Khawatir Siluman, Warga Jalani Ritual Kubur Buaya Raksasa, Kepala Dikafani
Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 07 Aug 2020
Buaya raksasa yang mati dibawa buldoser - Image from kompas.com
Beredar pula kepercayaan tentang kerajaan buaya
Dipercaya ada beberapa buaya penunggu dalam sungai di desa tersebut. Sejarawan dan budayawan mengisahkan cerita kerajaan buaya yang memang menjadi kepercayaan masyarakat setempat dan ritual penguburan buaya.
Buaya sepanjang lebih dari 4,5 meter ditangkap warga di Desa Kayu Besi, Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.
Buaya yang sudah dalam kondisi mati itu kemudian dikuburkan dengan sebuah ritual khusus. Kepala dan bagian badan buaya tersebut dipotong, lalu kedua bagian tubuh buaya dikuburkan secara terpisah.
Masyarakat setempat memiliki sebuah kepercayaan bahwa hewan predator tersebut adalah titisan siluman, sehingga tidak bisa dikuburkan di tempat yang sama.
Sekretaris Desa Kayu Besi Junaidi mengatakan, buaya tersebut dipotong, kemudian dibungkus kain kafan dan dikuburkan pada lokasi yang terpisah. Cara demikian dilakukan karena masyarakat khawatir buaya yang dipercayai sebagai siluman itu bisa kembali hidup.
"Ada pawang yang mengiringi penguburan dengan ritual, karena buaya itu telah mengganggu manusia. Jadi dianggap sudah menyalahi kodratnya," kata Junaidi saat dihubungi, Kamis (6/8/2020).
Diduga Mati karena Kelelahan
Adapun buaya tersebut diduga mati karena faktor kelelahan setelah ditangkap warga menggunakan umpan monyet pada Senin lalu. Seorang warga bernama Tarmizi membenarkan adanya ritual penguburan buaya di kalangan masyarakat desa.
"Masyarakat meyakini ada kerajaan buaya. Dengan manusia ada perjanjian tidak boleh saling mengganggu," ujar Tarmizi.
Ritual penguburan buaya yang diperkirakan telah berumur 50 tahun itu menarik perhatian warga sekitar dan juga warganet.
Sebelumnya, informasi mengenai keberadaan buaya raksasa itu menjadi viral di media sosial. Sebuah video yang beredar memperlihatkan saat bangkai buaya tersebut dibawa menggunakan buldoser melalui jalan raya besar.
Kepercayaan Masyarakat Setempat
Sejarawan sekaligus budayawan Pangkalpinang Akhmad Elvian menjelaskan, berdasarkan kepercayaan masyarakat setempat, gangguan yang terjadi atas kemunculan buaya biasanya disebabkan karena ada kesalahan manusia.
Mantan Kepala Dinas Pariwisata ini menuturkan, apabila gangguan sudah menyangkut kepentingan seluruh warga kampung yang memanfaatkan sungai, maka perlu diadakan upacara taber sungai.
Selain itu, ada kepercayaan bahwa pada tiap-tiap lubuk atau bagian sungai yang lebar dan dalam biasanya dihuni oleh seekor buaya besar yang dikenal dengan sebutan puaka.
Apabila buaya-buaya puaka berpindah ke salah satu lubuk, maka buaya itu harus bertarung melawan puaka yang telah meninggali lubuk sebelumnya.
Menurut Elvian, apabila menang, buaya tersebut menelan satu butir batu sungai. Kemudian, apabila menang dalam bertarung pada tujuh lubuk, maka dalam perutnya akan ditemukan tujuh butir batu sungai tersebut.
"Buaya-buaya yang kalah bertarung inilah yang biasanya membuat onar terhadap manusia yang kehalen (berbuat kesalahan dengan melanggar pantang larang)," kata dia.
Menurut Elvian, untuk menangkal gangguan buaya, perlu dilakukan ritual atau upacara yang dilakukan masyarakat setempat.