Karena Hidup Bukan Soal Kaya atau Miskin, Tapi Bersyukur dalam Kecukupan

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 07 Mar 2017

Karena Hidup Bukan Soal Kaya atau Miskin, Tapi Bersyukur dalam Kecukupan

Masih tak percaya kalau lawan kata kaya itu dicukupkan?

Firman Allah SWT:

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

“…… dan tidak satu pun makhluk bergerak di bumi melainkan dijamin Allah rezekinya” (Q.S Hud, ayat 6).

Jaminan rezeki dari Allah SWT pada mahkluk-Nya adalah jaminan yang pasti lagi benar untuk menunjukkan betapa Maha Kaya Allah yang memiliki segala sifat kebesaran-Nya.

Tetaplah bersyukur. Dan apakah kamu percaya? Atau sudah mempraktekkan? Dan yang terjadi, masalah demi maslaah dalam hidup terus menari di dapan mata. Seolah meledek kita yang tengah terengah-engah mengejar semua kebutuhan hidup. Apakah dengan bersyukur dan beriman kita tidak akan diuji?

Jika setelah itu kamu kembali ke dalam lubang kenistaan maka kamu salah. Kamu di uji karena sedang dinaikkan kelasnya.

Memang naif jika kita menafikan materi dalam hidup. Naif juga bila kita serta-merta membuatnya sebagai satu-satunya tujuan hidup. Karena bahagia adalah tentang rasa.

Percayalah, manusia tidak akan pernah punya segalanya.

Islam adalah agama yang membuat hambanya berserah diri secara utuh kepada Yang Maha Segalanya. Karena tidak satu alasan pun untuk bargaining dengan perintah maupun laranganNya. Itu adalah kesempurnaan sebuah agama. Menerima sepenuhnya. Menjalankan penuh kerelaan.

Tentu saja kamu pernah melihat atau mengenal orang yang nampak punya segalanya. Hdup bergelimang harta, karir cemerlang, keluarga bahagia, reputasi tanpa cela, ahli ibadah, berjiwa sosial, dan selalu menyayangi. Orang yang secara zahir membuat kita pantas iri dengannya. Tapi sekali lagi, percayalah, manusia punya keterbatasan untuk melihat. Kita hanya bisa menganalisa dari jauh. Lalu dengan pongah mengambil kesimpulan dan memercayai apa yang ingin kita percayai.

Titik terendah seorang manusia bukan saat ia tidak memiliki apapun di kantongnya. Tapi ketiadaan iman di relung hatinya.

Putus cinta, dikhianati, diabaikan, dan diperlakukan semena-mena seringkali membuat kita jatuh. Tersungkur meratapi betapa hina dan rendahnya kita dalam hidup ini. Kemudian diam-diam menyimpan dendam, menggubah kalimat-kalimat rutukan yang kita tahu tidak bisa mengubah apapun yang telah, akan, dan tengah terjadi.

Terlebih, manusia sangat membenci momen saat ia tidak miskin secara materi. Saat saldo rekening tak lagi sanggup menghidupi, saat segala macam kebutuhan terasa luar biasa mahal. Saat itu kita akan merasa menderita yang sebenarnya. Harus diakui, materi adalah sahabat karib manusia.

Namun, di atas semua itu. Perasaan kekurangan dan ketidakberdayaan yang sebenarnya bukan berasal dari ketiadaan materi. Saya tidak berusaha untuk berkata bijak di sini. Tapi memang, logikanya materi bersifat konkrit dan mudah habis. Sementara itu, kepemilikan iman di hati akan senantiasa kekal. Meneguhkan dan menyemangati hidup.

Saat ini, di luar sana. Ada ribuan orang yang rela mati untuk bisa hidup seperti kamu.

Karena Hidup Bukan Soal Kaya atau Miskin, Tapi Bersyukur dalam Kecukupan

Bagaimana cara menimbulkan perasaan bersyukur? Adalah dengan berhenti mengeluh. Dengan menempatkan diri secara tepat. Karena secara alami, manusia tidak akan pernah merasa lebih baik dari sesamanya. Untuk itu, saat banyak nikmat hidup telah direngkuh.

Alih-alih menyibukkan diri dengan selusin rencana pribadi yang duniawi. Coba luangkan waktu untuk mengatakan dalam hati. "Ada berapa banyak orang yang hidupnya tidak lebih beruntung dari saya?"

Baca Juga: Muslimah Ini Buat Semua Berlinang Air Mata, Saat ia Minta Mahar Kain Kafan

Sabar itu kata sifat. Bukan kata benda yanng terbatas kuantitas dan kualitasnya.

"Sabar itu ada batasnya. Habis sudah kesabaran saya."
"Kamu pikir, saya masih bisa sabar?"

Saya emmang belum mengecek apa makna sabar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tapi, jika boleh mengutarakan maknanya, buat saya, sabar adalah kata sifat. Dan setiap kata sifat itu tidak terikat ukuran. Artinya, tidak ada batasan yang ajeg untk menentukan seberapa besar atau kecil atau banyak atau sedikit jumlah dan/atau mutunya.

Kata sifat itu relatif. Punya parameter berbeda untuk setiap orang. Kita memang bisa mengambil suara terbanyak atau kebiasaan publik untuk memaknai kata sabar. Tapi tetap saja, sabar selalu terkait dengan kondisi dan situasi. Isu yang diangkat tidak pernah bisa digeneralisasi.

Oleh karenanya, sebagai makhluk yang senantiasa bergerak. Menghadapi jutaan kemungkinan. Rasanya sangat sombong jika secara pribadi kita membatasi rasa sabar untuk diri sendiri.
SHARE ARTIKEL