Ibadah Tekun, Ngaji Rajin, Tapi Kelakuan Kok Masih Bobrok? Berarti Salahnya Disini

Penulis Unknown | Ditayangkan 05 Mar 2018

Ibadah Tekun, Ngaji Rajin, Tapi Kelakuan Kok Masih Bobrok? Berarti Salahnya Disini
foto diolah wajibbaca.com via ummi-online.com

Bukankah telah dijelaskan bahwa Shalat mencegah perbuatan keji dan munkar...

Tapi kenapa masih banyak orang yang rajin shalat tapi suka menjelek jelekan orang lain?

Logika saja, orang yang sering ikut pengajian dan mendengarkan nasihat - nasihat agama yang baik, kenapa masih suka berbuat zolim?

Berikut ulasan yang mungkin akan membuka wawasan kita semua....

Faktanya, kita banyak menemukan orang ngaji yang sikapnya justru jauh dari nilai Islam.

Ada pengusaha muslim, rajin ngaji alhamdulillah, binaan pengajiannya pun banyak, tapi memberi gaji untuk karyawannya di bawah standar upah semestinya. Atau, selalu telat dalam pembayaran upah pekerjanya, padahal ia mampu untuk menunaikan tepat waktu, tapi sengaja mengulur waktu. 

“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564)

Mengutip islampos.com, ada lagi orang pengajian yang jika meminta bantuan rekannya untuk melakukan suatu pekerjaan, hanya memberi ucapan terima kasih tanpa bayaran profesional. "Makasih ya Akhi/ Ukhti... lain kali bantu saya lagi ya." 

Ada lagi yang jika dipakai jasanya ternyata tidak amanah atau kualitas pekerjaannya tidak baik.

Sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya adalah muslim dengan kualitas luar biasa tidak hanya dalam beribadah pada Allah, melainkan juga dalam ranah pekerjaannya.

Baca Juga: Rutin Periksa ke Dokter Sudah Hamil 7 Bulan Bayi Ibu ini "HILANG" Ada Sihir Mencuri Bayi?

Rasulullah dan sahabat memperlakukan orang lain dengan cara terbaik dan tidak menzalimi saudara sendiri. Apalagi pada orang yang dipekerjakan, Rasulullah menyuruh kita untuk menunaikan hak pekerja sebelum keringat mereka kering.

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). 

Al Munawi berkata, "Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

Jangan terkejut jika kemudian menyebar isu tentang perlakuan buruk Anda pada karyawan, karena kehormatan Anda sudah 'halal' akibat kezaliman yang dilakukan.

“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan). 

Maksud halal kehormatannya, boleh saja pekerjanya memberitahu pada orang lain bahwa majikan ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zalim. Pantas mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.

Baca Juga: Ciri-ciri Orang Meninggal Karena Santet Atau Teluh dan Cara Mengobati Orang Disantet

Idealnya, seseorang yang ikut pengajian, mestinya pemahamannya akan ajaran Islam sudah dalam, dan jago dalam menerapkan ajaran Islam di kehidupan sehari-harinya.

Orang pengajian harusnya menjadi orang yang jauh dari sikap menzalimi orang lain apalagi saudara sendiri.

Akan tetapi...  bagi yang terzalimi, sikap yang tepat adalah... tidak menyandarkan kezaliman seseorang, dengan statusnya sebagai orang pengajian.

Bagaimanapun orang pengajian bukanlah malaikat yang tak punya kesalahan.

Apalagi dengan menghubungkan dengan shalat..., sudah rajin shalat tapi masih saja zolim...

Karena dalam pelaksanaannya, kualitas shalat yang dilaksanakan berbeda-beda. Atau, seseorang yang shalat, shalatnya terkadang berkualitas tinggi, terkadang rendah. Ini tergantung situasi dan kondisi hati dan raga ketika shalat.

Nah, hal itulah yang membedakan shalat mereka benar-benar khusuk dan diterapkan dalam kehidupan atau sekedar gugur kewajiban... Naudzubillah kita jangan sampai....

Bicara perihal kualitas shalat, Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengklasifikasi orang yang shalat kedalam lima kelas. Kelima kelas tersebut antara lain:

1. Mu’aqqab
Mu’aqab artinya disiksa. Hm, kok yang menjalankan shalat disiksa sih? Ya, begitulah, Kawan. Dalam al-Quran jelas ada informasi bahwa kecelakaan bagi orang yang suka shalat, yaitu yang lalai dan riya (lihat Q.S. al-Ma’un [107]: 4-6!).

Kriteria mushalli yang mu’aqqab yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim adalah orang yang mengabaikan aturan-aturan seputar shalat dari mulai waktu shalat, wudlu, sampai rukun-rukun shalat. Shalatnya hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban (formalitas). Orang seperti ini cenderung malas menjalankan ibadah shalat.

2. Muhasab
Muhasab berarti dihisab. Maksudnya adalah shalatnya diperhitungkan oleh Allah. Orang ini mampu menjaga waktu shalat, wudlu, syarat-syarat dan rukun-rukun shalat, tetapi masih terbatas pada aspek zhahiriyahnya saja. Sedangkan aspek ruhiyah (kekhusyuan) kurang diperhatikan sehingga ketika shalat dijalankan, pikirannya dipenuhi oleh lamunan-lamunan tak berarti.

3. Mukaffar ‘Anhu
Tingkatan ketiga dalam kualoitas shalat menurut Ibnul Qayyim adalah mukaaffar ‘anhu yang artinya diampuni (dihapus) dosa dan kesalahan. Yang menempati tingkatan ini adalah mereka yang mampu menjaga shalat dan segala ruang lingkupnya, kemudian ia bersungguh-sungguh untuk  melawan intervensi setan. Ia berusaha menghalau lamunan dan pikiran yang terlintas.

4. Mutsabun
Tingkatan mutsabun atau yang diberi pahala memiliki ciri-ciri seperti tingkatan Mukaffar ‘Anhu. Lebihnya adalah ia benar-benar iqamah (mendirikan shalat). Ia hanyut dan tenggelam dalam shalat dan penghambaan kepada Allah swt..

5. Muqarrab min Rabbihi
Yang terakhir adalah tingkatan yang paling hebat. Mereka yang menempati tingkatan ini adalah orang yang ketika shalat, hatinya langsung tertuju kepada Allah. Ia benar-benar merasakan kehadiran Allah sehingga ia merasa melihat Allah (ihsan). Tingkatan ini adalah Muqarrab min Rabbihi (didekatkan dari Allah).

Orang yang berada di tingkatan ini bukan hanya menadapat pahala dan ampunan tetapi ia pun dekat dengan Allah karena shalat ia jadikan sebagai penyejuk mata dan penentram jiwa.

Wah.... jika kita bermuhasabah, berada di tingkatan yang manakah kualitas shalat kita? Hm, minimal semoga kita termasuk kelompok Mukaffar ‘Anhu. Maksimal, ya menempati tingkatan Muqarrab min Rabbihi.

So, mari kita berusaha terus menjaga shalat kita di setiap waktu. Ingat, shalat itu merupakan rukun Islam yang kedua. Jika lalai dari shalat, berarti kita telah menggugurkan rukun islam yang kedua ini.

Nah, tingkatan kekhusyukan shalat saja sudah pasti berpengaruh pada sikap kita... Kita ini hamba Allah pada tingkat berapa?

Jadi meski rajin shalat belum tentu kita jadi baik jika kita belum mencapai tingkatan khusuk yang paling sempurna yaitu Muqarrab min Rabbihi.

Apalagi yang sampai lalai dan meninggalkan shalat.

Shalat itu tiang agama. Jika shalat ditinggalkan, maka kita meruntuhkan bangunan agama. Oleh karena itu, mari menjaga shalat sebagaimana perintah Allah swt.:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah semua shalat(mu) dan (peliharalah pula) shalat wustha[1]. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan qanit[2]!” (Q.S. al-Baqarah [2]: 238).

Keterangan:
[1] Shalat wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan shalat wusthaa ialah shalat Ashar. menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya.

[2] Qanit artinya penuh ketaatan. Mematuhi seluruh aturan dalam shalat.

SHARE ARTIKEL