Anak Yang Banyak Tanya Pasti Dianggap Cerewet? Belum Tentu, Berikut Penjelasannya

Penulis Cang Karna | Ditayangkan 16 Mar 2017

Anak Yang Banyak Tanya Pasti Dianggap Cerewet? Belum Tentu, Berikut Penjelasannya

Anak yang banyak tanya pasti dianggap cerewet. Kadang mereka membuat orangtua tak sabar dan tak senang. Padahal mereka sedang menjalani proses berpikir kritis yang bisa menjadi bekal untuk mereka menjalani kehidupan di masa depan.


Ada saja pertanyaan yang dilontarkan si kecil semisal, “Kenapa siang ada matahari dan malam ada bulan?” Atau di saat lain dia bertanya, “Kenapa mobil tidak bisa terbang, tapi pesawat bisa?”

Dari hal sederhana sampai yang aneh memang kerap ditanyakan si kecil. Ini menunjukkan daya nalarnya sedang berkembang. Bila terus diasah, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang kritis.

 Perkembangan Daya Kritis Anak

Sejak dilahirkan, anak sudah mulai menjalani proses berpikirnya. Stimulasi-stimulasi yang diberikan seperti warna dan suara untuk merangsang respons juga salah satu upaya melatih kemampuan berpikirnya. “Kalau proses berpikir kritisnya sendiri baru dimulai ketika ia bisa bicara dan menanyakan sesuatu,” kata Eri Vidiyanto, M.Psi, psikolog pada Essa Consulting, Jakarta.

BACA JUGA : Hindarilah Pertengkaran Di Depan Anak, Atau Akibatnya Sangat Fatal

Pertanyaan yang dilontarkan anak sesuai tahapan akan dimulai dari yang ringan dan sifatnya fakta-fakta konkret, seperti apa, siapa, di mana. Seiring bertambahnya usia dan si kecil mulai memahami apa yang ada di sekelilingnya, maka pertanyaan yang diajukannya adalah hal yang perlu penjelasan dan membutuhkan nalar, seperti kenapa. Hal-hal yang bersifat abstrak pun, seperti soal nilai dan moral, secara bertahap mulai jadi bahan pertanyaannya.

Perkembangan berpikir kritis pada anak ini, sayangnya sering tak dimanfaatkan dengan baik. Tak banyak orangtua yang sabar menanggapi semua pertanyaan anak. Selain malas menjawab atau memang tak tahu jawabannya, sebagian orangtua malah memarahi anak yang banyak tanya ini.

“Ini sebenarnya menghambat proses berpikir kritis anak. Kalau orangtua tidak tahu jawabannya lebih baik mengaku saja, lalu cari tahu jawabannya bersama-sama,” jelas Eri yang menyelesaikan program profesi Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia ini.

Ayah satu anak ini melanjutkan, penjelasan yang dituntut anak sebenarnya tak perlu ribet dan detil. “Yang penting cukup dijawab sesuai umur dan kebutuhannya. Jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami anak,” katanya. Tentu saja untuk menjawab pertanyaan mereka orangtua memang perlu terus belajar dan memperluas wawasan.

Selalu ada kemungkinan anak menanyakan hal-hal yang dianggap tabu, misalnya seks, kehamilan dan sejenisnya. Nah, biasanya orangtua langsung memotong pertanyaan itu dan menganggapnya jorok. Lagi-lagi, ini akan menghambat proses berpikir kritis anak.

Sebenarnya anak tak punya tendensi apa-apa saat bertanya seputar hal tersebut. Mereka hanya ingin tahu. Beri jawaban sederhana saja, tak usah detil yang malah membuat pusing anak, itu yang sebaiknya orangtua lakukan.

Kritis itu Cerewet?

Anak yang banyak tanya, memang kadang membuat orang-orang di sekitarnya pusing. Tak jarang ia dianggap bawel dan cerewet. “Sebenarnya ini bukan cerewet, tapi mereka sedang berusaha mencari tahu dan memang harus direspons dengan positif,” ujar Eri.

Rasa ingin tahu yang bisa berkembang menjadi pemikiran kritis ini sesungguhnya semakin diperlukan anak terutama untuk menghadapi kemajuan teknologi dan informasi yang terus berkembang.

Nilai-nilai baru, termasuk di dalamnya gaya hidup, yang terus tumbuh dan mendunia pun perlu direspons anak secara kritis. Kelak mereka tak asal ikut-ikutan saja karena selalu ada proses berpikir kritis dalam diri mereka, apakah ini boleh dan baik untuk dilakukan atau sebaliknya.

Begitu juga dalam proses pemecahan masalah. Kemampuannya berpikir kritis membuat anak menyimpan banyak informasi. Ini menjadi dasar untuk memecahkan masalah yang ia hadapi. Tak hanya satu, bahkan ia bisa membuat banyak pilihan solusi dalam memecahkan satu masalah yang dihadapinya. Jelas, ia akan selalu bisa bersikap optimis dan tak pantang menyerah.

Lalu apa yang harus dilakukan orangtua untuk membentuk anak mampu berpikir kritis? Pertama, ciptakan suasana dialogis dalam keluarga. Anak bisa mengungkapkan pertanyaan, isi hati, dan pendapatnya dalam keluarga, lalu didengar dan ditanggapi dengan baik. Mereka bisa berdiskusi apa saja dengan orangtua atau anggota keluarga lainnya.

Pemilihan jenis mainan, menurut Eri, juga bisa berpengaruh kepada proses berpikir kritis anak. Kemampuan berpikir kritis anak tidak akan terlalu berkembang bila, misalnya, hanya diberikan mainan instan, langsung bisa dipakai, seperti play station. Pola mainannya sudah jelas dan anak hanya menerima dan memainkan saja, tidak ada rangsangan untuk berpikir kritis.

Sebaiknya berikan permainan seperti lego atau puzzle yang merangsangnya untuk berpikir dan bekerja. Atau ajarkan anak membuat mainannya sendiri dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar rumah, seperti mainan dari kulit jeruk bali. Anak akan berpikir dan terlatih kreativitasnya. Memang butuh kesabaran dan waktu dari orangtua, namun hasilnya nanti akan sepadan.
SHARE ARTIKEL