Penghulu Para Nabi dan Rasul (Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin) tetap terjaga.

Walhasil, keturunan Rasulullah saw. diteruskan oleh anak perempuan beliau, karena orang perempuan tidak pernah menjadi nabi.

Bagaimana dengan penyebutan habib?
Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW. di Indonesia, Rabithah Alawiyah, menilai banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait sebutan habib. Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid Zen Umar bin Smith menyatakan bahwa fenomena itu perlu diluruskan.

Menurutnya, habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah yang dicintai. Adapun, habaib adalah kata jamak dari habib. Jadi tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.

Keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein disebut sayyid, dan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Zen menjelaskan, di Indonesia para keturunan Rasullullah banyak yang berasal dari Husein. Maka banyak yang disebut sayyid.

Sementara keturunan-keturunan Hasan kebanyakan menjadi raja atau presiden seperti di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh berubah menjadi Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.

Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan. ‘Gelar’ habib, kata dia, tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Seorang sayyid, lanjutnya, tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah habib.

Baca Juga: Detik-detik Meninggalnya Qori di Surabaya Saat Membaca Ayat Suci Al Qur’an

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertakwa kepada Allah.

Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib.

Dari proses zaman ke zaman, orang akhirnya menamakan semua keturunan sayyid menjadi habib.

“Padahal seharusnya tidak,” katanya. Artinya, kata dia, dari waktu yang cukup lama orang mengatakan mana habib dan mana yang sayyid, untuk membedakan bahwa habib adalah ulama-ulama.

Zen mencontohkan, di Jakarta ada Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Alatas di Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Alatas di Bogor dan lain-lain. Menurutnya, beberapa habib itulah sedikit contoh dari yang memang benar-benar habib dalam arti yang sebenarnya.

Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, penyebutan habib terjadi degradasi kualitas. Panggilan habib lebih dijadikan sebagai panggilan keakraban atau panggilan kekerabatan. Sementara di sisi lain, banyak kalangan dari sayyid sendiri maupun dari kalangan habib sendiri ingin menggunakan gelar habib untuk dakwah.

“Tapi, akhirnya melenceng, mereka mentitelkan dirinya sendiri,” katanya lansir Republika saat ditemui di kantornya, Sabtu (11/10).

Saat ini, kata Zen, di seluruh dunia kurang lebih ada sekitar 68 qobilah(marga) dari keturunan Rasulullah, termasuk di Indonesia. Hanya saja, Rabithah Alawiyah masih melakukan proses pendataan secara detail berapa jumlah keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia.

“Jumlah persis kita belum tahu. Tapi estimasi kasar sekitar 1-1,5 juta orang dan saat ini proses verifikasi,” ujarnya.Kesalahan Penyebutan Habib di dalam Masyarakat Indonesia

Organisasi pencatat keturunan Nabi Muhammad SAW. di Indonesia, Rabithah Alawiyah, menilai banyak terjadi salah kaprah di masyarakat terkait sebutan habib. Ketua Umum Rabithah Alawiyah Sayyid Zen Umar bin Smith menyatakan bahwa fenomena itu perlu diluruskan.

Menurutnya, habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah yang dicintai. Adapun, habaib adalah kata jamak dari habib. Jadi tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.

Keturunan Rasulullah dari Sayyidina Husein disebut sayyid, dan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif. Hasan dan Husein merupakan putra Sayyida Fatimah binti Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib. Zen menjelaskan, di Indonesia para keturunan Rasullullah banyak yang berasal dari Husein. Maka banyak yang disebut sayyid.

Sementara keturunan-keturunan Hasan kebanyakan menjadi raja atau presiden seperti di Maroko, Jordania, dan kawasan Timur Tengah. Pertama kali ulama-ulama dari Yaman atau Hadramaut masuk ke Indonesia di beberapa daerah. Karena adanya akulturasi budaya, sebutan sayyid di Aceh berubah menjadi Said, di Sumatra Barat menjadi Sidi dan lain sebagainya.

Dia mengatakan, saat ini banyak orang yang mengaku sebagai seorang habib, padahal bukan. ‘Gelar’ habib, kata dia, tidak bisa disematkan kepada setiap sayyid. Setiap habib harus sayyid, tetapi sayyid belum tentu habib. Seorang sayyid, lanjutnya, tidak bisa mengatakan bahwa dirinya sendiri adalah habib.

Pengakuan habib harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, harus memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati serta bertakwa kepada Allah.

Dan yang paling penting, lanjutnya, adalah akhlak yang baik. Sebab, bagaimanapun keteladanan akan dilihat orang lain. Seseorang akan menjadi habib atau dicintai orang kalau mempunyai keteladanan yang baik dalam tingkah lakunya. Maka, kata dia, menjadi aneh jika seseorang mengaku-ngaku dirinya adalah seorang habib.

Dari proses zaman ke zaman, orang akhirnya menamakan semua keturunan sayyid menjadi habib. “Padahal seharusnya tidak,” katanya. Artinya, kata dia, dari waktu yang cukup lama orang mengatakan mana habib dan mana yang sayyid, untuk membedakan bahwa habib adalah ulama-ulama.

Baca Juga: Shalat Tidak Fokus dan Terbayang-bayang Sesuatu, Sahkah Shalat itu?

Zen mencontohkan, di Jakarta ada Habib Ali bin Abdurrahman Kwitang, Habib Ali bin Husein Alatas di Cikini, Habib Abdullah bin Muchsin Alatas di Bogor dan lain-lain. Menurutnya, beberapa habib itulah sedikit contoh dari yang memang benar-benar habib dalam arti yang sebenarnya.

Seiring berjalannya waktu, lanjutnya, penyebutan habib terjadi degradasi kualitas. Panggilan habib lebih dijadikan sebagai panggilan keakraban atau panggilan kekerabatan. Sementara di sisi lain, banyak kalangan dari sayyid sendiri maupun dari kalangan habib sendiri ingin menggunakan gelar habib untuk dakwah.

“Tapi, akhirnya melenceng, mereka mentitelkan dirinya sendiri,” katanya lansir Republika saat ditemui di kantornya, Sabtu (11/10).

Saat ini, kata Zen, di seluruh dunia kurang lebih ada sekitar 68 qobilah(marga) dari keturunan Rasulullah, termasuk di Indonesia. Hanya saja, Rabithah Alawiyah masih melakukan proses pendataan secara detail berapa jumlah keturunan Nabi Muhammad yang ada di Indonesia.

“Jumlah persis kita belum tahu. Tapi estimasi kasar sekitar 1-1,5 juta orang dan saat ini proses verifikasi,” ujarnya.

SHARE ARTIKEL