Sunat Perempuan Yang Berbahaya Tapi Umum Dilakukan Di Indonesia

Penulis Penulis | Ditayangkan 15 Nov 2017
Sunat Perempuan Yang Berbahaya Tapi Umum Dilakukan Di Indonesia

PRAKTIK INI NYATANYA BANYAK MERUGIKAN WANITA NAMUN MASIH SAJA ADA KEPERCAYAAN UNTUK MELAKUKANNYA.

Di Indonesia, orang-orang menganggap sunat sebagai tindakan wajib dari agama dan bagian dari tradisi. Mayoritas Muslim di Indonesia menganut mazhab Syafii yang mewajibkan sunat bagi anak laki-laki dan perempuan.

Perlukaan alat kelamin perempuan (female genital cutting), suatu tradisi kuno memotong, menggores, menusuk, atau melukai alat kelamin gadis-gadis muda, diyakini dipraktikkan terutama di sub Sahara Afrika dan Timur Tengah. Namun, laporan terbaru dari United National Children Fund menunjukkan bahwa ternyata perlukaan serupa, walau bukan mutilasi, banyak terjadi di Indonesia.

Sekitar 60 juta perempuan atau separuh dari total perempuan di Indonesia, negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar di dunia, diperkirakan telah menjalani perlukaan alat genitalnya (sunat perempuan) semasa bayi.

Di Indonesia, praktik yang dikenal sebagai khitan atau sunat perempuan telah lama dipraktikkan di masyarakat oleh “penyunat” tradisional. Dalam 10-15 tahun terakhir, praktik ini juga dilakukan oleh para petugas kesehatan (nakes), atau istilahnya “medikalisasi”, sehingga hal yang tadinya ritual simbolik malah jadi melembaga sebagai praktik medis melukai alat kelamin bayi perempuan.

Banyak klinik bersalin kini menawarkan prosedur sunat bayi perempuan sebagai bagian dari paket pelayanan kelahiran, dilakukan segera setelah persalinan, tanpa biaya tambahan.

Mengapa sunat perempuan begitu umum di Indonesia

Di Indonesia, orang-orang menganggap sunat sebagai tindakan wajib dari agama dan bagian dari tradisi. Mayoritas Muslim di Indonesia menganut mazhab Syafii yang mewajibkan sunat bagi anak laki-laki dan perempuan.

Pada 2006 pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan mencoba melarang praktik medikalisasi sunat perempuan. Namun para ulama bereaksi dengan mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa sunat perempuan merupakan bagian dari praktik keagamaan. Pada 2010, Kementerian Kesehatan Indonesia mengeluarkan peraturan yang mengizinkan petugas medis melakukan perlukaan di genital bayi perempuan.

Argumen yang mendukung medikalisasi sunat perempuan adalah bahwa lebih baik petugas medis terlatih yang melakukan prosedur itu daripada mengambil risiko infeksi parah jika dilakukan oleh penyunat tradisional. Namun, medikalisasi oleh petugas kesehatan malah justru berbahaya karena bidan atau dokter cenderung menggunakan gunting dan benar-benar melukai kulit sekitar alat genital bayi perempuan secara nyata. Sementara, penyunat tradisional hanya melakukan ritual simbolik menggores sepotong kunyit atau jengger ayam, dengan menggunakan pisau lipat, tidak berani memotong alat genital bayi.

Pada 2014, Kementerian Kesehatan mencabut peraturan (izin) tersebut. Namun, lembaga medis terus melaksanakan prosedur sunat perempuan tersebut. Perlukaan genital bayi perempuan sekarang lebih sering dilakukan oleh petugas medis daripada penyunat tradisional.

Dalam sebuah penelitian Population Council Indonesia pada 2001-2002 tentang penyunatan perempuan, dari 2.215 kasus yang dilaporkan, 68% dilakukan oleh dukun bayi dan penyunat tradisional. Sisanya 32% dilakukan oleh tenaga medis, kebanyakan bidan.

Lima belas tahun kemudian, proporsi di atas sudah terbalik. Lebih banyak sunat perempuan dilakukan oleh tenaga medis daripada penyunat tradisional. Data dari Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2013 menunjukkan petugas medis melakukan lebih dari separuh atau 53,2% dari sunat perempuan yang dilaporkan. Dari persentase tersebut, 50,9% dilakukan oleh bidan, 2,3% oleh petugas medis lainnya, dan selebihnya sekitar 46,8% oleh dukun bayi atau penyunat tradisional.

Ketahui penjelasan di balik fakta-fakta sunat perempuan seperti yang dipaparkan dr. Artha berikut ini seperti yang dikutip dari wartakota.tribunnews.com:

1. Tipe Sunat Perempuan

Sunat perempuan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terbagi atas empat tipe.

Tipe pertama, yaitu memotong seluruh bagian klitoris (bagian mirip penis pada tubuh pria).

Tipe kedua, sunat perempuan yang memotong sebagian klitoris.

Tipe ketiga, menjahit atau menyempitkan mulut vagina (infibulasi).

Tipe keempat, yaitu menindik, menggores jaringan sekitar lubang vagina, atau memasukkan sesuatu ke dalam vagina agar terjadi perdarahan dengan tujuan memperkencang atau mempersempit vagina.

2. "Menghilangkan" Klitoris Turunkan Rangsangan Seksual

Tidak mengubah bentuk klitoris dinilai dr Artha sangat penting karena letak klitoris yang dikelilingi oleh saraf menyebabkannya menjadi sangat peka secara seksual.

Dr. Artha menjelaskan, pemotongan klitoris sebaiknya tidak dilakukan karena klitoris memainkan peran penting dalam meningkatkan kenikmatan seksual perempuan.

“Selain itu, melalui klitoris, ekskresi kelenjar dapat terjadi di sekitar vagina," kata dr Artha.

"Menghilangkan klitoris akan menurunkan kepekaan perempuan terhadap rangsangan seksual.”

3. Klitoris Pengaruhi Lubrikasi Vagina

Semakin banyak lubrikasi pada vagina, perempuan akan semakin siap ketika penetrasi dilakukan.

Jika tidak ada klitoris, maka vagina akan kering dan penetrasi akan menyebabkan rasa sakit.

“Sehingga timbul ketakutan pada perempuan untuk melakukan hubungan badan berikutnya," kata dr Artha.

4. Sunat Perempuan Bisa Berisiko Kematian

Tingginya risiko kematian pada sunat perempuan membuat Pemerintah Indonesia secara tegas melarang sunat perempuan karena melanggar UU Kekerasan terhadap Perempuan.

Peraturan serupa juga diberlakukan parlemen Mesir yang mengesahkan UU tentang pelarangan khitan perempuan.

Bagi yang melanggar akan dikenai denda 185 dollar AS sampai 900 dollar AS dan kurungan penjara antara 3 bulan dan 2 tahun.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dengan jelas pada 1997 bahwa mutilasi alat kelamin perempuan tidak boleh dilembagakan, dan bentuk perlukaan alat genital tidak seharusnya dilakukan oleh profesional kesehatan mana pun dalam lingkungan atau tempat pelayanan kesehatan.

Dengan mengizinkan dokter, bidan, dan perawat untuk mempraktikan sunat perempuan, Kementerian Kesehatan telah salah melegitimasi praktik tersebut secara medis, sehingga terjadi pelembagaan praktik medikalisasi di Indonesia. Walau peraturannya sudah dicabut, perlu upaya menghentikan medikalisasi sunat perempuan.

Pemerintah harus melakukan kampanye yang menginformasikan kepada masyarakat bahwa khitan perempuan tidak diwajibkan berdasarkan hukum Islam. Pemerintah juga harus memperbarui kurikulum pelatihan kebidanan untuk menghapus medikalisasi sebagai bagian praktik pelayanan ibu dan bayi baru lahir di fasilitas kesehatan untuk melahirkan.
SHARE ARTIKEL