Inilah Pentingnya Peran Keluarga Islam Terhadap Anak Dalam Menyikapi Kemrosotan Moral Akhir Zaman
Penulis Cang Karna | Ditayangkan 11 Jan 2017Kasus kekerasan seksual hingga saat ini masih marak terjadi di negara kita. Tidak ada hal yang lebih menyakitkan daripada kepedihan melihat fakta anak bangsa dilanda krisis moral.
Berita-berita hari ini sudah cukup membuat leher tercekik untuk orang normal yang melihatnya, kasus pemerkosaan anak di bawah umur, anak membunuh orang tuanya, dan masih banyak lagi kasus yang membuat bibir tak sanggup berkata-kata. Anak-anak kita sudah termakan propaganda kaum menyesatkan.
Coba kita tengok acara di televisi pada jam-jam tayang prime time. Berapa banyak iklan yang menjual kecantikan, ketampanan, dan lekuk tubuh? Berapa banyak sinetron yang mempertontonkan kisah cinta monyet, cemburuan, bolos sekolah, membentak orang tua, berkelahi, bahkan sampai berebutan pacar? Apa nilai moral dan pelajaran yang bisa diambil dari sana? Bukankah kebebasan yang satu akan menyinggung kebebasan yang lainnya? Bukankah semua berawal dari kecantikan, berlanjut ke pacaran, pegangan tangan, berpelukan, berciuman, hingga masuklah ke jurang kerusakan moral?
BACA JUGA : Bagaimana Hukum Memukul Anak Dalam Perspektif Islam, Berikut Penjelasannya
Entah siapa racun yang berkata bahwa hitamnya kulit merupakan aib tersendiri yang harus diselesaikan permasalahannya. Entah siapa yang memulai bahwa jomblo adalah kondisi yang menjengkelkan dan seolah memiliki beban dosa. Entah siapa yang memulai bahwa wajah buruk atau jelek merupakan kutukan. Selama bangsa ini masih terpropaganda dengan iklan-iklan dan sinetron-sinetron yang mem-blow up kesempurnaan fisik saja, maka bangsa ini kian menjadi hamba yang kufur akan karunia yang begitu melimpah dari Allah dan selamanya akan menjadi budak-budak kapitalis.
Di sinilah seharusnya peran keluarga dimunculkan untuk mencegah rusaknya moral sang anak. Keluarga adalah sekolah pertama untuk sang anak. Oleh sebab itu, orang tua berperan penting dalam penguatan pendidikan anak. Banyak hal yang diajarkan kepada anak melalui keluarga, khususnya melalui orang tuanya. Bahkan dapat dikatakan bahwa perilaku sang anak ketika di sekolah, lingkungan, dan masyarakat adalah cerminan pendidikan dari orang tuanya di rumah.
Tiga fase
Sang anak adalah titipan dari Allah kepada orang tua untuk dididik dengan sebaik-baiknya. Maka sudah sepatutnya orang tua menjaganya dengan segenap jiwa, memberinya imunitas sosial sejak usia muda. Setidaknya terdapat tiga fase dalam mendidik anak menurut Ali bin Abi Thalib.
Fase pertama adalah fase anak-anak. Pada fase ini anak adalah seorang peniru ulung, apapun yang diajarkan kepadanya akan dilakukan dan ditiru bulat-bulat. Maka di sini orang tua akan menjadi model untuk anak-anaknya. Pada fase ini hal yang sangat diutamakan adalah pendidikan agama dan budi pekerti, yang merupakan barometer kepribadian seseorang.
Sejak usia yang sangat dini, sebelum mereka masuk sekolah dasar, kepada mereka sebaiknya sudah diajarkan tentang siapa itu Allah, apa itu dosa, apa itu neraka, dan apa itu sopan-santun. Dengan diberikan pondasi agama yang kokoh, maka sang anak akan merasa takut jika berbuat salah kepada orang lain. Karena, ia paham bahwa apa yang diperbuat mendapat pengawasan dari Allah meskipun tiada orang yang melihatnya. Kemudian, dengan diberikan pemahaman tentang budi pekerti maka sang anak akan dapat menerapkan sopan santun kepada orang lain. Misalnya menunjukkan sesuatu kepada orang yang lebih tua harus menggunakan ibu jari, tidak boleh menggunakan telunjuk.
Kemudian jika dipanggil harus menyahut dengan kata-kata yang baik, atau jika diberi sesuatu harus mengucapkan terima kasih.
Fase kedua adalah fase remaja. Pada fase ini sebaiknya orang tua menjadikan anak layaknya sahabat, karena anak pada fase ini masih dalam masa pencarian jati dirinya, labilitas tingkat tinggi, maka yang paling dan sangat dibutuhkan oleh mereka adalah orang-orang yang dapat memahami perasaan mereka, yang dapat memberikan solusi setiap permasalahan yang sedang mereka alami. Maka orang tua harus mengarahkan dan mengawasi sang anak tanpa harus menggurui dan mengusiknya.
Kemudian pada fase ini berikanlah pengertian kepada sang anak tentang arti sukses dan semangat berprestasi.
Banyak orang berpendapat atau mengartikan bahwa sukses adalah yang memiliki jabatan atau berkedudukan tinggi, berkecukupan secara materi, dan memiliki harta yang melimpah, sehingga banyak orang tua yang menginginkan anak-anaknya ketika sudah dewasa nanti memiliki posisi atau profesi yang menghasilkan banyak uang. Padahal seharusnya orang tua menjelaskan kepada sang anak, bahwa arti sukses yang sebenarnya adalah berhasil mencapai cita-cita dan menjadi yang terbaik di bidang yang dicintainya. Dengan ditanamkan semangat berprestasi dan kesuksesan, maka sang anak akan masuk ke dalam suatu koridor pemikiran yang baik, sehingga potensi yang ada dalam diri sang anak akan tercurahkan pada hal yang positif.
Fase ketiga adalah fase dewasa. Pada fase ini umumnya sang anak sudah mempunyai pandangan tersendiri tentang hidup, sudah dapat menilai mana yang baik dan buruk, dan sudah dapat menentukan arah hidup ke depannya. Namun terkadang orang tua ingin sekali memaksakan kehendaknya untuk menetukan masa depan sang anak tanpa melihat apa yang menjadi minat atau passion sang anak. Ada orang tua yang berprofesi sebagai seorang polisi, dokter, artis, atau guru, dan mereka menuntut anaknya harus berprofesi yang sama dengannya. Padahal jika sang anak lebih memilih menjadi seorang seniman apa salahnya? Orang tua seharusnya memberikan kebebasan kepada sang anak untuk menentukan masa depannya selama itu masih berada di jalur yang benar, dan sekaligus memberikan support untuk menunjang passion sang anak.
Orang tua harus sadar bahwa sang anak memang dilahirkan darinya, tetapi tidak berasal darinya. Anak-anak adalah titipan dari yang menciptakannya. Walaupun sang anak bersama orang tuanya sejak kecil, bukan berarti mereka milik orang tuanya. Orang tua boleh memberikan cinta kepada anaknya, tetapi bukan berati harus memaksakan pikirannya. Karena, sang anak memiliki pemikirannya sendiri. Orang tua boleh membuatkan rumah untuk tubuh-tubuh sang anak, tetapi bukan untuk jiwa mereka. Karena jiwa mereka berada di hari esok, yang sama sekali tidak dapat orang tuanya kunjungi, bahkan dalam mimpi sekalipun.
Orang tua boleh berusaha menjadi mereka, tetapi jangan memaksa mereka menjadi seperti orang tuanya. Karena hidup tidak berjalan mundur. Begitulah sepenggal bait dari seorang Kahlil Gibran pada zamannya. Biarkanlah sang anak menentukan masa depannya sesuai dengan apa yang mereka cintai selama itu masih di garis kebenaran.
Anakmu adalah amanahmu. Selamatkan mereka agar tidak terjerembab dalam lubang kehinaan.