Sholat Berjamaah Tidak Sah Jika Makmumnya Seperti ini
Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 12 Oct 2018
Image from kiblat.net
JANGAN DISALAHPAHAMI
Sholat berjamaah memang lebih baik daripada sholat sendirian. Terbukti bahwa Allah memberikan pahala berlipat-lipat bagi yang berjamaah ke masjid
Tapi Anda harus tahu, jika saat sholat berjamaah makmum tidak lakukan ini.. Sholat bisa dihukumi tidak syah..
Shalat berjamaah merupakan salah satu syiar Islam. Ia dapat menjadi media pemersatu hati kaum Muslimin. Berkumpulnya kaum Muslimin di rumah Allah untuk menunaikan ibadah dipimpin oleh seorang imam, yang tentunya membutuhkan aturan secara lengkap dan jelas.
Semua itu diperlukan, karena sebagai kebutuhan, sehingga kaum Muslimin mengetahui aturan yang jelas saat berinteraksi dalam beribadah di tempat yang satu. Begitu juga saat melakukan shalat berjamaah, hendaklah setiap kaum Muslimin mengetahui tentang hal itu, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadap syariat.
SIAPA YANG LEBIH BERHAK MENJADI IMAM?
Jika di suatu masjid terdapat imam rawatibnya, maka yang lebih berhak menjadi imam adalah imam rawatib yang ditunjuk oleh penguasa atau pengurus masjid. Kalau tidak ada, maka yang didahulukan ialah orang yang lebih banyak memiliki hafalan al Qur’an dan lebih memahami hukum Islam.Apabila di kalangan para jamaah setara, maka didahulukan yang lebih pandai dan lebih mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila juga setara, maka didahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah. Apabila sama juga, maka didahulukan yang lebih tua usianya.
Ini semua berdasarkan pada beberapa hadits di bawah ini:
1). Hadits Abu Sa’id al Khudri :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَحَدُهُمْ وَأَحَقُّهُمْ بِالْإِمَامَةِ أَقْرَؤُهُمْ
2). Hadits Abu Mas’ud al Anshari, ia menyatakan :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ وَأَقْدَمُهُمْ قِرَاءَةً فَإِنْ كَانَتْ قِرَاءَتُهُمْ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَلْيَؤُمَّهُمْ أَكْبَرُهُمْ سِنًّا وَلَا تَؤُمَّنَّ الرَّجُلَ فِي أَهْلِهِ وَلَا فِي سُلْطَانِهِ وَلَا تَجْلِسْ عَلَى تَكْرِمَتِهِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَكَ أَوْ بِإِذْنِهِ
Namun demikian, hal ini tidak termasuk syarat sahnya shalat berjamaah, karena seseorang diperbolehkan menjadi imam bagi orang yang lebih berhak menjadi imam darinya, sebagaimana kisah Nabi.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di belakang Abu Bakar sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah, ia berkata :
لَمَّا مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَضَهُ الَّذِي مَاتَ فِيهِ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأُذِّنَ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ أَسِيفٌ إِذَا قَامَ فِي مَقَامِكَ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ وَأَعَادَ فَأَعَادُوا لَهُ فَأَعَادَ الثَّالِثَةَ فَقَالَ إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَخَرَجَ أَبُو بَكْرٍ فَصَلَّى فَوَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَخَرَجَ يُهَادَى بَيْنَ رَجُلَيْنِ كَأَنِّي أَنْظُرُ رِجْلَيْهِ تَخُطَّانِ مِنْ الْوَجَعِ فَأَرَادَ أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَتَأَخَّرَ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَكَانَكَ ثُمَّ أُتِيَ بِهِ حَتَّى جَلَسَ إِلَى جَنْبِهِ
Perintahkan Abu Bakar agar mengimami orang shalat,” lalu Abu Bakar berangkat dan mengimami shalat. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan sakitnya agak ringan, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan bersandar pada dua orang, seakan-akan aku melihat kakinya gontai (tidak mantap dalam melangkah) karena rasa sakit. Lalu Abu Bakar ingin mundur, maka beliau memberikan isyarat untuk tetap di tempatnya, kemudian mendatanginya dan duduk di sebelah Abu Bakar” [HR al Bukhari, kitab al Adzan, hadits 2641]
Hadits ini, secara jelas menunjukkan bolehnya seseorang mengimami orang yang lebih berhak menjadi imam darinya. Wallahu a’lam.
SIAPAKAH YANG SAH MENJADI IMAM
Seperti yang dikutip dari almanhaj.or.id, semua orang yang sah shalatnya, ia dapat menjadi imam atau sah menjadi imam dalam shalat. Namun ada orang-orang yang dianggap oleh sebagian orang tidak pantas menjadi imam, padahal mereka sah menjadi imam, di antaranya:1). Orang buta.
Orang buta memiliki kedudukan yang sama dengan orang yang melihat. Dia dapat dijadikan imam dalam shalat. Hal ini didasarkan pada hadits Mahmud bin ar Rabi’ :
أَنَّ عِتْبَانَ بْنَ مَالِكٍ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ وَهُوَ أَعْمَى
Dan pernyataan Aisyah :
اسْتُخْلِفَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ عَلَى الْمَدِيْنَةِ يُصَلِّيْ بِالنَّاسِ
2). Hamba sahaya atau yang telah dimerdekakan.
Keabsahannya didasarkan kepada pernyataan Ibnu Umar yang berbunyi:
لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
3). Anak kecil yang mumayyiz.
Hal ini didasarkan pada pernyataan Amru bin Salamah yang berbunyi:
فَلَمَّا كَانَتْ وَقْعَةُ أَهْلِ الْفَتْحِ بَادَرَ كُلُّ قَوْمٍ بِإِسْلَامِهِمْ وَبَدَرَ أَبِي وَ قَوْمِي بِإِسْلَامِهِمْ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ جِئْتُكُمْ وَاللَّهِ مِنْ عِنْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقًّا فَقَالَ صَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا وَصَلُّوا صَلَاةَ كَذَا فِي حِينِ كَذَا فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا فَنَظَرُوا فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ أَكْثَرَ قُرْآنًا مِنِّي لِمَا كُنْتُ أَتَلَقَّى مِنْ الرُّكْبَانِ فَقَدَّمُونِي بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَأَنَا ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعِ سِنِينَ
Apabila datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan, dan yang mengimami shalat kalian adalah yang paling banyak hafalan al Qur’annya.” Lalu mereka melihat, dan tidak mendapati seorangpun yang lebih banyak hafalannya dariku, karena aku sering menemui orang yang datang. Maka mereka menunjukku sebagai imam shalat, padahal usiaku baru enam atau tujuh tahun” [HR al Bukhari]
4). Orang fasiq yang tidak keluar dari Islam.
Hal ini didasarkan pada dalil naqli dan aqli. Diantaranya:
a. Keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Hal ini mencakup fasiq, dan yang lainnya.
b. Kekhususan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada pemimpin zhalim, yang shalat diluar waktunya:
صَلُّوا الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا وَاجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ مَعَهُمْ نَافِلَةً
c. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
d. Amalan para sahabat pada zaman al Hajaj bin Yusuf ats Tsaqafi, di antaranya Ibnu ‘Umar yang shalat di belakang al Hajjaj, sedangkan al Hajjaj adalah seorang fasiq.
e. Sedangkan dalil aqli, dikatakan, semua yang shalatnya sah, maka sah juga menjadi imam. Tidak ada dalil yang membedakan antara keabsahan shalat dengan keabsahan imam. Selama ia masih shalat bagaimana kita tidak shalat dibelakangnya, karena apabila ia bermaksiat, maka maksiatnya kembali kepadanya sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: “Orang fasiq dan mubtadi’, shalatnya sah. Apabila ma’mum shalat di belakangnya, maka shalatnya tidak batal. Namun dimakruhkan oleh orang yang memakruhkan shalat di belakangnya, karena amar makruf nahi mungkar wajib.
Oleh karena itu, orang yang menampakkan bid’ah atau kefajiran, ia tidak boleh menjadi imam rawatib bagi kaum Muslimin, karena ia pantas diberi pelajaran hingga bertaubat. Apabila memungkinkan, (boleh) memboikotnya hingga ia bertaubat, maka hal itu baik.
Apabila sebagian orang tertentu tidak shalat di belakangnya dan shalat di belakang orang lain memiliki pengaruh hingga ia bertaubat, atau dipecat, atau orang-orang berhenti melakukan dosa sepertinya, maka yang seperti ini baik, apabila meninggalkan shalat di belakangnya memiliki maslahat dan tidak kehilangan jamaah dan Jum’at.
Adapun bila tidak shalat di belakangnya menyebabkan ma’mum kehilangan Jum’at dan jamaah, maka disini tidak meninggalkan shalat di belakang mereka, kecuali mubtadi’ yang menyelisihi para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Demikianlah yang dirajihkan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ketika menyatakan, bahwa pendapat yang rajih adalah sah shalat di belakang orang fasiq. Sehingga, apabila seorang shalat di belakang imam yang mencukur jenggot atau merokok atau memakan riba atau pezina atau pencuri, maka shalatnya tetap sah.
5). Orang yang belum diketahui apakah fasiq ataukah tidak.
Dalam permasalahan ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Seseorang diperbolehkan melakukan shalat lima waktu dan Jum’at serta yang lainnya, di belakang orang yang belum diketahui kebid’ahan dan kefasikannya, menurut kesepakatan imam fiqih yang empat dan selain mereka dari imam-imam kaum Muslimin. Bukan menjadi syarat bagi seorang ma’mum harus mengetahui i’tikad (keyakinan) imamnya, dan tidak pula mengujian, hingga menanyakan ‘apa yang engkau yakini?’.”
Dengan demikian, apabila sah shalat di belakang orang fasiq, maka shalat di belakang orang yang belum jelas kefasikannya lebih pantas untuk disahkan.
6). Wanita menjadi imam untuk kaum wanita.
Hal ini dilakukan sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dan tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya.
Baca Juga :
- Menguak Fakta Palestina dan Israel Berdamai, Kiamat Akan Terjadi?
- InsyaAllah Mustajab! Ini Dzikir dan Doa Mohon Perlindungan yang Diajarkan Rasulullah Saw
- Akhi..., Boleh Ko' Nggak Shalat Berjamaah, Asal... Anda Termasuk Dua Golongan ini
SHOLAT BERJAMAAH TIDAK SAH JIKA MAKMUMMNYA SEPERTI INI
Mendahului dalam hal apapun menjadikan sholatnya tidak sah dalam berjamaah, mendahului dalam posisi, dalam melakukan rukun sholat, akan menjadikan sholatnya tidak sah.Sholat jamaah yang sesuai dengan nabi adalah posisi makmum sedikit ke belakang dibanding imam, agar ada kejelasan antara makmum dan imam, Jika hanya berdua, makmum seyogyanya berada disebelah kanan imam, namun jika tempat sholatnya tidak memungkinkan untuk disebelah kanan imam, tak harus begitu.
BAGAIMANA POSISI IMAM DAN MA’MUM BENAR?
Agar dapat melaksanakan shalat berjamaah sesuai dengan syariat Islam, seorang imam maupun ma’mum, tidak lepas dari keadaan berikut ini :1). Ma’mum sendirian bersama imam (dalam hal ini, imam dengan satu orang ma’mum).
Bila seseorang berma’mum sendirian, maka posisinya berdiri di samping kanan sejajar dengan imam. Dasarnya adalah, kisah Ibnu Abbas dalam shalat bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi :
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَقُمْتُ فَصَنَعْتُ مِثْلَ مَا صَنَعَ ثُمَّ ذَهَبْتُ فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رَأْسِي وَأَخَذَ بِأُذُنِي الْيُمْنَى يَفْتِلُهَا فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَوْتَرَ
2). Imam bersama dua orang ma’mum.
Apabila imam mendapatkan ma’mum hanya dua orang, maka hendaklah kedua ma’mum tersebut berdiri di belakang imam membentuk satu barisan. Hal ini didasarkan pada hadits Jabir yang panjang, yang sebagiannya berbunyi:
ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ
3). Imam bersama lebih dari dua orang ma’mum.
Apabila terdapat lebih dari dua orang ma’mum bersama imam, maka ma’mum berdiri di belakang imam dalam satu barisan, demikian menurut kesepakatan ulama.
4). Ma’mum mendapatkan shaf (barisan) shalat sudah penuh, sehingga ia tidak dapat masuk ke shaf.

Dalam keadaan demikian, maka ma’mum jangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan), akan tetapi berusaha maju ke depan hingga berdiri di samping imam, sebagaimana dilakukan Rasulullah -ketika beliau sakit- bersama Abu Bakar yang ditunjuk menggantikan mengimami shalat. Disebutkan dalam sebuah riwayat yang berbunyi:
فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِذَاءَ أَبِي بَكْرٍ إِلَى جَنْبِهِ فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’ (Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia), ketika menjawab pertanyaan seputar masalah ini menyatakan, apabila seseorang masuk masjid dan mendapatkan shalat telah ditegakkan, dan shaf telah penuh, maka hendaklah ia berusaha masuk dalam barisan.
Apabila tidak bisa, maka ia masuk berdiri bersama imam dan berada di sebelah kanannya. Apabila ini juga tidak bisa, maka hendaknya menunggu sampai datang orang yang menemaninya di shaf (baru). Jika tidak ada seorang yang menemaninya, maka ia shalat sendirian setelah selesai shalat berjamaah.
Penjelasan ini menunjukkan, ma’mum yang dalam keadaan demikian, ia tidak menarik salah seorang ma’mum lainnyanya sebagaimana banyak terjadi di kalangan kaum Muslimin dewasa ini.
Untuk itu Komite tetap untuk penelitian Islam dan fatwa Saudi Arabia berfatwa tentang hal ini: Seorang yang masuk masjid tidak mendapatkan celah dalam barisan (shof) dan tidak bisa baris disebelah kanan imam dan shalat hampir selesai, maka menunggu orang lain yang masuk untuk membuat shof (barisan) dengannya.
Apabila tidak mendapatkannya maka hendaknya shalat dengan jamaah lain. Jika juga tidak ada, maka shalat sendirian setelah imam salam, dan ia tidak berdosa, dengan dalil firman Allah :
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” [at Taghabun/64:16]
Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Hal ini karena shalat adalah ibadah, dan ibadah itu harus tauqifiyah. Padahal hadits larangan shalat sendirian di belakang shaf (barisan) shahih dan bersifat umum.
Hadits yang berbunyi:
أَلاَ دَخَلْتَ مَعَهُمْ أَوْ ادْتَرَرْتَ رَجُلاً
5). Wanita berma’mum dengan seorang imam laki-laki.

Seorang wanita bila berma’mum kepada seorang laki-laki, maka ia berdiri di belakang shaf laki-laki, walaupun ia sendirian. Demikian juga bila shalat sendirian bersama imam laki-laki, maka ia berdiri di belakangnya, dan tidak di sebelah kanannya. Semua ini berdasarkan hadits-hadits di bawah ini:
a. Hadits Anas yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
b. Hadits Anas yang berbunyi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِ وَبِأُمِّهِ أَوْ خَالَتِهِ قَالَ فَأَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ وَأَقَامَ الْمَرْأَةَ خَلْفَنَا
6). Wanita shalat dengan imam wanita.

Apabila seorang wanita shalat berjamaah mengimami sesamanya, maka ia berdiri di tengahnya dan tidak maju ke depan. Dicontohkan ‘Aisyah dan Ummu Salamah, dari Rabthah al Hanafiyah, ia berkata :
أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَ قَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِيْ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةِ
Juga Abu Hurairah mengatakan bahwa :
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ أَمَّتْهُنَّ فَكَانَتْ وَسَطًا
7). Shaf (barisan) anak kecil.

Anak kecil yang telah mumayyiz, ia tidak berbeda dengan orang yang sudah baligh, yaitu berdiri di belakang imam. Dengan dalil hadits Anas yang berbunyi:
صَلَّيْتُ أَنَا وَيَتِيمٌ فِي بَيْتِنَا خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأُمِّي أُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا
Lajnah ad Daimah lil Buhuts al Islamiyah al Ifta’, Saudi Arabia mengatakan: “Yang sesuai Sunnah untuk anak-anak, apabila ia telah mencapai usia tujuh tahun dan lebih, untuk berdiri di belakang imam sebagaimana orang-orang yang telah baligh.
Apabila yang ada hanya satu, maka ia berdiri di samping kanan imam, karena sudah jelas dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat di rumah Abu Thalhah, dan menjadikan Anas dan seorang anak yatim di belakangnya, sedangkan Ummu Sulaim di belakang keduanya. Juga telah ada dalam riwayat lainnya, bahwa beliau mengimami shalat Anas, dan menjadikannya di sebelah kanannya”.
Sedangkan Syaikh al Albani mengatakan: “Adapun menjadikan anak-anak di belakang mereka (barisan dewasa), maka dalam permasalahan ini, aku belum mendapatkan kecuali hadits ini[10], dan hadits ini lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Sehingga aku memandang bolehnya anak-anak berdiri bersama orang dewasa, apabila barisannya belum penuh; dan shalatnya anak yatim bersama Anas di belakang Rasulullah menjadi hujjah dalam permasalahan ini”.
Dengan demikian menjadi jelas kesamaan posisi anak-anak dan orang dewasa dalam shalat berjamaah bersama imam.
Demikianlah beberapa permasalahan seputar imam dan posisi imam dan ma’mum, mudah-mudahan hal ini bermanfaat bagi kita.