Peneliti HRM Sebut, Saatnya Indonesia Cabut Aturan Penistaan Agama
Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 20 Dec 2016
Kasus penistaan agama yang masih berlangsung prosesnya saat ini
Hanya 26 persen dari 197 negara yang tercatat sebagai anggota PBB yang masih menerapkan undang-undang penistaan agama, dan salah satunya adalah Indonesia. Peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, menyebut sudah saatnya pemerintah Indonesia berpikir untuk mencabut undang-undang terrsebut.
Kepada wartawan di Restoran Dua Nyonya, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (19/12/2016), ia mengatakan bahwa negara-negara yang masih menerapkan aturan terebut selain Indonesia adalah negara-negara di Timur Tengah, Amerika Latin dan di Afrika. Negara-negara di Erpoa sudah hampir tidak ada yang menerapkan.
"Kalaupun mereka ada undang-undangnya, mereka sudah tidak memakai lagi," katanya dilansir tribunnews.
Lalu bagaimana menjerat para pelaku kejahatan terkait agama, menurut Andreas Harsono negara-negara yang sudah tidak menerapkan aturan penistaan agama, mengganti aturan tersebut dengan aturan yang lebih materiil.
"Misal pelaku pembakaran al Quran, pelaku perusakan patung, kuil. Mereka penerapannya lebih ke artefak (kebendaan)," katanya.
Baca Juga: WASPADA! Ini Cara Komplotan Penjahat Tukar ATM Nasabah
Para pelaku bisa dijerat dengan aturan soal ketertiban umum, atau dengan ujaran kebencian. Aturan tersebut kata dia walaupun masih banyak pihak yang menyebutnya sebagai "pasal karet," namun penerapannya lebih terukur dibandingkan aturan soal penistaan agama.
Ia mencontohkan, di Amerika Serikat (AS) ada kasus di mana seseorang berencana melakukan penembakan terhadap masjid, namun sang pelaku salah mengenali sasaran, dan menembak tempat ibadah Sikh. Sang pelaku tidak dikenakan penistaan agama, melainkan aturan soal ujaran kebencian.
Terkait aturan agama yang diterapkan di Indonesia, dari ratusan kasus yang sudah diproses hukum menurutnya sebagiann besar kasus tersebut mendapat penekanan dari kelompok tertentu. Selain itu ada juga unsur politisasinya, sehingga mengganggu proses hukum.