Pendidikan Spiritual Anak, Cara Islam Lahirkan Generasi Islami

Penulis Cang Karna | Ditayangkan 22 Mar 2017
Pendidikan Spiritual Anak, Cara Islam Lahirkan Generasi Islami

Rasulullah saw telah berkata, anakmu adalah anak-anak zamannya, maka didiklah mereka sesuai dengan zamannya.  Dan generasi shalih dari keluarga shalih adalah anak segala zaman.


Merefleksikan nilai-nilai kehidupan Rasulullah saw dalam kehidupan sehari-hari pastinya jalan terbaik mencetak generasi unggulan ini. Dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai dasar metode mendidik anak memungkinkan anak menjadi anak lintas zaman, karena sifat Islam yang rahmatan lil alamin hingga di akhir zaman.

Istilah spiritual parenting yang kini dikenal dalam konsep pendidikan hanya sebuah nama lain dari konsep pendidikan ala Muhammad saw. Spiritual parenting merupakan pola pendidikan paripurna untuk mencetak generasi masa depan yang lebih baik. Generasi yang mengedepankan ketauhidan, yang bercirikan keshalihan, pribadi yang matang, mandiri, dan sadar akan tanggung jawabnya.

Pada dasarnya konsep spiritual ini merupakan modal dasar. Karena manusia diciptakan memiliki 3 unsur yakni spiritual, akal, dan jasmani. Akal dan jasmani akan berjalan dengan baik bila sinergikan dengan spiritual dan mental yang baik.

BACA JUGA : Muslimah, Berjilbablah Sesuai Ajaran Nabimu !!!!

 Konsultan psikologi, Indra Sakti,Psi, pun mengakui bahwa konsep spiritual parenting ini menguatkan kembali kesadaran dunia psikologi tentang spritualitas dalam diri manusia. Bahwa manusia itu bukan hanya terdiri dari intelektualitas, emosionalitas, dan motivasi.

“Karena biasanya yang dibahas dalam ilmu psikologi berkaitan dengan aspek kognitif (intelektualitas), perasaan (emosionalitas), dan kebutuhan atau keinginan (motivasi). Dengan adanya konsep spiritual parenting ini nampaknya manusia makin sadar bahwa ada aspek spiritualitas juga yang mempengaruhi manusia. Bukan hanya spiritualitas dalam aspek mistis tapi juga spiritualitas dalam arti bahwa manusia selalu memiliki kecendrungan untuk mengetahui perihal keberadaan Tuhan,” tambah Indra Sakti.

Kenapa begitu? karena pada hakekatnya fitrah manusia adalah mengakui keberadaan sang penciptanya. Hal inilah yang kemudian disadari bahwa kesadaran yang mendalam tentang keberadaan Tuhan akan melahirkan ketenangan pada diri manusia.

Keimanan Syarat Mutlak Spiritual Parenting

Spiritual parenting akan berjalan sangat baik bila diiringi pemahaman akidah yang benar. Artinya, setiap orangtua yang mengharapkan anaknya menjadi anak yang shalih maka perilaku dan pemahaman orangtua tersebut tentang akidah harus benar, dan tentunya modal utamanya adalah memiliki keimanan yang tinggi.

“Seperti dalam surat Lukman, bahwa untuk mendidik anak menjadikannya anak yang saleh dan saleha, disitu digambarkan Lukman adalah seorang laki-laki yang saleh dan mampu mendidik anak yang saleh pula. Maksudnya, anak-anak itu bisa saleh tergantung dari bapak dan ibunya. Jadi bapak dan ibunya harus menjadi saleh dulu,” ungkap Ketua Departemen Dakwah dan Pendidikan PP Salimah, Nur Hamidah,Lc,MAg.

Indra Sakti dalam hal ini menyoroti, bahwa pada dasarnya tingkah laku seseorang itu akan dipengaruhi salah satunya oleh nilai-nilai yang dia anut termasuk dalam hal mendidik anak. “Orang yang menganut nilai-nilai liberalis akan mendidik anaknya dengan nilai-nilai liberalis.

Begitu juga dengan orang yang punya pandangan demokratis dan unitarian atau otoriter. Orang-orang yang spiritualis juga akan mendidik anak dengan nilai-nilai spiritual. Tentu saja sebelumnya para orangtua yang spiritualis ini harus bisa menjawab masalah bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai agama yang mereka yakini dalam kehidupan sehari-hari,” terang Ayah 4 anak ini.

Indra Sakti bahkan menegaskan kegagalan dalam mengaplikasikan nilai-nilai agama yang ditanamkan pada anak ini akan menjadi masalah tersendiri. “Masalah ini akan berdampak pada timbulnya konflik internal pada diri orangtua.

Orangtua yang gagal mengatasi masalah ini akan beranggapan bahwa ternyata nilai-nilai agama tidak bisa diterapkan untuk mengatasi masalah-masalahnya khususnya yang mengenai pemenuhan kebutuhan pragmatis,” tegasnya.

Bila sudah begini maka orangtua akan mengatakan kepada anaknya “udahlah ga usah belajar agama, ga ada gunanya.” Konflik internal pun bisa meluas pada masalah keluarga jika ternyata anaknya mendapatkan pendidikan agama yang intens di luar lingkungan keluarganya. Pendidikan agama di sekolah, misalnya. Bukan tidak mungkin si anak akan berkata, “orangtuaku kok materialistis amat sih.”

Inilah yang membuat banyak orangtua yang kental norma-norma agamanya, tiba-tiba saja berubah ketika memasuki dunia kerja dan berkeluarga. Mereka gagal mempertemukan idealisme yang mereka perjuangkan dulu dengan realitas setelah mereka terjun ke masyarakat. “Akhirnya hilang militansinya dan dalam mendidik anak pun tak lagi menempatkan agama sebagai prioritas,” kata Indra Sakti menyayangkan.

Karena itulah, diperlukan banyak persiapan untuk menjadi orangtua yang baik. “Setiap orangtua muslim harus bisa mencari jalan untuk bisa terus menuntut ilmu walaupun mereka bukan pelajar atau mahasiswa. Kalau kita niat, sesibuk apa pun pasti bisa,” tukas Indra Sakti.

 Jadi kesiapan menjadi orangtua bukan hanya dari sisi fisik, membesarkan anak yang sehat dan berkecukupan secara materi. Pondasi awalnya adalah matang secara spiritual.  Firman Allah swt dalam surat Al Hajj ayat 77, Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, Sujudlah dan sembahlah Tuhanmu.  Inti dari ayat ini menurut Nurhamidah, bahwa seseorang akan bisa rukuk, bisa sujud, bisa ibadah kepada Allah swt kalau ia mempunyai spirit tentang keimanan yang kuat.

Selanjutkan apabila keimanan ini telah dipahami dan dikuatkan sebagai modal dasar, maka ia bisa melanjutkan ke fase berikutnya. Seperti dilanjutkan dalam penggalan ayat berikutnya surat Al Hajj, 77 tersebut, dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung. Sehingga keberuntungan itu adalah hasil dari yang kita tanam sebelumnya dalam rangka rukuk dan sujud, menyembah Allah swt, sehingga kita memiliki keimanan yang tinggi. Dan memahami bahwa segala sesuatu ini telah dipantau oleh Sang Khalik, Maha Pencipta, yang menguasai jagad raya ini.

Pemahaman inilah yang harus dituai pada anak-anak kita. Bahwa setiap gerak langkah mereka selalu dilihat oleh yang Maha Melihat. Bahwa tindakan buruk mereka dicatat. Bahkan Allah memiliki malaikat yang mencatatnya. Bahwa isi hati pun dapat Allah ketahui. Karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Kenapa anak perlu memahami ketauhidan ini sejak dini? Karena kita tidak selalu ada untuk mereka. Kita tidak bisa selalu hadir mengawasi mereka. Tidak bisa setiap detik mengajarkan anak-anak kita. Ada waktu-waktu dimana anak-anak jauh dari pantauan kita. Bukan hanya karena kita terlalu sibuk dengan begitu banyak pekerjaan.

Didalam rumah pun kita tidak bisa sepenuhnya mengawasi aktivitas mereka. Bahkan apabila kita dekat dengan mereka pun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Ketika memasak misalnya, tentu tidak bisa dilakukan sambil memantau anak-anak.

Mengenalkan ketauhidan adalah melatih mereka untuk mandiri, matang secara intelektual, emosi, dan mampu memilah kebutuhannya. Jadi menerapkan ketauhidan dalam kehidupan sehari-hari adalah mutlak. Bahwa setiap detik gerak-gerik kita, nafas kehidupan kita, ada yang mengawasi.

Jadi seperangkat kekuatan kita dalam mendidik anak adalah keimanan. Bantulah anak memahami bahwa apabila kamu menjaga Allah, maka Allah akan menjagamu. Kalau kamu minta sesuatu mintalah hanya kepada Allah. Memohon pertolonganlah kepada Allah saja. Kamu harus yakin, Nak, bahwa rezeki datang dari Allah, bukan semata-mata kita bekerja. Bahwa Allah melihat setiap usaha yang kita lakukan itu.  Spirit keimanan inilah yang harus dimiliki sejak dini.
SHARE ARTIKEL