Allah dan Rasulullah Mencintai Pekerja, Meski Mereka Tak Bisa Mengaji dan Sholat Jamaah

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 09 Oct 2020



Allah dan Rasulullah Mencintai Pekerja, Meski Mereka Tak Bisa Mengaji dan Sholat Jamaah

Ilustrasi pekerja - Image from tempo.co

Allah dan Nabi Muhammad sangat mencintai pekerja

Bahkan meski para pekerja atau buruh tak mampu menunaikan shalat jamaah ataupun mengaji, Allah dan Rasulullah tetap mencintai mereka. Mengapa? Berikut adalah kisah yang diriwayatkan dalam hadist tentang pekerja. 

Pada video pengajian yang diunggah channel Santri Gayeng, KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) mengisahkan betapa Allah dan Nabi Muhammad mencintai para pekerja, sekalipun mereka tidak mampu shalat jamaah dikarenakan pekerjaannya.

Gus Baha menceritakan sebuah riwayat hadis, bahwa suatu saat Rasulullah SAW sedang mengajar sahabat-sahabatnya di teras masjid. 

Kemudian di tengah pengajian tersebut, ada seorang pemuda dengan santainya melewati jamaah pengajian. Pemuda tersebut terlihat sedang memikul cangkul, menunjukkan bahwa dia akan bekerja. 

Rasulullah Mencintai Pekerja 

Lalu, salah satu sahabat langsung naik darah dan mengomentari pemuda tersebut: 

"Sial betul pemuda itu! ada Rasulullah sedang memberi pengajian, dia lewat saja! Bukannya berhenti dan ikut ngaji malah jalan saja. Celakalah dia!”

Lantas, Rasulullah SAW langsung menanggapi komentar itu,

"Jangan kamu berkomentar seperti itu! Dia itu bekerja bisa saja supaya tidak meminta-minta. Itu adalah sunnahku."

Dalam riwayat lainnya, Rasulullah SAW memang pernah menyebut bahwa orang yang bekerja lebih baik dibandingkan orang yang meminta-minta kepada orang lain. Sebagaimana bunyi hadist berikut ini:

"Sungguh, demi Dzat yang menguasai diriku, seseorang yang menggunakan seutas tali, mencari kayu bakar, dan mengikatkan ke punggungnya, (lalu menjualnya ke pasar) adalah lebih baik baginya daripada harus meminta-minta kepada orang lain, yang kadang diberi dan terkadang ditolak" (Bukhari, Hadis 1470).

Allah SWT Mencintai Pekerja 

Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Atau dia bekerja untuk keluarganya, untuk ibunya. Itu juga sunnahku. Dan Allah mencintai orang mukmin yang bekerja.”

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ fa iżā 

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah Ayat 10)

Dari dalil tersebut kita bisa mengambil hikmah, bahwa Nabi Muhammad SAW justru memperbolehkan si pemuda yang tidak ikut mengaji tersebut karena sebab bekerja. 

Sejak saat itu, sahabat tidak lagi mudah mencemooh orang yang tak ikut mengaji, apalagi jika alasan mereka adalah untuk bekerja. 

Riwayat ini sekaligus menjadi pengingat bagi para kiai atau pemuka agama, supaya tidak terlalu cepat bersikaap reaktif saat mengetahui jamaahnya tidak ikut mengaji karena pekerjaan. 

Gus Baha pun sempat melontarkan guyonan, “Saya ini Kiai yang sukses. Sebab yang mengaji ya saya puji, yang tidak mengaji juga saya puji.” 

Orang yang Bekerja sedang Terapkan Ilmu

Kok bisa? Gus Baha melanjutkan, pada dasarnya orang yang datang ke pengajian adalah orang yang baru ingin belajar. Sementara orang yang tidak ikut mengaji karena bekerja, sebenarnya sedang menerapkan ilmu yang telah diperolehnya.

Misalkan bekerja untuk mencari nafkah, mengasuh anak, atau bahkan mengajak bermain anaknya sebagai bentuk kasih sayang. Itu semua adalah cara manusia menerapkan ilmu yang diterima dalam kehidupan. 

Toh jika berhalangan mengaji karena urusan keluarga atau mencari nafkah, tidak menjadi masalah. Berbeda halnya jika meninggalkan pengajian atau ibadah untuk melakukan perbuatan maksiat atau yang diharamkan. 

Tak hanya dalam kegiatan mengaji, perumpamaan tersebut juga sesuai diterapkan pada ibadah sholat jamaah. 

Jangan Jadikan Sholat sebagai Tersangka

Gus Baha menambahkan, suatu ketika Abu Al-Qasim Junaidi pernah ditanya, bagaimana jika ada orang yang sedang bekerja, kalau dia shalat jamaah bisa dimarahi sama majikannya. 

Namun kalau dia tidak shalat jamaah, maka akan kehilangan keutamaan jamaah?

Abu al-Qasim menjawab dengan mantap, “Shalat sendirian saja. Yang penting kamu bisa menafkahi keluargamu.”

Lho, bukankah jamaah itu fardhu kifayah? 

Abu al-Qasim lantas menjawab, "Jangan sampai gara-gara jamaah, kamu kehilangan nafkah dan orang-orang lalu menyalahkan sholat. Maka dari itu, shalat jangan sampai jadi tersangka," ujarnya.

"Jangan sampai shalat menjadi sesuatu yang disalah-salahkan kalau shalat jamaah menyebabkan hilangnya jalan nafkah untuk keluarga," pungkasnya.

Gus Baha mencontohkan saat bulan Ramadhan, orang muslim pasti berkeinginan untuk beribadah tarawih secara penuh. Namun karena terkendala pekerjaannya, hal itu tak bisa dilakukan. 

Ada yang bekerja sebagai satpam harus menjaga malam, jadi tidak bisa tarawih. Ada yang berdagang bakso, kernet bis dan lain sebagainya, karena pekerjaannya jadi tidak mampu tarawih. 

Banyak umat Islam yang sebenarnya ingin beribadah dengan penuh, tapi ia tak mampu untuk melakukannya. 

Untuk itu, pesan penting bagi kita agar tak mudah memandang negatif atau bahkan mengkritik orang lain yang tak menjalankan ibadah sebagaimana idealnya. Sebab kita tak tahu betul apa alasannya berbuat demikian. 

Bisa jadi ia ingin melaksanakan amalan ibadah secara sempurna, tapi karena pekerjaan atau hal mendesak lainnya membuat ia tak bisa melakukannya.

Justru orang yang bekerja dan menghidupi keluarganya perlu diapresiasi dengan baik. Sebab mereka sedang menjalankan ibadah lain. Dan bahkan mereka termasuk golongan yang dicintai oleh Nabi Muhammad dan Allah SWT. 

Semoga Allah SWT senantiasa merahmati dan memberikan keberkahan kepada para pekerja.

SHARE ARTIKEL