Mulai Terungkap, Para Mentor di Balik Pelaku Bom Bunuh Diri di Surabaya

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 23 May 2018
Mulai Terungkap, Para Mentor di Balik Pelaku Bom Bunuh Diri di Surabaya
pelaku bom bunuh diri via tribunnews

Ternyata ideologi Dita (pelaku bom bunuh diri di 3 gereja Surabaya) tidak tumbuh begitu saja. Latar belakangnya begitu panjang dan ada pengaruh besar dari mentornya

Mereka meyakini negara itu tidak benar.

Dita Oeprianto, pelaku teror yang mengajak istri dan empat anaknya melakukan bom bunuh diri, masih menjadi pembicaraan hangat hingga kini.

Ahmad Faiz Zainuddin, seorang teman dekat Dita, mengaku tak terkejut pada aksi pengeboman tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) lalu.

"Saya menyesal, saya sedih atas kejadian ini, tapi saya enggak kaget. Benihnya ini (radikalisme) sudah dipupuk sangat lama, sekarang kita panen raya saja," kata Faiz saat ditemui di Surabaya, Selasa (22/5/2018).

Pria yang dikenal sebagai trainer cukup terkenal ini mengakui setelah status Facebooknya jadi viral, ia mendapat banyak komentar jelek.

Namun Faiz tak gentar. Ia mendapat dukungan dari orang orang yang sempat jadi mentor Dita saat SMA.

Orang-orang itu saat ini sudah bertobat.

Mulai bisa dikuak siapa para mentornya

"Kok saya berani cerita banyak? Karena saya berteman dekat dengan beberapa orang yang berada di lingkaran pertama Dita, mentor ideologisnya," kata Faiz.

Dita mengebom Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, di Jl Arjuna, menggunakan bom mobil.

Istri dan dua anak perempuan Dita beraksi di Gereja Kristen Indonesia (GKI), Jl Diponegoro Surabaya.

Sedangkan dua anak laki-laki Dita melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak bercela, Jl Ngagel Madya, Surabaya.

Faiz tidak heran teman dekat dan teman sekelas Dita membanjiri kolom komentar status Facebooknya..

Baca Juga: Type Orang Seperti Ini yang Jadi Incaran Teroris untuk Direkrut Menjadi Pelaku Teror

Sebenarnya Dita sosok yang baik

Mereka bilang Dita itu baik, suka bersedekah, figur ayah yang baik, setia kawan, dan masih banyak kebaikan lainnya.

Faiz tidak membantah apa yang teman teman Dita sampaikan.

"Yang perlu orang orang sadari, kenal Dita atau orang orang seperti ini, kenalnya sejauh mana? Tetangganya saja tidak tahu. Ibunya juga enggak tahu, begitu pula teman teman di pengajian. Siapa yang tahu? Ya yang mengkader Dita, mentornya," ungkap Faiz.

Menurutnya, orang orang seperti Dita tidak akan berbagi (sharing) kepada semua orang.

"Saya tahu dia dari orang-orang yang pernah jadi mentor Dita saat itu. Saya berteman baik dengan para mentor itu, bahkan sampai mereka bertobat sekarang," tambah Faiz.

Pria berusia sekira 40 tahun itu mengaku mulai mengenal ideologi keras saat di bangku SMA.

Faiz mengungkapkan saat SMA itu ideologinya masih pada tahap meyakini negara tidak benar, aturan yang dipakai bukan Islam.

Saat itu, ideologinya hanya diyakini dalam hati saja, tidak memakai kekerasan.

"Nah Dita sudah punya benih saat di SMA, kemudian dia berevolusi ke organisasi yang lebih ekstrem, menghalalkan darah orang lain. Menjadi teroris itu tidak ujug-ujug (mendadak), ada prosesnya," lanjut Faiz.

Proses evolusi

Seorang teroris juga tidak bisa dikenali dari latar belakang pelaku.

Keluarga Dita berasal dari keluarga baik, dia tidak sedang stres, berprestasi, pintar kimia.

Dia juga dari keluarga kaya dan suka bersedekah.

Menurut Faiz, Dita adalah orang baik, cuma terkena ideologi yang salah.

"Mereka ada di tengah-tengah kita, tidak mudah untuk dikenali," katanya.

Ia mengakui ada beberapa kasus seseorang bisa berubah menjadi teroris dalam waktu satu hari saja.

Pada proses evolusi tersebut, Faiz melanjutkan ada empat stadium seseorang bisa berubah menjadi teroris.

"Stadium empat sekarang jumlahnya masih kecil, tapi kalau stadium satu sudah banyak," ujar Faiz.

Stadium satu, terang Faiz dimulai dari seseorang mempercayai hanya golongannya saja yang benar.

Stadium dua, mulai menganggap sistem negara tidak benar.

Saat itu keyakinan ini hanya ada di dalam hati saja, tidak pakai kekerasan.

Stadium tiga, mulai mengumpat atau menggunakan kekerasan verbal untuk mengungkapkan ketidaksukaanya.

Terkahir stadium empat, mereka mulai menggunakan kekerasan fisik.

Proses evolusi itu lanjut Faiz terjadi tanpa mereka sadari.

Mulai Terungkap, Para Mentor di Balik Pelaku Bom Bunuh Diri di Surabaya
Ilustrasi via note santri

"Tapi ada juga yang sehari. Ali Imron pernah diwawancara oleh Wahid Foundation. Ia mengatakan beri saya anak yang ghiroh keagamaannya sedang tinggi-tingginya, dalam waktu 24 jam dia bisa jadi pengantin (pengebom bunuh diri)," terang Faiz.
SHARE ARTIKEL