Sambut Bulan Suci: Antara Ramadhan Syariat Versus Tradisi
Penulis Penulis | Ditayangkan 30 May 2016
Bagi bangsa Indonesia, Ramadhan bukan hanya urusan agama atau syariah, tetapi sudah berubah wujud menjadi urusan tradisi yang sulit dipisahkan dari lifestyle dan mentalitas bangsa.
Tradisi bulan Ramadhan ini sudah sangat melekat sedemikian rupa, sehingga menjadi indikasi betapa lekatnya agama Islam ini terhadap pola hidup dan gaya kehidupan bangsa Indonesia. Keliru besar kalau dikatakan bahwa agama Islam hanya sekedar pendatang baru di nusantara ini. Pengaruh agama Islam boleh dibilang sangat lekat dan tidak pernah bisa digantikan oleh nilai mana pun.
Baca Juga : Wow! Bikin Iri Banyak Wanita dan Banyak Pria Kepincut, Tamara Niesha Ternyata Bukan Wanita
Namun di balik kemeriahan dan gegap gempita tradisi Ramadhan dari bangsa ini, kadang timbul juga kritik yang menelaah sejauhmana tradisi ini masih kuat berpijak pada syariat Islam yang asli sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah.
Di dalam bulan Ramadhan banyak sekali tradisi yang berkembang di tengah masyarakat yang masih asli merupakan perintah langsung syariat Islam secara khusus untuk dikerjakan di bulan Ramadhan. Di antara tradisi itu ada yang hukumnya wajib, seperti melakukan ibadah puasa itu sendiri. Dan ada yang hukumnya sunnah, seperti makan sahur, mempercepat berbuka (ifthar), memberi makan orang yang berbuka, dan juga shalat tarawih.
Tradisi Dan Syariat

1. Sahur
Tradisi makan sahur dan berbuka puasa adalah tradisi yang punya landasan syar’i yang kuat. Para ulama sepakat bahwa disunnahkan bagi mereka yang berniat untuk berpuasa keesokan harinya, agar malam sebelumnya dia bangun untuk makan sahur.
a. Dasar Pensyariatan
Adapun dasar rujukan syar'i tentang disyariatkannya makan sahur sebelum berpuasa adalah beberapa hadits Rasulullah SAW berikut ini :
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فيِ السَّحُورِ بَرَكَة
Dari Anas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Makan sahurlah, karena sahur itu barakah”. (HR Bukhari dan Muslim) .
Tradisi Yang Perlu Diluruskan
Semangat untuk bangun malam untuk makan sahur sebenarnya merupakan tradisi yang baik, karena didasarkan pada dalil-dalil syar'i yang valid, Namun kadang muncul tradisi bawaan yang sifatnya lokal. Misalnya kebiasaan pada sementara kalangan untuk berkeliling membangunkan orang sahur dengan membawa berbagai macam bunyi-bunyian. Barangkali niatnya mulia, yaitu membangunkan orang agar tidak kesiangan makan sahur.
Akan tetapi kalau kurang hati-hati dalam pelaksanaannya, adakalanya tradisi itu bisa berubah menjadi makruh bahkan sampai ke titik haram. Misalnya ketika tradisi itu dilakukan dengan cara yang kurang tepat. Salah satunya dengan cara berteriak-teriak dengan memukul-mukul benda bersuarakeras dan arak-arakan keliling kampung bukan pada jam sahur, misalnya masih jam 02.00 malam.
Sebab boleh jadi pada jam itu orang masih istirahat tidur atau malah sedang melakukan shalat tahajjud. Kalau diganggu dengan suara-suara seperti itu, maka niat baik membangunkan orang makan sahur berubah menjadi kegiatan mengganggu orang tidur dan orang yang sedang ibadah.
Baca Juga : HEBOH! Anak Gauli Ibu Kandung, Bayinya Dibuang di Pantai, JANGAN DITIRU !

2. Berbuka Puasa
Para ulama sepakat bahwa berbuka puasa disyariatkan ketika matahari terbenam, yang menandakan datangnya waktu Maghrib. Dan di sebagian masyarakat Indonesia, tradisi berbuka puasa menjadi bentuk tradisi tersendiri yang berbeda-beda gayanya di setiap daerah.
Namun secara umum, berbuka puasa adalah ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam.
a. Dasar Masyru'iyah
Berbuka puasa tentu jelas-jelas memiliki landasan syariah, antara lain berdasarkan hadits berikut ini :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ
Dari Sahl bin Saad bahwa Nabi SAW bersabda, ”Umatku masih dalam kebaikan selama mendahulukan berbuka.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Tradisi Yang Kurang Tepat
Namun kadang apa yang asalnya bersumber dari syariat Islam bisa saja berubah menjadi bertentangan dengan syariat. Misalnya ketika bercampur dengan tradisi yang sesungguhnya malah bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat.
Contoh yang mudah adalah berbuka dengan memakan apa saja dalam jumlah sebanyak-banyaknya, sehingga perut terisi penuh sesak sampai tidak bisa bernafas. Dan menghidangkan makanan yang terlalu banyak sehingga sampai jatuh pada sikap tabdzir dan israf, juga tidak dianjurkan dalam berbuka.
Allah SWT tidak suka kepada orang-orang yang bersikap tabdzir, sebagaimana firman-Nya :
وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُواْ إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا
Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS. Al-Isra' : 26-27)
Alasan lainnya, karena esensi puasa itu adalah menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Jangan sampai begitu waktu puasa habis, orang kemudian langsung saja mengumbar hawa nafsunya seenaknya.
Baca Juga : Survey 67% Pendamping Wisuda belum tentu jadi Pendamping Hidup

3. Memperbanyak Sedekah
Memperbanyak shadaqah sangat disunnahkan saat kita sedang berpuasa, termasuk diantaranya adalah memberi keluasan belanja pada keluarga, berbuat ihsan kepada famili dan kerabat serta memperbanyak shadaqah.
Adalah Rasulullah SAW orang yang paling bagus dalam kebajikan. Dan menjadi lebih baik lagi saat bulan Ramadhan ketika Jibril as. mendatanginya.
أَنَّهُ r كَانَ أَجْوَدُ النَّاسِ بِالخَيْرِ وَكاَنَ أَجْوَدُ مَا يَكُوْنُ فيِ رَمَضَانَ حِيْنَ يَلْقَاهُ جِبْرِيل
Rasulullah SAW itu orang yang sangat murah dengan sumbangan. Namun saat beliau paling bermurah adalah di bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. (HR. Bukhari dan Muslim)
Tradisi Yang Kurang Tepat
Serbuan Pengemis dan Gelandangan
Namun yang perlu diluruskan dari tradisi ini adalah munculnya mafia pengemis yang memang dikoordinir oleh pihak-pihak tertentu, dengan memanfaatkan keawaman banyak orang, padahal mereka bukan orang-orang yang berhak menerima sedekah.
Mafia-mafia ini bekerja dengan cara yang lihai sekali. Mereka sengaja mendatangkan banyak orang dari berbagai pelosok menyerbu jalan-jalan di berbagai kota, berkeliaran menadahkan tangan kesana kemari, khususnya kepada masyarakat yang naik kendaraan bermotor.
Mereka sengaja didandani layaknya kaum dhu’afa’. Dengan pakaian yang compang-camping, wajah dekil, dan tidak jarang menipu dengan membungkus bagian tubuh tertentu agar dianggap sebagai penyakit atau luka palsu yang diperban.
Tradisi yang awalnya baik ini kemudian menjadi tercoreng karena tindakan keliru para mafia yang tidak bertanggung-jawab.