"Beras Bukan Kopi yang Bisa Dijual Sachetan", YLKI dan Pengamat Meminta Bulog Mengkaji Ulang

Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 10 Jul 2018

Gambar beras saset bulog dilansir dari sindonews.com

Polemik beras sachet...

Rencana Bulog menjual beras dalam bentuk sasetan mendapat tentangan dari YLKI dan pengamat pangan, ini kerugian yang akan dialami masyarakat menurut mereka.

Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) berencana membuat beras dalam kemasan kecil atau renceng berukuran 200-250 gram dengan harga yang dinilai ekonomis, yaitu Rp2.000 per saset. Direktur Utama Bulog, Budi Waseso menyebut, ide itu sebagai bentuk intervensi agar masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah dapat menjangkaunya.

“Gimana caranya sampai ke tingkat terbawah, maka saya bilang ke direksi kemas beras renceng 200 gram atau 250 gram untuk dapat dibeli oleh masyarakat dengan penghasilan paling rendah. Dengan uang Rp2.000 saja tetap bisa beli nasi. Kalau yang satuan kilogram, kan, paling enggak Rp9000-an,” kata pria yang akrab disapa Buwas ini, di kantor Bulog, Jakarta, Senin (14/5/2018).

“Kalau kita mau minum kopi, udah ada kopi saset. Mau makan nasi [cukup] Rp2.000 perak bisa langsung beli, sobek [bungkusnya], masak,” kata Buwas.

Selain itu, Buwas meyakini cara ini dapat menekan keberadaan mafia pangan.

Medapat kritikan dari Yayasan lembaga kosumen Indonesia (YLKI) dan pengamat pangan.

Menurut YLKI, harga beras saset cenderung tidak ekonomis.

Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menyatakan, karakter produk beras berbeda dengan kopi. “Maka, enggak bisa dilakukan dengan cara pengemasan saset. Perlu kajian detail,” kata Agus seperti dilansir dari tirto.co.id

Agus menyatakan, ide tersebut juga bisa menjadi kontraproduktif dengan misi keterjangkauan harga yang diniatkan Bulog. Sebab, kata Agus, jika dihitung secara kasar saja, maka harga beras saset ini tidak ekonomis dibandingkan beras kilogram.

Misalnya, Agus mencontohkan, harga beras saset dibanderol Rp2.000 untuk beras ukuran 200 gram, maka 1 kilogramnya diperlukan biaya Rp10.000. Sedangkan, harga beras 1 kilogram hanya Rp9.450.

“Perlu kajian ulang. Kalau Rp2.000 per 200 gram sama saja 1 kilogram Rp10 ribu. Masyarakat lebih memilih beli setengah kilogram atau satu kilogram sekaligus,” kata Agus mencontohkan.

Ia menambahkan “memberantas mafia beras juga perlu bersinergi dengan kementerian, seperti [Kementerian] Perdagangan dan [Kementerian] Pertanian dan pihak terkait lain.”

BACA JUGA: Tak Cuma SKM Produk ini Juga Lebih Berbahaya Buat Balita, YLKI Minta BPOM Tak Tebang Pilih

Hal senada juga diungkapkan pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori. 

Menurut Khudori, produk beras dengan kemasan kecil atau saset seperti yang diwacanakan Budi Waseso justru akan membuat harga semakin mahal.

“Dengan kemasan kecil itu bakal membuat biayanya tinggi, baik untuk keperluan kemasan maupun distribusinya. Saya enggak punya hitungan, tapi sudah pasti dengan mengemas lebih kecil itu butuh effort yang lebih besar ketimbang kemasan besar. Kemasan kecil juga membuat ongkos kemasan lebih mahal,” kata penulis buku Ironi Negeri Beras (2008) ini.

“Paling kecil setengah liter atau kira-kira 3500-an gram. Kalau satu liter Rp8.500 berarti setengah liter Rp4.259. Jadi, dalam praktik sehari-hari pembelian dalam gram itu sudah terjadi. Bukan hal baru,” kata Khudori.

Menjawab sejumlah kritikan itu, Direktur Pengadaan Bulog, Andrianto Wahyu Adi mengatakan. pihaknya memastikan bahwa ihwal pengadaan beras saset bertujuan untuk membantu kalangan masyarakat kelas ekonomi bawah. Sehingga, beras yang akan digunakan adalah beras medium yang harganya juga medium.

Nah bagaimana menurut anada semua? lebih efisien beli beras saset apa beli perkilo?
SHARE ARTIKEL