Gelar (Bukan) Penghambat untuk Bekerja

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 16 Mar 2017

Gelar (Bukan) Penghambat untuk Bekerja
Sumber: pontianak.tribunnews.com

Fenomena BPK (Barisan Pencari Kerja) bahkan sampai menjadi ladang usaha beberapa orang. Memang menolong, namun akhirnya uang juga yang jadi tujuan. Dan hal ini banyak terealisasi untuk para lulusan yang sudah dikatakan lumayan, para penyandang gelar diploma dan sarjana.

Barangkali, kita perlu menilik sekilas laporan bulanan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai data sosial-ekonomi masyarakat pada bulan Februari 2017, khususnya mengenai ketenagakerjaan.

BPS melaporkan dari laman bps.go.id bahwa dari tahun 2014 hingga Agustus 2016, penyerapan tenaga kerja masih didominasi oleh penduduk kerja lulusan Sekolah Dasar ke bawah (42,20 persen) dan lulusan Sekolah Menengah Pertama (21,36 persen). Adapun penduduk kerja dari lulusan Diploma hanya sebanyak 2,88 persen dan lulusan universitas 9,36 persen.

Ini artinya, semakin orang berpendidikan tinggi tidak berarti akan lebih cepat terserap untuk bekerja daripada orang yang berpendidikan rendah. Justru semakin orang berpendidikan rendah (SD ke bawah) kesempatan untuk terserap di lapangan kerja menjadi lebih luas. Mengapa perbandingan ini seakan terbalik?

Sudah menjadi alasan umum bahwa orang tua menyekolahkan anaknya agar kelak menjadi manusia cerdas, pintar, dan bisa mencari penghidupan yang layak. Dengan mengenyam pendidikan di sekolah hingga perguruan tinggi, anak-anak diharapkan mampu mendapat pekerjaan yang layak dan hidup sejahtera.

Namun, dunia sekolah dan kampus seakan penuh intrik. Anak-anak dikader untuk menjadi manusia modern yang berilmu pengetahuan, secara tidak langsung pula menaikan anggapan bahwa mereka adalah manusia luhur, lebih tinggi daripada mereka yang tidak mengenyam pendidikan, atau lebih rendah tingkatnya.

Tandanya adalah gelar kelulusan. Ketika para lulusan perguruan tinggi bekerja di bawah orang yang berpendidikan lebih rendah di bawahnya, atau tidak sekolah sekalipun, maka yang terjadi adalah stigma negatif. Barangkali, karena ketakutan ini pula, banyak lulusan pendidikan perguruan tinggi lebih sedikit dan lambat untuk terserap bekerja.

Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku Gelandangan di Kampung Sendiri (2015) tidak sedikit beberapa esainya menyinggung soal kehidupan mahasiswa. Dari masalah skripsi yang tidak kunjung selesai, aktivisme mahasiswa, demonstrasi, kuliah kerja nyata (KKN), hingga kritik gelar kesarjanaan.

Cak Nun mengurai fungsi sekolah bukan sekadar untuk naik gengsi, tetapi sekolah (begitu pula perguruan tinggi) adalah arena berlatih untuk menjadi manusia yang memahami kesamaan di antara manusia, serta memiliki etos fungsi bagi masyarakat. Seharusnya, pandangan inilah yang harus dibangun dalam diri siswa, mahasiswa, dan para orang tua.

“Kalau manusia sudah menjelma menjadi sarjana, orang tak perlu malu untuk kerja jadi tukang ojek, tukang kayu, tukang las, tukang bengkel motor dan elektronik. Juga tidak malu berjalan kaki tanpa sandal atau sepatu,”tulis Cak Nun. Pandangan ini, hemat saya, cocok untuk menaikan angka laporan BPS mengenai tingkat penyerapan tenaga kerja yang rendah dari lulusan perguruan tinggi.

Bersyukur

Bagi kita, mahasiswa, patut bersyukur (tetapi jangan terlalu berbangga) karena tentu masih banyak saudara-saudara kita yang tidak bisa menikmati jenjang pendidkan tinggi, bahkan berkesempatan saja tidak. Kita memiliki peluang yang lebih besar untuk menggapai kesejahteraan daripada mereka. Kita juga memiliki peluang untuk mengubah saudara-saudara kita itu.

Teringat film Daun di Atas Bantal yang rilis tahun 1998. Film ini berkisah tentang tiga orang anak jalanan, bernama Kancil, Sugeng, dan Heru, yang hidup di Yogyakarta. Mereka harus menghadapi kenyataan kemiskinan dan kerasnya kehidupan di kota. Bagi usia-usia mereka yang seharusnya untuk sekolah justru terpaksa membantu mengais rejeki untuk bertahan hidup, apapun caranya.

Boro-boro sekolah, untuk makan sehari-hari saja susah. Mereka adalah cerminan dari jauhnya hak pendidikan, identitas, dan pelayanan pemerintah. Harapan akan kenyamanan, kesejahteraan ibarat bantal yang sering diperebutkan. Daun menjadi tokoh yang seringkali terjatuh karena dorongan angin kegagalan. Kisah berakhir dengan ketiga tokoh yang mati tragis.

Film ini mengungkap realitas sisi gelap kehidupan anak jalanan di kota. Tidak menutup kemungkinan tokoh-tokoh seperti Kancil, Sugeng, dan Heru masih banyak berkeliaran di lingkungan kita sekarang. Mampukah pemerintah melalui jalur pendidikan menjadi fasilitator penghubung bagi mereka untuk mencapai kesejahteraan?

Hal ini sepenuhnya bergantung pada diri kita masing-masing. Kesejahteraan akan semakin jauh apabila paradigma kita tentang kesuksesan, keberhasilan, adalah bekerja seperti manusia modern, berpenghasilan tinggi, dan penuh dengan fasilitas kemajuan. Orang menjadi lupa untuk mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan, menjadi terobsesi pada pekerjaan yang setaraf dengan gelar yang disandang.

Akan tetapi, kesejahteran, utamanya kebahagiaan akan lebih dekat apabila pardigma kita pada kesuksesan ini sederhana: menjadi manusia bermanfaat dan bekerja dengan tulus, ikhlas, berlandaskan iringan iman dan doa, apapun pekerjaannya. Sekecil apapun kariernya, asal itu positif dan bermanfaat, apabila dikerjakan dengan tulus dan jujur, maka akan menjadi besar pula.

Dari Kompasiana oleh Mahasiwa Prodi Sastra Arab, FIB UNS
SHARE ARTIKEL