Indonesia Naik Level Jadi Negara Maju, Apa Sudah Layak? 

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 25 Feb 2020

Indonesia Naik Level Jadi Negara Maju, Apa Sudah Layak? 

Gambar Indonesia - Image from www.jamilazzaini.com

Indonesia tidak lagi menyandang sebutan Negara Berflower!

Kini, netizen tidak lagi bisa berkomentar "ada-ada saja kelakuan rakyat negara berflower" atau "beginilah kehidupan negara berflower".

Banyak yang menanggapi status Indonesia yang baru ini dengan berbagai pertanyaan, 'harus senang atau sedih ya?'. Sepintas predikat negara maju memang nampak keren dan bisa menjadi kebanggaan bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun apakah predikat tersebut sudah layak diperoleh Indonesia? Berikut ulasan selengkapnya. 

Trump Kesal Banyak Negara Mengaku Negara Berkembang

Indonesia disebut tak lagi bisa masuk daftar negara berkembang, bukan dari keputusan Bank Dunia, melainkan keputusan Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR).

Keputusan itu sejalan dengan keluhan Presiden Donald Trump yang sering kesal karena banyak negara mengaku masih berkembang, sehingga dapat untung dari aturan dagang AS. Misal, terkait aturan minimum subsidi produk ekspor.

Tak hanya Indonesia, negeri jiran Malaysia, Thailand, India dan Vietnam juga dikeluarkan dari daftar negara berkembang. Dan ternyata, negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan China turut menyandang status itu.

Baca juga : 

Berikut adalah alasan mengapa Indonesia disebut sebagai negara berkembang oleh Amerika Serikat melalui aturan baru dari USTR. 

  1. Pendapatan nasional per kapita di atas USD 12 ribu 
  2. Share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5%
  3. Pertimbangan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional 

Sebenarnya Indonesia belum masuk kategori pertama, sebab pendapatan nasional per kapita baru mencapai SD 3.027 per 2018. Namun, Indonesia masuk pada kategori kedua dan ketiga.

Menurut data The Global Economy, share ekspor Indonesia tercatat sudah mencapai 0,91 persen per 2017. Selain itu, Indonesia merupakan anggota G20.

"Perwakilan Dagang AS mempertimbangkan bahwa negara dengan share 0,5 persen atau lebih di dalam perdagangan dunia merupakan negara maju," jelas USTR. "Keanggotaan G20 mengindikasikan bahwa sebuah negara itu maju," lanjut USTR.

Dua faktor itu pun menyebabkan Indonesia dan sejumlah negara lain tak berhak lagi mendapat perlakuan khusus. Hal ini bertentangan dengan standar klasifikasi negara dilihat dari sudut pandang ekonomi yang dilaporkan oleh bank dunia. 

Standar Negara Maju dari Bank Dunia 

Ada 4 kategori negara yang dipakai, yakni negara miskin, negara ekonomi menengah ke bawah, negara ekonomi menengah ke atas, dan negara maju atau high income. Standar penilaian yang dipakai adalah Gross National Income (GNP) per capita.

Menurut Ekonom Senior Faisal Basri, GNP merupakan total Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP) dalam satu tahun yang mengeluarkan pendapatan warga asing dari perhitungan. 

Sebuah negara bisa dikatakan sebagai negara maju atau negara berpendapatan tinggi (high income country), dia harus memiliki GNP per capita di atas USD 12.055. Sedangkan negara kategori ekonomi menengah ke bawah (lower-middle income) memiliki GNP per capita USD 996-3.895 dan negara kategori ekonomi menengah ke atas (upper-middle income) memiliki GNP per capita USD 3.896-12.055. 

Merujuk data tahun 2018 dari Bank Dunia, GNP per capita Indonesia sebesar USD 3.840. Bila merujuk data tersebut, Indonesia masih berada dalam kelompok negara ekonomi menengah ke bawah atau lower-middle income. 

Artinya, Indonesia harus melewati fase negara ekonomi menengah ke atas untuk bisa menjadi negara maju dengan GNP per capita di atas USD 12.055. Hal itu membuktikan bahwa Indonesia masih belum layak disebut sebagai negara maju. 

Kerugian Predikat Negara Maju 

Ternyata menjadi negara maju tidak sebagus kedengarannya, sebab kebijakan AS ini justru membawa banyak kerugian. Setidaknya ada tiga kerugian yang dialami Indonesia karena menjadi negara maju menurut ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira.

1. Kehilangan daya saing produk
Pertama, dengan menjadi negara berkembang, selama ini Indonesia menikmati fasilitas generalized system of preferences (GSP). Yakni fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan AS. Dengan tidak adanya 'potongan' bea masuk tersebut, produk Indonesia dipastikan akan sulit bersaing di pasar internasional.

"Kalau Indonesia tidak masuk GSP lagi kita akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk," kata Bhima saat dikonfirmasi wartawan, Sabtu (22/2).

2. Ekspor ke AS akan turun
Bhima mengkhawatirkan ekspor produk Indonesia, khususnya tekstil ke AS akan turun karena kebijakan ini.
"Ada total 3.572 produk indonesia yang dapat GSP. Cuma share ekspor tekstil apparel Indonesia ke AS lumayan besar," ucapnya.

3. Meningkatkan defisit neraca perdagangan
Ketiga, dengan turunnya ekspor akan berpengaruh pada melebarnya defisit neraca perdagangan setelah sebelumnya pada Januari 2020 defisit mencapai US$864 juta.

"Tercatat dari Januari-November 2019 ada US$2,5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP," kata Bhima.

Alih-alih untung, Indonesia justru merugi karena predikat negara maju. Sebab pada kenyataannya, kondisi Indonesia secara keseluruhan belum memenuhi standar negara maju. 

Selain itu banyak kerugian ekonomi yang didapatkan. Namun terlepas dari itu semoga predikat negara maju ini menjadi penyemangat bagi  Indonesia, baik di kalangan pemerintah, pengusaha, maupun segenap rakyat Indonesia untuk berbenah dan berjuang untuk kemajuan Indonesia.

    SHARE ARTIKEL